Lelaki Tua dan Kudanya

 Dipublikasikan kali pertama di Koran Jawa Pos 19 Juni 2016

DARI balik dinding bambu, melalui celah sebesar bola mata, di bawah remang rembulan, Malo Lede dapat melihat begitu jelas bayang-bayang berkelebat dekat kangali [1]. Ia tak tahu berapa jumlah pasti mereka, yang jelas lebih dari satu, dan tak kan pergi sebelum mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Perlahan ia melepas kain yang membungkus tubuhnya. Rasa nyeri yang amat sangat menyerang pinggangnya begitu ia berdiri. Dengan berjinjit, ia melangkah penuh hati-hati menuju bilik kecil di satu sudut ruangan, menghindari bambu-bambu yang dapat berderak begitu ia menjejakkan kaki, menghindari baris-baris sinar rembulan yang menerobos celah-celah dinding. Begitu tiba di bilik itu, segera ia raih sebatang tombak dan kembali ke tempat pengintaiannya.

Bulan bulat penuh bertengger di pucuk sebatang pohon kelapa. Awan tipis seperti ratusan untaian benang putih berserakan mengitari bulan. Remang sinarnya membasuh rerumputan di halaman, pucuk pohon kopi, kelapa, ke dondong, dan kangali di belakang rumah, menciptakan bayangan besar memanjang dan tenang. Sunyi mencekam dan sesekali ditingkahi ke lepak kelelawar dan dengus kerbau.

“Sial,” umpat Malo Lede tak sabar menanti awan tebal menutupi bulan, menanti kegelapan meraja. Sebab bergerak di tengah remang rembulan sama saja menyerahkan diri.

Kemudian, terdengar olehnya bunyi batu beradu kemudian berdentum di tanah. Kali ini begitu jelas bayangan itu di bawah pohon kedondong, bergerak kesetanan membongkar kangali. Saat melihat semua itu, tubuh Malo Lede bergetar hebat. Aliran darah panas merambat cepat ke sekujur tubuhnya. Ia cabut parang dari sarungnya dan meraih tombak di sisinya.

Tersaruk, ia menuju pintu depan, tak peduli lagi pada langkah yang menimbulkan derak dan cahaya yang menciptakan bayangan berkelebat, yang dapat mengirim pesan ke bawah sana. Dalam sekejap ia sudah menginjak tanah bersamaan dengan sinar rembulan memudar di telan kegelapan. Di langit sekumpulan awan tebal beringsut menutupi bulan. Sambil menunduk, ia melangkah cepat seperti melayang, menghilang dalam kebun kopi yang membentang di samping rumah.

***

TIGA hari lalu, menjelang gelap turun, saat ia kembali dari kebun dan hendak menyalakan pelita, terdengar olehnya dengus kerbau dari kandang kangali di belakang rumah, yang tak pernah terisi lagi tahun-tahun terakhir ini. Lewat celah dinding, ia mendapati lima ekor kerbau berputar riang dalam kandang sempit dan becek, mendengus tanah berlumpur, merasakan udara tebal dan basah. Seorang lelaki muda, pendek, dan bertubuh gempal dengan parang bersarang di pinggang melompat ke bale-bale, menyalakan rokok dan menatap remang sore.

“Saya titip kerbau beberapa hari di sini,” ucapnya.

Malo Lede membalikkan badan, menuju tiang rumah di mana lampu pelita bertengger dan dengan perlahan menyalakan sumbu pelita dengan korek kayu. Ruang tengah menjadi terang dan tampak jelas kini seraut wajah perempuan muda dalam potret sefia terpaku dalam bingkai kayu yang tergantung di tiang rumah dekat pembaringan.

Lelaki muda itu bernama Pilipus Malo, anak pertama Malo Lede. Lima tahun lalu, ketika badai kelaparan menyerang desa kecil itu, dengan berat hati ia meninggalkan ayahnya seorang diri dan menerima tawaran mertuanya menggarap kebun milik keluarga di Lukumana. Ia membawa istri, anak-anaknya, peralatan berkebun, dan dua ekor kerbau betina kurus kering. Ia meninggalkan janji akan mengirim padi dan jagung setiap musim panen.

Malo Lede memiliki dua anak, yang satunya perempuan, telah meninggalkan rumah begitu ia kawin. Istrinya meninggal membawa amarah dan kebencian di usia 28 tahun oleh suatu serangan ganas malaria yang aneh dan tak tertangguhkan dan nyaris menghabisi sebagian perempuan dan anak-anak di desa itu. Anak perempuannya yang beranjak dewasa ketika penyakit ganas itu menyerang, selamat di tangan seorang misionaris Jerman yang menenteng tas ransel besar berisi obat-obatan.

Sejak kepergian Pilipus Malo, Malo Lede tinggal bersama seekor kuda jantan tua yang riwayat hidup gemilangnya tenggelam dalam keterasingan. Usianya mencapai 50 tahun dan ia selalu merasakan nyeri yang amat sangat di tulang punggung dan pinggangnya. Setiap malam ia selalu bermimpi didatangi sosok istrinya dalam rupa lidah api pelita. Sebagian harinya habis di kebun, mengumpul kemiri dan memetik kopi ketika musim panen tiba. Selebihnya, ia menghabiskan harinya berbaring menatap potret istrinya sementara pikirannya berkelana ke masa lalu. Ia secara terang-terangan menolak dikunjungi oleh siapa pun.

“Di Lukumana, enam kandang kerbau kosong dalam satu malam. Gerombolan Ayam Hitam sedang berkeliaran.”

“Mereka itu seperti semut-semut merah, di mana ada gula di situ mereka datang.”

“Setidaknya di sini lebih aman.”

“Bagus betul! Orang tua bau tanah macam aku kau suruh jaga kerbau-kerbau ini. Tai lasu [2] betul kau! Tidak cukup kau siksa aku dengan pergi meninggalkan rumah?”

“Aku akan kirim orang ke sini. Orang-orang masih sibuk membersihkan kebun,” jawab Pilipus Malo acuh tak acuh.

“Cepat kau pergi dan suruh orang itu ke sini! Sebelum kerbau-kerbau ini aku potong semua.”

Tengah malam ini lidah api pelita dalam mimpinya membangunkannya, mendorongnya ke dalam pertarungan hidup mati, dan ia tak kuasa membiarkan kerbau-kerbau itu dibawa pergi.

***

MALO Lede mengendap-endap dalam kebun kopi tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Bunyi batu beradu kian jelas di sela lenguh kerbau yang ketakutan. Sambil mencoba mengira-kira jumlah mereka, ia terus melangkah penuh hati-hati mendekati kangali. Jantungnya memacu cepat. Sesekali ia merunduk menghindari reranting kopi. Tombak digenggamnya setinggi dada dan kekuatan dipusatkan di bagian kanan tubuhnya, bersiap-siap kalau ada serangan tiba-tiba datang dari ke gelapan.

Ia tiba di tepi kangali bersamaan dengan sekelompok awan yang menutupi bulan merekah dan perlahan berpencar. Cahaya rembulan kembali menerangi halaman belakang. Ia mendongakkan kepala dari balik kangali dan mendapati sosok lelaki pendek dalam kandang tanpa rasa takut sedikit pun berusaha menarik kerbau keluar kandang. Saat itu tubuhnya bergetar hebat. Ia tak dapat lagi menahan amarah yang serasa membakar dadanya. Dalam satu gerakan melompat, ia sudah berada di atas kangali dan ia berjarak lima meter dari tempat lelaki itu berdiri. Ia memusatkan kekuatan di tangan kanan, membidik, dan mengambil ancang-ancang. Ia mengayunkan tombak itu sekuat tenaga sehebat amarah dalam dadanya seraya berteriak,

“Mati kau!”

Ia tak tahu lagi apakah tombak itu mengenai lelaki itu. Setelah melepas tombak, tubuhnya ikut terdorong ke depan dan saat ia hendak mengambil keseimbangan, tiba-tiba saja terdengar bunyi desing cepat yang begitu ia kenal.

“Sial! Batu ali-ali!” umpatnya.

Ia tak lagi sempat menghindar. Batu sebesar kepalan tangan menghajar dadanya. Ia merasakan tubuhnya membeku di udara sebelum terhempas sejauh dua meter dari atas kangali. Tubuhnya berdebam di tanah. Dadanya terasa sesak seperti hendak meledak. Udara di hadapannya serasa membeku dan kegelapan menyelimuti matanya.

“Perkosa ibumu!” makinya di ujung tarikan napas panjang.

Tangannya menggapai-gapai, ia merangkak cepat melempar tubuhnya ke balik tumpukan kayu gelondongan dekat situ. Ia mencoba menahan rasa perih di dadanya dan mencoba mengatur napasnya.

Terdengar langkah kaki bergegas mendekat, kemudian hening. Beberapa saat kemudian sebaris sinar menerobos kegelapan menyusul suara memecah sunyi.

“Perkosa ibumu! Matikan senter itu! Kau melihatnya?”

“Dia pasti jatuh tak jauh dari sini, aku mengenai dadanya!”

“Lelaki tua bau tanah itu sudah di neraka!”

Terdengar salak anjing di jalanan. Malo Lede menahan napasnya dari balik tumpukan kayu gelodongan.

“Lelu bisa mati diinjak kerbau.” Terdengar seorang menyela.

“Persetan! Kita tidak ada waktu lagi, di mana kuda pacu itu?”

“Di kandang depan.”

“Kerbau-kerbau itu?” sambar yang lain.

“Persetan! Kita sudah membangunkan orang!”

Kemudian terdengar langkah kaki bergegas ribut. Anjing terus menyalak dan di rumah dekat situ lampu pelita menyala kemudian mati lagi. Ketakutan merambat dalam rumah-rumah itu.

“Lelu anjing!” umpat Malo Lede susah payah.

***

Lelu adalah kawan lama dan yang membuat mereka berkawan adalah kegilaan pada pacuan kuda. Lelu memiliki kuda pacu paling tangguh sepanjang kawasan itu. Kudanya nyaris memenangkan semua adu lari di arena mana pun. Malo Lede kala itu adalah pendukung garis keras kuda Lelu dan petaruh yang tangguh. Demi semua itu, berhari-hari ia tinggalkan rumah dan melupakan istrinya yang baru saja melahirkan anak keduanya. Ia menjual padi dan jagung, menjual babi dan kerbau. Semuanya habis di arena pacuan kuda atau di tikar judi. Setiap kali pulang, istrinya selalu dipukulinya. Ia mengikuti ke mana pun kuda Lelu adu lari dan menyimpan hasrat untuk memiliki kuda pacu sendiri.

Keberuntungan itu datang seiring ke menangan-kemenangan kuda Lelu. Ia akhirnya dapat membeli seekor kuda jantan kurus dari seorang kerabat, merawat, dan mencintainya lebih daripada istri dan anak-anaknya, membawanya ke arena pacuan. Setahun setelah itu, ia berhasil menaklukkan kuda milik Lelu dalam satu pacuan yang mendebarkan.Sejak itu, kuda Malo Lede sering terlibat di putaran akhir dan menghajar kuda Lelu tanpa ampun. Perlahan kuda Lelu mulai tersingkir dan tentu saja kenyataan itu membangkitkan amarah bercampur iri hati dalam diri Lelu.

Beberapa kali kuda Lelu tak ikut pacuan dan beredar kabar kalau ia telah menjual kuda pacunya dan tenggelam dalam judi dan minuman keras. Ia tak lagi muncul di arena pacuan hingga suatu hari ia muncul sempoyongan, dan mencaci maki Malo Lede sebagai anjing pengkhianat. Sejak itulah perkawanan mereka berakhir dan berakhir pula aksi Malo Lede di arena pacuan. Sekembalinya dari pacuan kuda, ia mendapati istrinya terkapar di pembaringan dengan tubuh kurus kering. Wajah dan matanya memerah, menatapnya penuh kebencian. Sebelum mengembuskan napas terakhir, perempuan malang itu meludahinya dengan kejijikan yang rasanya abadi di ingatan Malo Lede. Masa-masa itulah, yang kini tak ingin dikenang oleh Malo Lede. Setiap kenangan itu datang rasa bersalah menghajarnya tanpa ampun.

***

Kemarin sore, Lelu muncul di halaman rumah Malo Lede untuk pertama kali sejak peristiwa di arena pacuan. Ia membawa wajah cerah, mengunyah sirih, dan menarik rokok dengan riang. Malo Lede langsung mengenalinya beserta masa lalu yang mengikutinya.

“Tiba-tiba saja aku ingin ketemu kau, sudah lama sekali…,” ujarnya seraya melempar pantat di bale-bale.

Masa lalu tampak membayang di wajahnya, yang membangkitkan rasa enggan dalam diri Malo Lede. Seperti masa lalu itu, kehadiran kawan lama tersebut tak kuasa ia tolak. Lelu melempar sebungkus rokok ke pangkuan Malo Lede.

“Sudah hidup makmur kau sekarang.”

“Lumayan untuk beli sebungkus rokok,” jawabnya terkekeh-kekeh.

“Ini kuda pacumu yang dulu?” Sambarnya lagi begitu melihat kuda jantan merah di samping rumah tengah memamah rumput. Tingginya sekitar 130 cm, kuda sandel asli Sumba. Surai panjangnya rebah tak teratur di leher pendeknya. Tak seperti kuda Sumba kebanyakan yang bermata riang, kuda Malo Lede bermata sendu dan berwajah murung.

“Ya. Dia sudah lupa sama sekali kalau pernah turun ke arena pacuan.”

“Aku selalu berpikir untuk kembali ke sana,” kata Lelu bersemangat.

“Waktu kita sudah selesai,” jawab Malo Lede murung seraya menatap semburat senja di kejauhan.

“Waktu kita belum selesai.”

Sepanjang Lelu bicara Malo Lede merasa aneh melihat gerak-geriknya. Lelu melihat ke segala penjuru rumah dan sepertinya hendak melekatkan semua yang ditangkap mata dalam ingatannya. Ia kadang berdiri, melangkah ke samping rumah, melihat kuda itu, dan memuji tubuhnya yang bagus, melihat kandang kuda, dan kandang kerbau.

“Punya banyak hewan kau sekarang.”

“Punya anak laki-laki aku, sementara ini dititip di sini. Kau tahu sendiri situasi di Lukumana.”

“Tak ada tempat yang lebih aman selain desa ini,” kata Lelu sambil melompat ke atas kangali, melangkah sampai ke bawah pohon kedondong, memungut satu yang busuk, dan melemparnya ke dalam kebun kopi. Beberapa saat ia terdiam memandang rimbun kebun kopi itu.

“Lantas anak laki-lakimu ke mana?”

“Pulang ke Lukumana. Katanya hari ini ia akan mengirim orang untuk menjaga kerbau-kerbau ini tapi orang itu belum juga datang.”

Lelu pulang setelah menolak dengan susah payah tawaran Malo Lede untuk minum kopi dan makan. Ketika menyalakan pelita sore itu, firasat buruk datang dalam gelap rumah membayang di hadapannya.

***

Dari tempat persembunyiannya, ia mendengar bambu-bambu penutup kandang kuda ditarik paksa dan bunyi parang beradu dengan bambu. Dadanya kembali panas bersama rasa perih menjalar cepat ke sekujur tubuh. Kemudian terdengar ringkik kuda memberontak kian menjauh. Ia memaksakan diri untuk berdiri. Saat itulah sebaris sinar menerpa wajahnya, begitu menyilaukan hingga membuatnya tak dapat melihat sosok di hadapannya.

Kemudian sebilah parang dari balik sinar itu menghajar lengan kirinya dan membuatnya terdorong ke belakang beberapa langkah. Parang itu melayang lagi dan menyabet kausnya. Setelah mendapat cukup ruang dan kesempatan, ia ayunkan parang membabi buta hingga dalam satu kesempatan parangnya menghajar senter itu, membuatnya melayang, dan jatuh ke tanah. Ia tak menghentikan serangan sampai terdengar jeritan panjang dan tubuh jatuh berdebam di tanah. Ia mundur beberapa langkah dalam gelap, mengambil napas, mengambil jarak. Erangan terdengar begitu memilukan.

Setelah suasana sedikit tenang, tersaruk ia sambil menahan rasa sakit yang amat sangat di dada dan lengannya menuju senter yang terus saja bersinar membelah kegelapan. Ia raih senter itu dan mengarahkannya ke sumber erangan. Udara di hadapannya seperti membeku dan tubuhnya goyah sesaat.

“Lelu!” teriaknya lemah.

Di bawah siraman sinar senter, ia mendapati tubuh Lelu bergetar hebat. Kausnya memerah dan darah kental melelup-lelup dari luka menganga di dada kanan dan lengan kirinya yang nyaris putus. Buih-buih darah melelup dari mulutnya. Matanya terbelalak memerah.

Melihat semua itu, rasa dingin menjalar dari ujung kaki, dan tubuhnya serasa melayang. Ia roboh di sisi Lelu. Udara di hadapannya kian membeku dan gelap pekat menyelimuti wajahnya. Sayup-sayup terdengar derap kuda pacu dan ringkik ribut, menjauh. ***


[1] Kangali: Pagar batu setinggi dada orang dewasa terbuat dari susunan batu karang.
[2] Lasu : Kemaluan laki-laki.

Malam



Bila malam tiba di sisimu
Sambil menghitung waktu berjaga
Kau suka memandangi kalender tahun lampau
mencari dalam angka, kenangan beku

Bila malam tiba di sisimu
Kau suka memandangi rembulan
mencari dalam cahaya, seraut wajah
yang kau titip bertahun-tahun lampau

Bila malam tiba di sisimu
Kau suka menyebut namanya
Saat kau meracau di tepi jalan
di sela teguk kopi klotok dan tarikan rokok

Aku melihat gadis bersayap
Menari di mata sendumu

Bila pagi datang dari balik kain
kau berkata, “mari tidur lagi, pagi masih kelam.”
saat itu aku paham kau tak pernah enggan
membiarkan gadismu seorang diri dalam mimpi

Teman Lama



Kucari teman lamaku
Dalam lipatan hari,  pada jalan yang berkelok di belakang
dan yang kutemukan hanya impian yang kesepian

Kucari teman lamaku
Dalam biru langit dan jernih air
Dan yang kutemukan hanya elang berguguran
dan ikan mengapung

Temanku hilang ditelan peradaban masa kini

Kucari teman lamaku
 dan Kutemukan dia
Pada sebuah kota dalam tumpukan sampah
Terlelap dalam belaian tikus-tikus rakus
Bernyanyi semerdu mada pujian bagi Tuhan Mahabesar
Sedangkan jemari lebar menghitung pundi diri sendiri
Kulihat tubuhnya terbenam dalam lumpur. Kotor.
Jiwanya terbakar seperti lilin-lilin katedral

—Baciro, 24 februari 2014

Akhir Bulan #2

Baca Akhir Bulan#1 di sini


Suara dengung riuh seperti lalat mengapung di langit-langit ruang, bertubrukan, bergulat satu dengan yang lain. Satu, dua, tiga kata melesat di antara kata-kata yang lain. Dosen tua itu melangkah ringkih melintasi koridur menuju ruangan seperti ada tali yang mengekang kedua kakinya dan ditarik oleh sekelompok mahasiswa pemalas. Ketika tubuh ringkih itu tampak di depan pintu mendadak kelas menjadi tenang. Terdengar derit bangku dan meja. Martin masuk lima menit setelah dosen tua itu memulai kata-kata pertamanya. Ia melihat ke arah Martin dengan tatapan sinis. 

Kelompok pertama selesai presentasi dan mendapat tepuk tangan. Semua pertanyaan dapat dijawabnya dengan mudah sebab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan hanya soal-soal sepele. Anggota kelompok menarik nafas lega dan dengan sopan kembali ke tempat duduknya. Giliran kelompok Martin. Martin maju. Semua mata tertuju pada helai-helai rambut yang awut-awutan. Kesimpulan diambil diam-diam; ia tak mandi lagi. Setelah menyapa Dosen dan mahasiswa di hadapannya, Ia mulai membaca satu persatu hasil wawancara. Suaranya datar dan membosankan. Tak ada kontak mata dengan mahasiswa di hadapannya. Pemandangan yang sukses membuat Dosen tua itu geram. Satu teorinya telah di langgar; kontak mata dengan audience.

Kesimpulan kasar dari para audience adalah mahasiswa sama sekali tak puas dengan pelayanan prodi terutama sekretarisnya yang tak pernah tersenyum saat berurusan dengan mahasiswa. Saat itu juga, Martin berpikir teman-temannya itu mengada-ada. Ia tahu, sekretaris bertubuh mungil itu kewalahan seorang diri mengurusi semua adminstrasi mahasiswa. Soal senyum saja dipersoalkan, gumamnya. Ia menyimpulkan, Mahasiswa tampak cukup puas dengan pelayanan secretariat prodi.

Kelas menjadi riuh lagi. Tangan-tangan diacungkan ke udara. Dosen tua coba menengahi. Ia menunjuk lelaki paling depan yang kelebihan berat badan. Ia berdehem sebentar. Dan mulai bertanya.

“Dalam hasil wawancara kelompok anda, ada indikasi bahwa mahasiswa-mahasiswa tak puas dengan pelayanan secretariat. Mengapa anda menyebut mereka cukup puas dengan pelayanan secretariat?”
Mata Novi membelalak ke arah Martin. Bibirnya mengucapkan kata-kata tanpa suara, bertanya,  ‘apa-apaan kau Martin?” teman kelompoknya yang lain mulai tak tenang. Mereka boleh berbicara jika dipersilakan oleh bapak dosen.

“Saya sama sekali meragukan pendapat para mahasiswa itu,” mulai Martin dengan cukup meyakinkan tanpa perlu berpikir.
 “Sekretaris kita sudah menghabiskan banyak tenaga sepanjang hari mengurusi segala macam urusan kemahasiswaan. Kelelahan membuatnya sulit tersenyum. Mereka sama sekali tak bersyukur urusan mereka dapat selesai. Mereka malah mengomentari hal sepeleh soal senyum.”

“Bagaimanapun, kesimpulan anda bertolak belakang dengan data-data anda,” sambar lelaki kelebihan berat badan itu.

Para mahasiswa mulai geleng-geleng kepala. Tangan-tangan kembali diacungkan lagi. mereka berpikir, ini kesempatan untuk menjatuhkan Martin di depan dosen. Dosen tua itu mengetuk meja. Perhatian dialihkan kepadanya. Ia memasang wajah yang menyiratkan kekesalan.

“Pertama,” mulainya. “Saat berbicara kamu sama sekali tak melakukan kontak mata dengan audience. Kedua, kesimpulan kamu jauh dari fakta yang kamu temukan,” ia berhenti sejenak untuk menarik nafas. “Itu sudah cukup membuat kelompokmu maju lagi minggu depan. Temukan fakta dan simpulkan berdasarkan fakta.”

Tanpa menunggu reaksi Martin. Ia memintak kelompok berikutnya maju. Itu berarti Martin harus segera enyah dari depan kelas. Martin berpikir, tindakan dosen itu sungguh kejam. Meskipun demikian, ia tak ambil peduli. Ia kembali ke bangkunya tanpa perhatian. Novi dengan kekesalannya membuang muka.

Kelas selesai. Martin keluar tergesa-gesa melintasi koridur. Beberapa perempuan dan lelaki duduk melonjorkan kaki, menunggu kelas dimulai. Mendadak Ia merasa menyesal lagi telah mengecewakan teman-teman kelompoknya. Mengapa pikiran begitu bisa datang, pikirnya. Rencananya ia hanya perlu membacanya di depan kelas. Ia sudah tak ikut kerja kelompok. Kini, bikin masalah lagi. ia mengingat wajah-wajah teman kelas yang meremehkannya. Wajah Novi dan teman kelompoknya yang kesal dan membuang muka darinya. Ia mendadak berteriak dalam hatinya, persetan!

Ia hendak menuruni tangga ketika seseorang memanggil namanya, ia berhenti dan berbalik menuju arah suara datang. Yuda muncul di antara mahasiswa yang melintasi koridor. Seperti pengemis yang tak makan tiga hari, ia menyodorkan telapak tangannya dengan kesopanan seorang jawa tulen yang sedang kesal dan hilang kesabaran.

“Iuran pementasan,” pintanya. “Tiga minggu kamu belum bayar.”

Martin memandang telapak tangan itu dengan jengkel. Tanpa pikir lagi, ia menarik dompet dari sakunya dan membantingnya dengan kasar di telapak tangan Yuda.

“Ambil semua,” katanya sambil meninggalkan Yuda yang kebingungan.

Ia menuruni tangga. Dari arah parkiran, Airin melangkah dengan anggun. Martin tertegun dan menghentikan langkahnya. Lorong yang membentang menuju parkiran itu tampak lengang. Ia dapat melihat dengan jelas sosok Airin. Ia mengenakan celana panjang jeans biru ketat dan kaos berkerak warna putih, menunjukkan lekuk tubuhnya yang indah. Kulit putihnya berkilau di mata Martin. Rambutnya dibiarkan terurai dipermainkan angin sepoi. Ia melangkah tergesa-gesa. Ketika ia semakin dekat, Martin dapat menikmati bibir mungil yang basah itu. Ia mulai merapikan rambutnya, berusaha meninggalkan kesan yang berarti di mata Airin. Airin mengangkat wajahnya ketika tiba dekat tangga.

“Ehm, Martin. Kamu punya buku tata bahasa baku?” Tanyanya tiba-tiba setelah melihat Martin terpaku di bawah tangga.

“Sepertinya ada,” jawab Martin begitu saja sambil pura-pura membongkar isi tasnya. Untuk menghindari tubrukan mahasiswa yang lain. Airin bergeser sedikit di sisi Martin. Aroma parfumnya merasuki Martin.

“Wah, saya lupa membawa buku itu,” jawab Martin lagi untuk mengakhiri kepura-puraannya.

Ih, gimana sih Martin.” 

Suaranya bernada kesal namun Martin amat menikmatinya. Airin bergegas menaiki tangga. Martin mengikuti tubuh perempuan pujaannya itu sebelum Yuda mengambil perhatiannya lagi. Lelaki kurus itu menyodorkan dompet Martin tanpa bersuara dan berbalik pergi. Martin menyisihkan dalam saku celana. Dompet itu hanya berisi KTP, KTM, dan ATM. Benda-benda yang tak bisa digunakan untuk pembayaran iuaran pementasan.

Sepanjang jalan ia memikirkan dengan pikiran seorang pemuja rahasia dengan sedikit unsur kemesuman di dalamnya, kemungkinan memiliki Airin. Ia memikirkan hari-hari bersama Airin sedetail mungkin, membuatnya menggigil sendiri. Pada akhirnya ia juga memikirkan kemustahilan-kemustahilan dirinya di hadapan Airin. 

Seperti biasanya, gang Brajamusti berderu, motor-motor dengan bunyi serupa gendering kaleng melintas. Becak-becak parkir berderet-deret depan hotel Sejahtera. Pemiliknya tergolek di tempat duduknya dengan lalat beterbangan di permukaan wajahnya. Wajah-wajah lapar mengerubungi warung makan seperti lalat-lalat dalam berbagai warna. Terdengar denting sendok pada piring serta orang yang kekenyangan bercakap-cakap dalam suara tinggi. Beberapa mahasiswi dengan perut melilit menghadap mesin foto kopi yang seharian tak lelahnya berderu memancarkan sinar-sinar kekuningan yang misterius. Di antara warung-warung makan mewah, penjual jus, dan burjo, berdiri angkringan Pak Kus menantang kemapaman dan dominasi warung-warung mewah. Menyediakan kenikmatan yang sederhana tapi sempurna.

Jony tidak pernah merasa puas makan di angkringan. Nasi kucing seperti sebuah ejekan pada lambung karetnya. Ia tak pernah turut jika diajak makan di angkringan saat dompetnya sedang tebal. Ia lebih suka makan di warung prasmanan, yang nasi dan lauk ambil sendiri sesuka hati. Kalau saatnya makan Jony selalu bersemangat, mengambil piring, mengisi nasi setinggi gunung merapi, ayam goreng, sayur lodeh. Ia hanya punya waktu tak sampai 5 menit untuk membersihkan piringnya. Gaya makan yang bertanggung jawab terhadap bentuk tubuhnya dan sama sekali tak membantu perkembangan otaknya yang tumpul itu.

Bersambung ...

Pagi yang Mati

Oleh: Crispian Bombo

Kawan
Aku menemukanmu dalam hujan kemarin
Ketika ilalang di atap rumah
sedang bermandi bau bumi

Lagi kudapatimu sedang makan buah kopi
dalam cangkir kecil tempat kita pernah  mengaduk mimpi

Terakhir
kamu telah hampir menyantap setiap bersamaku
pagi-pagi yang mati. 


*dikutip dari buku kumpulan  Puisi Crispian Bombo Balada Pemikul Sangkakala (LPM Terompong, 2014) hal 65

. . .



Lantas aku bersila di tepian hari
Memandangi semburat senja untuk terakhir kali
mengingatmu untuk kesekian kali

Adakah kau dalam kilau lembayung senja?

Tamasya malam buta
Rembulan beringsut menjauh
Bintang redup dan mati
kelepak muram burung malam

Aku merindukan pagi, embun
dan senyum meresapi rerumputan

-          Biciro, 24 Oktober 2014