DARI balik dinding bambu, melalui celah sebesar bola mata, di bawah remang rembulan, Malo Lede dapat melihat begitu jelas bayang-bayang berkelebat dekat kangali [1]. Ia tak tahu berapa jumlah pasti mereka, yang jelas lebih dari satu, dan tak kan pergi sebelum mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Perlahan ia melepas kain yang membungkus tubuhnya. Rasa nyeri yang amat sangat menyerang pinggangnya begitu ia berdiri. Dengan berjinjit, ia melangkah penuh hati-hati menuju bilik kecil di satu sudut ruangan, menghindari bambu-bambu yang dapat berderak begitu ia menjejakkan kaki, menghindari baris-baris sinar rembulan yang menerobos celah-celah dinding. Begitu tiba di bilik itu, segera ia raih sebatang tombak dan kembali ke tempat pengintaiannya.
Bulan bulat penuh bertengger di pucuk sebatang pohon kelapa. Awan tipis seperti ratusan untaian benang putih berserakan mengitari bulan. Remang sinarnya membasuh rerumputan di halaman, pucuk pohon kopi, kelapa, ke dondong, dan kangali di belakang rumah, menciptakan bayangan besar memanjang dan tenang. Sunyi mencekam dan sesekali ditingkahi ke lepak kelelawar dan dengus kerbau.
“Sial,” umpat Malo Lede tak sabar menanti awan tebal menutupi bulan, menanti kegelapan meraja. Sebab bergerak di tengah remang rembulan sama saja menyerahkan diri.
Kemudian, terdengar olehnya bunyi batu beradu kemudian berdentum di tanah. Kali ini begitu jelas bayangan itu di bawah pohon kedondong, bergerak kesetanan membongkar kangali. Saat melihat semua itu, tubuh Malo Lede bergetar hebat. Aliran darah panas merambat cepat ke sekujur tubuhnya. Ia cabut parang dari sarungnya dan meraih tombak di sisinya.
Tersaruk, ia menuju pintu depan, tak peduli lagi pada langkah yang menimbulkan derak dan cahaya yang menciptakan bayangan berkelebat, yang dapat mengirim pesan ke bawah sana. Dalam sekejap ia sudah menginjak tanah bersamaan dengan sinar rembulan memudar di telan kegelapan. Di langit sekumpulan awan tebal beringsut menutupi bulan. Sambil menunduk, ia melangkah cepat seperti melayang, menghilang dalam kebun kopi yang membentang di samping rumah.
***
“Saya titip kerbau beberapa hari di sini,” ucapnya.
Malo Lede membalikkan badan, menuju tiang rumah di mana lampu pelita bertengger dan dengan perlahan menyalakan sumbu pelita dengan korek kayu. Ruang tengah menjadi terang dan tampak jelas kini seraut wajah perempuan muda dalam potret sefia terpaku dalam bingkai kayu yang tergantung di tiang rumah dekat pembaringan.
Lelaki muda itu bernama Pilipus Malo, anak pertama Malo Lede. Lima tahun lalu, ketika badai kelaparan menyerang desa kecil itu, dengan berat hati ia meninggalkan ayahnya seorang diri dan menerima tawaran mertuanya menggarap kebun milik keluarga di Lukumana. Ia membawa istri, anak-anaknya, peralatan berkebun, dan dua ekor kerbau betina kurus kering. Ia meninggalkan janji akan mengirim padi dan jagung setiap musim panen.
Malo Lede memiliki dua anak, yang satunya perempuan, telah meninggalkan rumah begitu ia kawin. Istrinya meninggal membawa amarah dan kebencian di usia 28 tahun oleh suatu serangan ganas malaria yang aneh dan tak tertangguhkan dan nyaris menghabisi sebagian perempuan dan anak-anak di desa itu. Anak perempuannya yang beranjak dewasa ketika penyakit ganas itu menyerang, selamat di tangan seorang misionaris Jerman yang menenteng tas ransel besar berisi obat-obatan.
Sejak kepergian Pilipus Malo, Malo Lede tinggal bersama seekor kuda jantan tua yang riwayat hidup gemilangnya tenggelam dalam keterasingan. Usianya mencapai 50 tahun dan ia selalu merasakan nyeri yang amat sangat di tulang punggung dan pinggangnya. Setiap malam ia selalu bermimpi didatangi sosok istrinya dalam rupa lidah api pelita. Sebagian harinya habis di kebun, mengumpul kemiri dan memetik kopi ketika musim panen tiba. Selebihnya, ia menghabiskan harinya berbaring menatap potret istrinya sementara pikirannya berkelana ke masa lalu. Ia secara terang-terangan menolak dikunjungi oleh siapa pun.
“Di Lukumana, enam kandang kerbau kosong dalam satu malam. Gerombolan Ayam Hitam sedang berkeliaran.”
“Mereka itu seperti semut-semut merah, di mana ada gula di situ mereka datang.”
“Setidaknya di sini lebih aman.”
“Bagus betul! Orang tua bau tanah macam aku kau suruh jaga kerbau-kerbau ini. Tai lasu [2] betul kau! Tidak cukup kau siksa aku dengan pergi meninggalkan rumah?”
“Aku akan kirim orang ke sini. Orang-orang masih sibuk membersihkan kebun,” jawab Pilipus Malo acuh tak acuh.
“Cepat kau pergi dan suruh orang itu ke sini! Sebelum kerbau-kerbau ini aku potong semua.”
Tengah malam ini lidah api pelita dalam mimpinya membangunkannya, mendorongnya ke dalam pertarungan hidup mati, dan ia tak kuasa membiarkan kerbau-kerbau itu dibawa pergi.
***
Ia tiba di tepi kangali bersamaan dengan sekelompok awan yang menutupi bulan merekah dan perlahan berpencar. Cahaya rembulan kembali menerangi halaman belakang. Ia mendongakkan kepala dari balik kangali dan mendapati sosok lelaki pendek dalam kandang tanpa rasa takut sedikit pun berusaha menarik kerbau keluar kandang. Saat itu tubuhnya bergetar hebat. Ia tak dapat lagi menahan amarah yang serasa membakar dadanya. Dalam satu gerakan melompat, ia sudah berada di atas kangali dan ia berjarak lima meter dari tempat lelaki itu berdiri. Ia memusatkan kekuatan di tangan kanan, membidik, dan mengambil ancang-ancang. Ia mengayunkan tombak itu sekuat tenaga sehebat amarah dalam dadanya seraya berteriak,
“Mati kau!”
Ia tak tahu lagi apakah tombak itu mengenai lelaki itu. Setelah melepas tombak, tubuhnya ikut terdorong ke depan dan saat ia hendak mengambil keseimbangan, tiba-tiba saja terdengar bunyi desing cepat yang begitu ia kenal.
“Sial! Batu ali-ali!” umpatnya.
Ia tak lagi sempat menghindar. Batu sebesar kepalan tangan menghajar dadanya. Ia merasakan tubuhnya membeku di udara sebelum terhempas sejauh dua meter dari atas kangali. Tubuhnya berdebam di tanah. Dadanya terasa sesak seperti hendak meledak. Udara di hadapannya serasa membeku dan kegelapan menyelimuti matanya.
“Perkosa ibumu!” makinya di ujung tarikan napas panjang.
Tangannya menggapai-gapai, ia merangkak cepat melempar tubuhnya ke balik tumpukan kayu gelondongan dekat situ. Ia mencoba menahan rasa perih di dadanya dan mencoba mengatur napasnya.
Terdengar langkah kaki bergegas mendekat, kemudian hening. Beberapa saat kemudian sebaris sinar menerobos kegelapan menyusul suara memecah sunyi.
“Perkosa ibumu! Matikan senter itu! Kau melihatnya?”
“Dia pasti jatuh tak jauh dari sini, aku mengenai dadanya!”
“Lelaki tua bau tanah itu sudah di neraka!”
Terdengar salak anjing di jalanan. Malo Lede menahan napasnya dari balik tumpukan kayu gelodongan.
“Lelu bisa mati diinjak kerbau.” Terdengar seorang menyela.
“Persetan! Kita tidak ada waktu lagi, di mana kuda pacu itu?”
“Di kandang depan.”
“Kerbau-kerbau itu?” sambar yang lain.
“Persetan! Kita sudah membangunkan orang!”
Kemudian terdengar langkah kaki bergegas ribut. Anjing terus menyalak dan di rumah dekat situ lampu pelita menyala kemudian mati lagi. Ketakutan merambat dalam rumah-rumah itu.
“Lelu anjing!” umpat Malo Lede susah payah.
***
Keberuntungan itu datang seiring ke menangan-kemenangan kuda Lelu. Ia akhirnya dapat membeli seekor kuda jantan kurus dari seorang kerabat, merawat, dan mencintainya lebih daripada istri dan anak-anaknya, membawanya ke arena pacuan. Setahun setelah itu, ia berhasil menaklukkan kuda milik Lelu dalam satu pacuan yang mendebarkan.Sejak itu, kuda Malo Lede sering terlibat di putaran akhir dan menghajar kuda Lelu tanpa ampun. Perlahan kuda Lelu mulai tersingkir dan tentu saja kenyataan itu membangkitkan amarah bercampur iri hati dalam diri Lelu.
Beberapa kali kuda Lelu tak ikut pacuan dan beredar kabar kalau ia telah menjual kuda pacunya dan tenggelam dalam judi dan minuman keras. Ia tak lagi muncul di arena pacuan hingga suatu hari ia muncul sempoyongan, dan mencaci maki Malo Lede sebagai anjing pengkhianat. Sejak itulah perkawanan mereka berakhir dan berakhir pula aksi Malo Lede di arena pacuan. Sekembalinya dari pacuan kuda, ia mendapati istrinya terkapar di pembaringan dengan tubuh kurus kering. Wajah dan matanya memerah, menatapnya penuh kebencian. Sebelum mengembuskan napas terakhir, perempuan malang itu meludahinya dengan kejijikan yang rasanya abadi di ingatan Malo Lede. Masa-masa itulah, yang kini tak ingin dikenang oleh Malo Lede. Setiap kenangan itu datang rasa bersalah menghajarnya tanpa ampun.
***
“Tiba-tiba saja aku ingin ketemu kau, sudah lama sekali…,” ujarnya seraya melempar pantat di bale-bale.
Masa lalu tampak membayang di wajahnya, yang membangkitkan rasa enggan dalam diri Malo Lede. Seperti masa lalu itu, kehadiran kawan lama tersebut tak kuasa ia tolak. Lelu melempar sebungkus rokok ke pangkuan Malo Lede.
“Sudah hidup makmur kau sekarang.”
“Lumayan untuk beli sebungkus rokok,” jawabnya terkekeh-kekeh.
“Ini kuda pacumu yang dulu?” Sambarnya lagi begitu melihat kuda jantan merah di samping rumah tengah memamah rumput. Tingginya sekitar 130 cm, kuda sandel asli Sumba. Surai panjangnya rebah tak teratur di leher pendeknya. Tak seperti kuda Sumba kebanyakan yang bermata riang, kuda Malo Lede bermata sendu dan berwajah murung.
“Ya. Dia sudah lupa sama sekali kalau pernah turun ke arena pacuan.”
“Aku selalu berpikir untuk kembali ke sana,” kata Lelu bersemangat.
“Waktu kita sudah selesai,” jawab Malo Lede murung seraya menatap semburat senja di kejauhan.
“Waktu kita belum selesai.”
Sepanjang Lelu bicara Malo Lede merasa aneh melihat gerak-geriknya. Lelu melihat ke segala penjuru rumah dan sepertinya hendak melekatkan semua yang ditangkap mata dalam ingatannya. Ia kadang berdiri, melangkah ke samping rumah, melihat kuda itu, dan memuji tubuhnya yang bagus, melihat kandang kuda, dan kandang kerbau.
“Punya banyak hewan kau sekarang.”
“Punya anak laki-laki aku, sementara ini dititip di sini. Kau tahu sendiri situasi di Lukumana.”
“Tak ada tempat yang lebih aman selain desa ini,” kata Lelu sambil melompat ke atas kangali, melangkah sampai ke bawah pohon kedondong, memungut satu yang busuk, dan melemparnya ke dalam kebun kopi. Beberapa saat ia terdiam memandang rimbun kebun kopi itu.
“Lantas anak laki-lakimu ke mana?”
“Pulang ke Lukumana. Katanya hari ini ia akan mengirim orang untuk menjaga kerbau-kerbau ini tapi orang itu belum juga datang.”
Lelu pulang setelah menolak dengan susah payah tawaran Malo Lede untuk minum kopi dan makan. Ketika menyalakan pelita sore itu, firasat buruk datang dalam gelap rumah membayang di hadapannya.
***
Kemudian sebilah parang dari balik sinar itu menghajar lengan kirinya dan membuatnya terdorong ke belakang beberapa langkah. Parang itu melayang lagi dan menyabet kausnya. Setelah mendapat cukup ruang dan kesempatan, ia ayunkan parang membabi buta hingga dalam satu kesempatan parangnya menghajar senter itu, membuatnya melayang, dan jatuh ke tanah. Ia tak menghentikan serangan sampai terdengar jeritan panjang dan tubuh jatuh berdebam di tanah. Ia mundur beberapa langkah dalam gelap, mengambil napas, mengambil jarak. Erangan terdengar begitu memilukan.
Setelah suasana sedikit tenang, tersaruk ia sambil menahan rasa sakit yang amat sangat di dada dan lengannya menuju senter yang terus saja bersinar membelah kegelapan. Ia raih senter itu dan mengarahkannya ke sumber erangan. Udara di hadapannya seperti membeku dan tubuhnya goyah sesaat.
“Lelu!” teriaknya lemah.
Di bawah siraman sinar senter, ia mendapati tubuh Lelu bergetar hebat. Kausnya memerah dan darah kental melelup-lelup dari luka menganga di dada kanan dan lengan kirinya yang nyaris putus. Buih-buih darah melelup dari mulutnya. Matanya terbelalak memerah.
Melihat semua itu, rasa dingin menjalar dari ujung kaki, dan tubuhnya serasa melayang. Ia roboh di sisi Lelu. Udara di hadapannya kian membeku dan gelap pekat menyelimuti wajahnya. Sayup-sayup terdengar derap kuda pacu dan ringkik ribut, menjauh. ***
[1] Kangali: Pagar batu setinggi dada orang dewasa terbuat dari susunan batu karang.
[2] Lasu : Kemaluan laki-laki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar