Anjing Yang Malang

Tidak jelas mana namanya yang benar. Naldo memanggil Saikar, Cristo memanggil Blacky, Lee memanggil Pilot, Bob memanggil PINTER. Dan setiap kali ia dipanggil dengan nama beda-beda itu, ia selalu datang dengan manjanya.   Aneh benar. Kalau saya jadi dia, sumpah takan pernah saya indahkan panggilan mereka. Bagaimana jadinya kalau mereka serentak memanggil? Tapi dia, akan datang dengan manjanya mencium kaki atau tangan siapa saja yang memanggilnya dengan nama yang beda-beda itu. Baru sehari ia di rumah, ia telah jadi anak kesayangan dan teman bermain di saat pikiran sedang kacau. Ia lantas jadi teman yang baik bagi kami.
Oh! Perlu kuceritakan soal kemunculannya yang mengibahkan hati itu. Waktu itu tengah malam, hujan lebat baru redah, hanya menyisahkan rintik-rintik yang jatuh manja di seng rumah. sambil menunggu siaran pertandingan sepakbola di televisi, kami main karu di teras. Saat itu ia datang mengendus-ngendus di tengah gelap malam. Tubuhnya basah kuyup. Ia gementar kedinginan. Wajahnya menampakan wajah mengibah. Matanya sayu. Kami baru menyadari kehadirannya ketika ia mencium dan menjilati kaki Naldo. Naldo waktu itu lagi serius menyusun kartu, langsung loncat kaget. Perwujudannya yang menyedihkan itu membuat kami jadi iba padanya. Lantas Naldo memandikannya di tengah malam itu, mengeringkan bulu-bulunya dan memberikan makan dengan lauk ikan. Kemudian ia tertudur dengan lelap di bawah kain hangat milik Naldo. Entah dari mana datangnya, di tengah malam gulita itu.
Keesokan harinya, suasana rumah jadi ramai. Ia bangun pagi sekali. Berlari-lari mengintari halaman rumah. lonceng kecil di lehernya berdenting-denting seiring gerakan kaki dan kepalanya. Ketika semua orang bangun, muncullah nama-nama itu. Saikar, Blacky, Pilot, PINTER. Berganti-gantian mereka memanggil. Ia melompat-lompat kegirangan mendapat rumah sebegini ramah dan ramainya. Seandainya di tempat lain, mungkin nyawanya sudah tiada.
Hari-hari pun berlalu sebagaimana mestinya. Kami semakin sayang padanya. Dia semakin manja pada kami. Bahkan manjanya sudah menjadi-jadi. Bikin bangkrut lebih tepatnya. Badannya kian gemuk dan geraknya kian lamban. Ia tiga kali makan sehari, dan tidak mau makan jika bukan paha seekor ayam. Bayangkan tuannya makan dengan tahu atau tempe, dia makan dengan paha ayam. Kalau tidak diberi makan, ia selalu menampakkan wajah yang mengibahkan hati. Kadang Naldo yang memberi makan, kadang Cristo kadang Bob, kadang pula saya. Lama-lama kami juga jadi tak pedulu. Kadang kami melampiaskan kekesalan dengan memukulnya, menendang atau menghukum dengan mengikatnya pada pohon di halaman, sehingga membuatnya meraung sepanjang hari. Hanya Naldo yang sangat peduli. Memberinya makan, memandikan dan mengajak jalan-jalan. Yang lain sudah hilang rasa sayangnya.
Akhir-akhir ini, ketika akhir tahun sebentar lagi tiba. Beredar sudah rencana-rencana dari mulut kemulut yang bikin pro dan kontra.
         “Tutup tahun adalah waktu yang tepat untuknya,” ujar Cristo.
         “Sebaiknya kita mencari menu tutup tahun yang lain,” Naldo meyarankan.
         “Kita jarang mendapat menu macam begini, di akhir tahun,” tambah Bob.
          “Tidak! Tidak ada B1 untuk tutup tahun!” ujar Naldo keras.
        “Sudahlah, lagian dia bikin bangkrut saja,” tambah Lee
        “Ya Tuhan mengapa sekarang orang cepat kehilangan rasa sayang tidak pada manusia tidak juga juga pada hewan,” ujar Naldo.

Aku melihat di halaman. Ia melompat-lompat kegirangan. Berlari-larian mengintari halaman. Kadang datang pada kami yang sedang main kartu menjilat-jilat ujung kaki kami. Ia sama sekali tidak tahu bahwa akhir tahun ini adalah akhir dari hidupnya yang ceria dan penuh kegembiraan itu. Anjing yang malang.


                                                                                       *Taman Jamur, USD di siang hari yang panas!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar