Malam



Bila malam tiba di sisimu
Sambil menghitung waktu berjaga
Kau suka memandangi kalender tahun lampau
mencari dalam angka, kenangan beku

Bila malam tiba di sisimu
Kau suka memandangi rembulan
mencari dalam cahaya, seraut wajah
yang kau titip bertahun-tahun lampau

Bila malam tiba di sisimu
Kau suka menyebut namanya
Saat kau meracau di tepi jalan
di sela teguk kopi klotok dan tarikan rokok

Aku melihat gadis bersayap
Menari di mata sendumu

Bila pagi datang dari balik kain
kau berkata, “mari tidur lagi, pagi masih kelam.”
saat itu aku paham kau tak pernah enggan
membiarkan gadismu seorang diri dalam mimpi

Teman Lama



Kucari teman lamaku
Dalam lipatan hari,  pada jalan yang berkelok di belakang
dan yang kutemukan hanya impian yang kesepian

Kucari teman lamaku
Dalam biru langit dan jernih air
Dan yang kutemukan hanya elang berguguran
dan ikan mengapung

Temanku hilang ditelan peradaban masa kini

Kucari teman lamaku
 dan Kutemukan dia
Pada sebuah kota dalam tumpukan sampah
Terlelap dalam belaian tikus-tikus rakus
Bernyanyi semerdu mada pujian bagi Tuhan Mahabesar
Sedangkan jemari lebar menghitung pundi diri sendiri
Kulihat tubuhnya terbenam dalam lumpur. Kotor.
Jiwanya terbakar seperti lilin-lilin katedral

—Baciro, 24 februari 2014

Akhir Bulan #2

Baca Akhir Bulan#1 di sini


Suara dengung riuh seperti lalat mengapung di langit-langit ruang, bertubrukan, bergulat satu dengan yang lain. Satu, dua, tiga kata melesat di antara kata-kata yang lain. Dosen tua itu melangkah ringkih melintasi koridur menuju ruangan seperti ada tali yang mengekang kedua kakinya dan ditarik oleh sekelompok mahasiswa pemalas. Ketika tubuh ringkih itu tampak di depan pintu mendadak kelas menjadi tenang. Terdengar derit bangku dan meja. Martin masuk lima menit setelah dosen tua itu memulai kata-kata pertamanya. Ia melihat ke arah Martin dengan tatapan sinis. 

Kelompok pertama selesai presentasi dan mendapat tepuk tangan. Semua pertanyaan dapat dijawabnya dengan mudah sebab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan hanya soal-soal sepele. Anggota kelompok menarik nafas lega dan dengan sopan kembali ke tempat duduknya. Giliran kelompok Martin. Martin maju. Semua mata tertuju pada helai-helai rambut yang awut-awutan. Kesimpulan diambil diam-diam; ia tak mandi lagi. Setelah menyapa Dosen dan mahasiswa di hadapannya, Ia mulai membaca satu persatu hasil wawancara. Suaranya datar dan membosankan. Tak ada kontak mata dengan mahasiswa di hadapannya. Pemandangan yang sukses membuat Dosen tua itu geram. Satu teorinya telah di langgar; kontak mata dengan audience.

Kesimpulan kasar dari para audience adalah mahasiswa sama sekali tak puas dengan pelayanan prodi terutama sekretarisnya yang tak pernah tersenyum saat berurusan dengan mahasiswa. Saat itu juga, Martin berpikir teman-temannya itu mengada-ada. Ia tahu, sekretaris bertubuh mungil itu kewalahan seorang diri mengurusi semua adminstrasi mahasiswa. Soal senyum saja dipersoalkan, gumamnya. Ia menyimpulkan, Mahasiswa tampak cukup puas dengan pelayanan secretariat prodi.

Kelas menjadi riuh lagi. Tangan-tangan diacungkan ke udara. Dosen tua coba menengahi. Ia menunjuk lelaki paling depan yang kelebihan berat badan. Ia berdehem sebentar. Dan mulai bertanya.

“Dalam hasil wawancara kelompok anda, ada indikasi bahwa mahasiswa-mahasiswa tak puas dengan pelayanan secretariat. Mengapa anda menyebut mereka cukup puas dengan pelayanan secretariat?”
Mata Novi membelalak ke arah Martin. Bibirnya mengucapkan kata-kata tanpa suara, bertanya,  ‘apa-apaan kau Martin?” teman kelompoknya yang lain mulai tak tenang. Mereka boleh berbicara jika dipersilakan oleh bapak dosen.

“Saya sama sekali meragukan pendapat para mahasiswa itu,” mulai Martin dengan cukup meyakinkan tanpa perlu berpikir.
 “Sekretaris kita sudah menghabiskan banyak tenaga sepanjang hari mengurusi segala macam urusan kemahasiswaan. Kelelahan membuatnya sulit tersenyum. Mereka sama sekali tak bersyukur urusan mereka dapat selesai. Mereka malah mengomentari hal sepeleh soal senyum.”

“Bagaimanapun, kesimpulan anda bertolak belakang dengan data-data anda,” sambar lelaki kelebihan berat badan itu.

Para mahasiswa mulai geleng-geleng kepala. Tangan-tangan kembali diacungkan lagi. mereka berpikir, ini kesempatan untuk menjatuhkan Martin di depan dosen. Dosen tua itu mengetuk meja. Perhatian dialihkan kepadanya. Ia memasang wajah yang menyiratkan kekesalan.

“Pertama,” mulainya. “Saat berbicara kamu sama sekali tak melakukan kontak mata dengan audience. Kedua, kesimpulan kamu jauh dari fakta yang kamu temukan,” ia berhenti sejenak untuk menarik nafas. “Itu sudah cukup membuat kelompokmu maju lagi minggu depan. Temukan fakta dan simpulkan berdasarkan fakta.”

Tanpa menunggu reaksi Martin. Ia memintak kelompok berikutnya maju. Itu berarti Martin harus segera enyah dari depan kelas. Martin berpikir, tindakan dosen itu sungguh kejam. Meskipun demikian, ia tak ambil peduli. Ia kembali ke bangkunya tanpa perhatian. Novi dengan kekesalannya membuang muka.

Kelas selesai. Martin keluar tergesa-gesa melintasi koridur. Beberapa perempuan dan lelaki duduk melonjorkan kaki, menunggu kelas dimulai. Mendadak Ia merasa menyesal lagi telah mengecewakan teman-teman kelompoknya. Mengapa pikiran begitu bisa datang, pikirnya. Rencananya ia hanya perlu membacanya di depan kelas. Ia sudah tak ikut kerja kelompok. Kini, bikin masalah lagi. ia mengingat wajah-wajah teman kelas yang meremehkannya. Wajah Novi dan teman kelompoknya yang kesal dan membuang muka darinya. Ia mendadak berteriak dalam hatinya, persetan!

Ia hendak menuruni tangga ketika seseorang memanggil namanya, ia berhenti dan berbalik menuju arah suara datang. Yuda muncul di antara mahasiswa yang melintasi koridor. Seperti pengemis yang tak makan tiga hari, ia menyodorkan telapak tangannya dengan kesopanan seorang jawa tulen yang sedang kesal dan hilang kesabaran.

“Iuran pementasan,” pintanya. “Tiga minggu kamu belum bayar.”

Martin memandang telapak tangan itu dengan jengkel. Tanpa pikir lagi, ia menarik dompet dari sakunya dan membantingnya dengan kasar di telapak tangan Yuda.

“Ambil semua,” katanya sambil meninggalkan Yuda yang kebingungan.

Ia menuruni tangga. Dari arah parkiran, Airin melangkah dengan anggun. Martin tertegun dan menghentikan langkahnya. Lorong yang membentang menuju parkiran itu tampak lengang. Ia dapat melihat dengan jelas sosok Airin. Ia mengenakan celana panjang jeans biru ketat dan kaos berkerak warna putih, menunjukkan lekuk tubuhnya yang indah. Kulit putihnya berkilau di mata Martin. Rambutnya dibiarkan terurai dipermainkan angin sepoi. Ia melangkah tergesa-gesa. Ketika ia semakin dekat, Martin dapat menikmati bibir mungil yang basah itu. Ia mulai merapikan rambutnya, berusaha meninggalkan kesan yang berarti di mata Airin. Airin mengangkat wajahnya ketika tiba dekat tangga.

“Ehm, Martin. Kamu punya buku tata bahasa baku?” Tanyanya tiba-tiba setelah melihat Martin terpaku di bawah tangga.

“Sepertinya ada,” jawab Martin begitu saja sambil pura-pura membongkar isi tasnya. Untuk menghindari tubrukan mahasiswa yang lain. Airin bergeser sedikit di sisi Martin. Aroma parfumnya merasuki Martin.

“Wah, saya lupa membawa buku itu,” jawab Martin lagi untuk mengakhiri kepura-puraannya.

Ih, gimana sih Martin.” 

Suaranya bernada kesal namun Martin amat menikmatinya. Airin bergegas menaiki tangga. Martin mengikuti tubuh perempuan pujaannya itu sebelum Yuda mengambil perhatiannya lagi. Lelaki kurus itu menyodorkan dompet Martin tanpa bersuara dan berbalik pergi. Martin menyisihkan dalam saku celana. Dompet itu hanya berisi KTP, KTM, dan ATM. Benda-benda yang tak bisa digunakan untuk pembayaran iuaran pementasan.

Sepanjang jalan ia memikirkan dengan pikiran seorang pemuja rahasia dengan sedikit unsur kemesuman di dalamnya, kemungkinan memiliki Airin. Ia memikirkan hari-hari bersama Airin sedetail mungkin, membuatnya menggigil sendiri. Pada akhirnya ia juga memikirkan kemustahilan-kemustahilan dirinya di hadapan Airin. 

Seperti biasanya, gang Brajamusti berderu, motor-motor dengan bunyi serupa gendering kaleng melintas. Becak-becak parkir berderet-deret depan hotel Sejahtera. Pemiliknya tergolek di tempat duduknya dengan lalat beterbangan di permukaan wajahnya. Wajah-wajah lapar mengerubungi warung makan seperti lalat-lalat dalam berbagai warna. Terdengar denting sendok pada piring serta orang yang kekenyangan bercakap-cakap dalam suara tinggi. Beberapa mahasiswi dengan perut melilit menghadap mesin foto kopi yang seharian tak lelahnya berderu memancarkan sinar-sinar kekuningan yang misterius. Di antara warung-warung makan mewah, penjual jus, dan burjo, berdiri angkringan Pak Kus menantang kemapaman dan dominasi warung-warung mewah. Menyediakan kenikmatan yang sederhana tapi sempurna.

Jony tidak pernah merasa puas makan di angkringan. Nasi kucing seperti sebuah ejekan pada lambung karetnya. Ia tak pernah turut jika diajak makan di angkringan saat dompetnya sedang tebal. Ia lebih suka makan di warung prasmanan, yang nasi dan lauk ambil sendiri sesuka hati. Kalau saatnya makan Jony selalu bersemangat, mengambil piring, mengisi nasi setinggi gunung merapi, ayam goreng, sayur lodeh. Ia hanya punya waktu tak sampai 5 menit untuk membersihkan piringnya. Gaya makan yang bertanggung jawab terhadap bentuk tubuhnya dan sama sekali tak membantu perkembangan otaknya yang tumpul itu.

Bersambung ...