Review#2: Orang Asing - Albert Camus


Sejak awal cerita, tindakan-tindakan Tuan Meursault  ini sudah berindikasi menyimpang dari norma sosial. Peristiwa demi peristiwa ditampilkan dengan  wajar. Cerita dibuka dengan kabar meninggalnya ibu Tuan Meursault di panti wreda kemudian berlanjut dengan peristiwa keberangkatannya menuju panti wreda untuk menghadiri pemakaman ibunya dan peristiwa-peristiwa setelah pemakaman ibunya. Pada bab awal secara pribadi saya sudah merasa ganjil dengan sikap Tuan Meursault, ia tampak tak merasa sedih atau terpukul dengan kematian ibunya dan melihat itu sebagai suatu hal yang wajar. Peristiwa ketika sedang menjaga jenazah ibunya menjadi tolak ukurnya, orang-orang tua teman ibunya lebih bersedih dari dirinya yang merupakan ibu kandungnya, ia minum kopi dan merokok di depan jenazah ibunya.  Keganjilan lain, Soal alasannya mengirim ibunya ke panti wreda misalnya, penghasilannya yang kecil tak mencukupi membayar seorang penjaga, selain itu ia dan ibunya jarang berbicara. Secara tidak langsung ia mau mengatakan bahwa kehadiran ibunya mengekangnya. Bagi saya, ia mengirim ibunya ke panti wreda dengan tujuan agar ia bisa bebas melakukan apa saja. Jika kita melihat fakta setelah pemakaman ibunya, ia terlihat lebih bebas, jalan-jalan, pergi nonton film di bioskop bersama Marie, pergi ke pantai, termasuk membawa Marie tidur di kamarnya, suatu hal yang bagi saya tidak mungkin terjadi kalau ibunya masih tinggal dengannya. Dan juga membuat masalah pembunuhan di pantai beberapa hari setelah pemakaman ibunya (masih dalam masa berkabung). 

Tindakan-tindakan Tuan Meursault di bab-bab awal cerita yang bagi saya terlihat ganjil, menjadi terang di bab-bab akhir cerita. Penembakan terhadap orang arab menjadi titik awalnya. Di pengadilan, bukan soal penembakan itu lagi yang dipersoalkan tetapi sikap dan tindakannya setelah kematian ibunya. Lewat tokoh Jaksa Penuntut, yang merupakan representasi dari norma sosial itu (selain direktur panti wreda, penjaga kamar jenazah, teman baik ibunya yang bernama Perez) menunjukkan bahwa: ia sama sekali tidak berperasaan, ia tidak mengetahui usia ibunya, bahwa ia berenang keesokan harinya dengan seorang wanita, merokok di depan jenazah ibunya, ia tidak lebih berduka dari pada seorang Perez yang tak begitu lama mengenal ibunya, menonton film, dan tidur bersama Marie di kamarnya. Bahwa ia telah membangkitkan kemarahan musuh-musuh Rymond dan membunuh salah satu dari mereka. Jaksa Penuntut itu menuduhnya juga telah membunuh ibunya secara moral.

Bagi saya, Tuan Meursault sepintas lalu adalah pribadi yang biasa-biasa saja. Ia bertindak dengan pikiran bahwa semua itu bisa saja terjadi. Ia menjadi istimewa karena ia seperti tak memiliki kepribadian, bertindak semau dia, kurang bijaksana, dan tak punya pendirian yang tetap. Ia tidak memiliki kesadaran terhadap lingkungan sosialnya dan tak punya tujuan hidup yang jelas. Bagi saya di sinilah titik dari ‘Orang Asing’ yang dimaksud oleh Albert Camus (terlepas dari berbagai isu lain yang diangkatnya). Tuan Meursault lah Orang Asing dalam cerita ini. Ia tak tahu harus mengapakan dirinya sendiri. Ia tak mengenal lingkungan (kultur) daerah tempat tinggalnya dan menganggap soal kematian adalah hal yang wajar-wajar saja.

Banyak hal yang ingin disampaikan oleh Albert Camus dalam novel “Orang Asing” (judul asli L’Etranger) setebal 124 halaman. Diterbitkan oleh Yayasan Obor dan diterjemahkan dengan sangat baik oleh Apsanti Djokosujatno. Novel pertamanya ini menggemparkan dunia. Bahasanya sederhana, menggunakan kalimat pendek, dan caranya melukiskan setiap peristiwa sangat mengesankan. Peristiwa demi peristiwa telihat wajar di mata kita namun sesungguhnya mengandung maksud yang mesti ditafsirkan. 

Lewat novel ini, apa yang disebut oleh Roky Gerung (dalam prolog buku kumpulan cerpen kompas 2008) sebagai ‘kepentingan politis’ terwujudkan yaitu untuk memproduksi suasana. Suasana yang dimaksud di sini adalah suasana risau, sedih terhadap kisah dalam novel ini. Di sisi lain membaca novel ini sebagai bentuk konfirmasi. Yaitu, konfirmasi terhadap kegelisahan hidup, penemuan diri dan terutama eksistensi diri di tengah masyarakat.

Review#1: The God of Small Things



Picture by Google
                Judul Novel: The God of Small Things
Penulis: Arundhati Roy
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Penerjemah:Rahartati Bambang Haryo

Bagi saya, Estha dan Rahel adalah kembar yang unik. Unik dari segi penampilan mereka, sifat mereka, cara mereka melihat sesuatu, dan spontanitas mereka. Pada diri Ammu saya menemukan perasaan putus asa (menghadapi kenyataan hidup, tradisi yang kuat), perasaan gagal, dan rasa terpinggirkan dari dunia sekitarnya. Pada diri Velutha, ada semangat hidup yang berkobar namun tak berdaya menghadapi tradisi kasta yang sangat kuat di kala itu. Bagi saya, ketiga tokoh ini adalah representasi dari segala “Yang Maha Kecil” : Ammu lahir dari keluarga Kristen Syria yang terhormat namun sebagai anak perempuan, dalam tradisi Kristen Syria tak berhak atas warisan apapun, yang kawin campur dengan pemuda hindu lalu cerai. Itu artinya aib berlipat ganda. Estha dan Rahel sebagai anak dari Ammu dalam kehidupan sehari-hari menyadari juga  rasa terpinggirkan, rasa tak berarti (perasaan itu pada akhirnya membentuk pribadi mereka) sedangkan Velutha, datang dari kaum Paravan; kasta yang tak dapat disentuh (kaum Paravan diminta merangkak mundur dengan memegang sapu, untuk membersihkan bekas tapak kaki mereka sehingga kasta Brahma atau Kristen Syria tidak perlu harus mengotorkan diri dengan menginjak bekas kaki Paravan. Kaum Paravan, seperti juga kaum Untouchable lainnya, tidak diperkenankan berjalan di jalanan umum. Mereka dilarang menutupi bagian atas tubuhnya, mereka dilarang membawa paying, dan mereka diwajibkan menutup mulut dengan tangan ketika sedang berbicara, untuk mengenyahkan polusi nafas mereka dari lawan bicara (halaman 89))
                Velutha yang menurut Ammu adalah dewa hal-hal kecil dapat melakukan pekerjaan apa saja; tukang kayu, memperbaiki mesin pabrik, listrik, dan sebagainya. Kemampuan yang luar biasa itu oleh Mamachi jika bukan dilahirkan dalam kaum Paravan Velutha sudah menjadi Insinyur.
Lewat ketiga tokoh itulah Arundanthi Roy mencoba mendobrak dan menggugat tradisi-tradisi dalam masyarakat India seperti sistem kasta yang dipertanyakan, tradisi Kristen Syria yang karena satu dan lain hal dianggap najis, tak sama dan tak layak berdampingan dengan kasta yang lebih tinggi atau terhormat. Pemisahan itu didasarkan atas kasta, ras, etnis, kelas, agama, orientasi sexual. Tokoh-tokoh seperti Mamachi, Baby Kochama, Chacko, inspektur polisi, Kamered Pilai merupakan representasi dari tradisi tersebut. Tradisi yang menempatkan manusia lain seperti anjing paria ( bahasa Mamachi), lebih redah dari manusia lain. Di sini hak-hak manusia dipertanyakan, digugat, dan diperjuangkan. Lewat novel itu pula, Arundhanti Roy mengkritik Partai Komunis dan gereja Kristen yang memperjuangkan persamaan namun tak berdaya menghadapi tradisi dalam kehidupan masyarakat.
Hingga akhirnya pada bab terakhir Novel, Arundanthi Roy menggambarkan (lewat hubungan seks antara Ammu (dari kasta touchable) dengan Velutha (dari kasta untouchable)) bahwa tak ada perbedaan kasta lagi, bahwa manusia sama di hadapan yang mahakuasa, bahwa setiap manusia berhak memilih untuk dirinya sendiri siapa yang harus dicintai tanpa membedakan Kasta. Lewat hubungan seks itu pula Arundhanti Roy ingin mengatakan bahwa semua haru dipersatukan yang touchable dan untouchable.
Bagi saya yang awam dengan karya sastra bermutu tinggi, The God Of Small Things karya Arundhati Roy, sangat rumit ( terutama bahasa dan alurnya) tetapi menarik, indah, dan menggugah rasa kemanusiaan dengan tema yang diangkatnya. Teknik dan gaya bertuturnya pun sangat menarik penuh dengan imaji yang mampu memancing pembaca untuk berpikir jauh.
Saya tidak dapat mengatakan semuanya di sini, karena keterbatasan untuk memahami cerita dan tema yang diangkat. seperti juga saya mungkin anda yang masih awam mesti membaca tiga kali. Saya membaca novel tersebut yang kedua kalinya karena ingin memahami lebih dalam tema dalam novel tersebut dan karena ia begitu indah dan menarik. Saya juga sering merasa bahwa kenyataan yang dihadapi tokoh-tokoh yang terpinggirkan dalam novel itu sering terjadi juga dalam kehidupan saya. Jadi saya sangat mencintai novel ini. Saya seperti menemukan dan memiliki teman baru pada diri novel ini.
Tentu anda penasaran bukan? Saya tak harus mengatakan semuanya di sini! Saya harus mengatakan pada anda bahwa novel  “The God Of Small Things” karya Arundhati Roy wajib anda baca!