Suara dengung riuh seperti lalat mengapung di langit-langit ruang, bertubrukan, bergulat satu dengan yang lain. Satu, dua, tiga kata melesat di antara kata-kata yang lain. Dosen tua itu melangkah ringkih melintasi koridur menuju ruangan seperti ada tali yang mengekang kedua kakinya dan ditarik oleh sekelompok mahasiswa pemalas. Ketika tubuh ringkih itu tampak di depan pintu mendadak kelas menjadi tenang. Terdengar derit bangku dan meja. Martin masuk lima menit setelah dosen tua itu memulai kata-kata pertamanya. Ia melihat ke arah Martin dengan tatapan sinis.
Kelompok pertama selesai presentasi dan mendapat
tepuk tangan. Semua pertanyaan dapat dijawabnya dengan mudah sebab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan hanya soal-soal sepele. Anggota kelompok
menarik nafas lega dan dengan sopan kembali ke tempat duduknya. Giliran
kelompok Martin. Martin maju. Semua mata tertuju pada helai-helai rambut yang
awut-awutan. Kesimpulan diambil diam-diam; ia tak mandi lagi. Setelah menyapa
Dosen dan mahasiswa di hadapannya, Ia mulai membaca satu persatu hasil
wawancara. Suaranya datar dan membosankan. Tak ada kontak mata dengan mahasiswa
di hadapannya. Pemandangan yang sukses membuat Dosen tua itu geram. Satu
teorinya telah di langgar; kontak mata dengan audience.
Kesimpulan kasar dari para audience adalah
mahasiswa sama sekali tak puas dengan pelayanan prodi terutama sekretarisnya
yang tak pernah tersenyum saat berurusan dengan mahasiswa. Saat itu juga,
Martin berpikir teman-temannya itu mengada-ada. Ia tahu, sekretaris bertubuh mungil
itu kewalahan seorang diri mengurusi semua adminstrasi mahasiswa. Soal senyum
saja dipersoalkan, gumamnya. Ia menyimpulkan, Mahasiswa tampak cukup puas
dengan pelayanan secretariat prodi.
Kelas menjadi riuh lagi. Tangan-tangan diacungkan
ke udara. Dosen tua coba menengahi. Ia menunjuk lelaki paling depan yang
kelebihan berat badan. Ia berdehem sebentar. Dan mulai bertanya.
“Dalam hasil wawancara kelompok anda, ada indikasi
bahwa mahasiswa-mahasiswa tak puas dengan pelayanan secretariat. Mengapa anda
menyebut mereka cukup puas dengan pelayanan secretariat?”
Mata Novi membelalak ke arah Martin. Bibirnya
mengucapkan kata-kata tanpa suara, bertanya,
‘apa-apaan kau Martin?” teman kelompoknya yang lain mulai tak tenang.
Mereka boleh berbicara jika dipersilakan oleh bapak dosen.
“Saya sama sekali meragukan pendapat para
mahasiswa itu,” mulai Martin dengan cukup meyakinkan tanpa perlu berpikir.
“Sekretaris kita sudah menghabiskan banyak tenaga sepanjang hari mengurusi segala
macam urusan kemahasiswaan. Kelelahan membuatnya sulit tersenyum. Mereka sama
sekali tak bersyukur urusan mereka dapat selesai. Mereka malah mengomentari hal
sepeleh soal senyum.”
“Bagaimanapun, kesimpulan anda bertolak belakang
dengan data-data anda,” sambar lelaki kelebihan berat badan itu.
Para mahasiswa mulai geleng-geleng kepala.
Tangan-tangan kembali diacungkan lagi. mereka berpikir, ini kesempatan untuk
menjatuhkan Martin di depan dosen. Dosen tua itu mengetuk meja. Perhatian
dialihkan kepadanya. Ia memasang wajah yang menyiratkan kekesalan.
“Pertama,” mulainya. “Saat berbicara kamu sama
sekali tak melakukan kontak mata dengan audience. Kedua, kesimpulan kamu jauh
dari fakta yang kamu temukan,” ia berhenti sejenak untuk menarik nafas. “Itu
sudah cukup membuat kelompokmu maju lagi minggu depan. Temukan fakta dan
simpulkan berdasarkan fakta.”
Tanpa menunggu reaksi Martin. Ia memintak kelompok
berikutnya maju. Itu berarti Martin harus segera enyah dari depan kelas. Martin
berpikir, tindakan dosen itu sungguh kejam. Meskipun demikian, ia tak ambil
peduli. Ia kembali ke bangkunya tanpa perhatian. Novi dengan kekesalannya
membuang muka.
Kelas selesai. Martin keluar tergesa-gesa
melintasi koridur. Beberapa perempuan dan lelaki duduk melonjorkan kaki, menunggu
kelas dimulai. Mendadak Ia merasa menyesal lagi telah mengecewakan teman-teman
kelompoknya. Mengapa pikiran begitu bisa datang, pikirnya. Rencananya ia hanya
perlu membacanya di depan kelas. Ia sudah tak ikut kerja kelompok. Kini, bikin
masalah lagi. ia mengingat wajah-wajah teman kelas yang meremehkannya. Wajah Novi
dan teman kelompoknya yang kesal dan membuang muka darinya. Ia mendadak
berteriak dalam hatinya, persetan!
Ia hendak menuruni tangga ketika seseorang
memanggil namanya, ia berhenti dan berbalik menuju arah suara datang. Yuda
muncul di antara mahasiswa yang melintasi koridor. Seperti pengemis yang tak
makan tiga hari, ia menyodorkan telapak tangannya dengan kesopanan seorang jawa
tulen yang sedang kesal dan hilang kesabaran.
“Iuran pementasan,” pintanya. “Tiga minggu kamu
belum bayar.”
Martin memandang telapak tangan itu dengan
jengkel. Tanpa pikir lagi, ia menarik dompet dari sakunya dan membantingnya
dengan kasar di telapak tangan Yuda.
“Ambil semua,” katanya sambil meninggalkan Yuda
yang kebingungan.
Ia menuruni tangga. Dari arah parkiran, Airin
melangkah dengan anggun. Martin tertegun dan menghentikan langkahnya. Lorong
yang membentang menuju parkiran itu tampak lengang. Ia dapat melihat dengan
jelas sosok Airin. Ia mengenakan celana panjang jeans biru ketat dan kaos
berkerak warna putih, menunjukkan lekuk tubuhnya yang indah. Kulit putihnya
berkilau di mata Martin. Rambutnya dibiarkan terurai dipermainkan angin sepoi.
Ia melangkah tergesa-gesa. Ketika ia semakin dekat, Martin dapat menikmati
bibir mungil yang basah itu. Ia mulai merapikan rambutnya, berusaha
meninggalkan kesan yang berarti di mata Airin. Airin mengangkat wajahnya ketika
tiba dekat tangga.
“Ehm, Martin. Kamu punya buku tata bahasa baku?”
Tanyanya tiba-tiba setelah melihat Martin terpaku di bawah tangga.
“Sepertinya ada,” jawab Martin begitu saja sambil pura-pura
membongkar isi tasnya. Untuk menghindari tubrukan mahasiswa yang lain. Airin
bergeser sedikit di sisi Martin. Aroma parfumnya merasuki Martin.
“Wah, saya lupa membawa buku itu,” jawab Martin
lagi untuk mengakhiri kepura-puraannya.
“Ih, gimana
sih Martin.”
Suaranya bernada kesal namun Martin amat
menikmatinya. Airin bergegas menaiki tangga. Martin mengikuti tubuh perempuan
pujaannya itu sebelum Yuda mengambil perhatiannya lagi. Lelaki kurus itu
menyodorkan dompet Martin tanpa bersuara dan berbalik pergi. Martin menyisihkan
dalam saku celana. Dompet itu hanya berisi KTP, KTM, dan ATM. Benda-benda yang
tak bisa digunakan untuk pembayaran iuaran pementasan.
Sepanjang jalan ia memikirkan dengan pikiran
seorang pemuja rahasia dengan sedikit unsur kemesuman di dalamnya, kemungkinan
memiliki Airin. Ia memikirkan hari-hari bersama Airin sedetail mungkin,
membuatnya menggigil sendiri. Pada akhirnya ia juga memikirkan
kemustahilan-kemustahilan dirinya di hadapan Airin.
Seperti biasanya, gang Brajamusti berderu,
motor-motor dengan bunyi serupa gendering kaleng melintas. Becak-becak parkir
berderet-deret depan hotel Sejahtera. Pemiliknya tergolek di tempat duduknya
dengan lalat beterbangan di permukaan wajahnya. Wajah-wajah lapar mengerubungi
warung makan seperti lalat-lalat dalam berbagai warna. Terdengar denting sendok
pada piring serta orang yang kekenyangan bercakap-cakap dalam suara tinggi.
Beberapa mahasiswi dengan perut melilit menghadap mesin foto kopi yang seharian
tak lelahnya berderu memancarkan sinar-sinar kekuningan yang misterius. Di
antara warung-warung makan mewah, penjual jus, dan burjo, berdiri angkringan
Pak Kus menantang kemapaman dan dominasi warung-warung mewah. Menyediakan
kenikmatan yang sederhana tapi sempurna.
Jony tidak pernah merasa puas makan di angkringan.
Nasi kucing seperti sebuah ejekan pada lambung karetnya. Ia tak pernah turut
jika diajak makan di angkringan saat dompetnya sedang tebal. Ia lebih suka
makan di warung prasmanan, yang nasi dan lauk ambil sendiri sesuka hati. Kalau
saatnya makan Jony selalu bersemangat, mengambil piring, mengisi nasi setinggi
gunung merapi, ayam goreng, sayur lodeh. Ia hanya punya waktu tak sampai 5
menit untuk membersihkan piringnya. Gaya makan yang bertanggung jawab terhadap
bentuk tubuhnya dan sama sekali tak membantu perkembangan otaknya yang tumpul
itu.
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar