Musim hujan tahun ini sangat lambat datangnya. Datangnya membabibuta. Tiga hari berturut-turut tanpa henti, Dingin, dan disertai angin
kencang. Hujan yang membabibuta ini bikin kesal banyak orang. Orang
mulai tergopoh-gopoh keluar membersihkan selokan yang tersumbat,
Memangkas dahan-dahan yang patah oleh angin atau pohon-pohon yang
terlalu tinggi yang berpotensi rubuh oleh angin, memperbaiki genting
rumah yang bocor, dan memasang atap tempat jemuran. Orang-orang mulai
lagi mempersiapkan barang-barang yang sangat berguna di musim hujan,
yang setelah musim hujan tahun lalu disimpan rapi di gudang. Payung,
mantel hujan, dan sebagainya. Barang yang rusak dan tidak bisa lagi
digunakan diganti dengan yang baru. Musim hujan memang musim yang paling
merepotkan.
Di malam minggu itu, hujan turun. Luiz duduk membaca Dokter Zhivago-nya
Boris Pasternak di teras kos ditemani segelas kopi, sebatang rokok dan
suara katak yang sahut menyahut di kejauhan. Kemudian Andy datang
mengomel kepadanya.
“Mengapa hujan selalu datang di malam minggu begini? Mengapa Luiz? Mengapa? Kau tau Bikin kesal hujan macam begini!”
“Jangan
kau tanya padaku, tanyalah pada langit, pada gemuruh guntur, pada
bulir-bulir hujan atau pada katak-katak yang sahut menyahut itu.”
“Luiz! Kau sama saja dengan hujan. Bikin kesal!”
“Andy! Ini musim hujan. Kau seharusnya senang!”
“Ya, para jomblo memang selalu senang kalau hujan turun di malam minggu, bahkan banyak yang berdoa agar hujan turun.”
“Terserah kaulah. Aku senang kalau hujan turun.”
“Eh, boleh pinjam mantelmu?”
“Halah, bilang saja kalau mau pinjam mantel. Tapi nanti aku mau pergi!”
“Tolonglah kawan, kalau aku terlambat apa lagi tidak datang bisa bahaya. Bisa diputusin aku ini. Taulah cewek paling tidak suka cowok yang tidak menempati janji dan yang cuek. Tolonglah kawan.”
“Lain kali sedia payung sebelum hujan dan bilang pacarmu, tidak hanya cewek saja yang harus dimengerti.”
“Ah, jomblo memang selalu bilang begitu! Terimakasih kawan! Selamat berpacaran dengan katak-katak!”
Andy pergi. Luiz hanya tersenyum. Dipasangnya rokok di bibirnya, sekali tarik, sekali hembusan, asapnya mengepul di udara kemudian pergi dengan cepat dibawa angin malam yang dingin. Ah jomblo memang paling asik. Bebas melakukan apa saja di malam minggu. Bisa bebas baca buku Boris Pasternak, Leo tolstoy, Pramoedya Ananta Toer tanpa digangu. “Enam hari bergumul dengan kuliah dan tugas-tugas yang menumpuk apa mereka tak bosan?” pikirnya. Kemudian di hari sabtu dan minggu disibukkan pula dengan urusan pacaran. Pergi kesana-sini, temani pacar belanja dan jalan-jalan. Apa laki-laki itu sudah jadi babu atau tukang suruh?” pikirnya lagi.
Luiz ini memang tidak
mengerti. Atau pikiran jomblo memang begitu kali ya? Selalu ada
pembelaan untuk kejombloannya. Ia tak tau bahwa malam minggu adalah
malam yang paling ditunggu muda-mudi. Malam paling mengasikkan. Terbebas
dari tugas-tugas kuliah yang merebut malam-malam sebelumnya. Tapi Luiz
ini tak ambil pusing soal malam minggu, lantaran ia ingin segera
menghabiskan Novel Dokter Zhivago dan mungkin akan melanjutkan dengan novel The Kreutzer sonata-nya Leo Tolstoy. Sastra Rusia memang menarik minatnya akhir-akhir ini. Yang paling penting lagi bahwa ia tidak punya pacar.
Kopi
habis. Rokok juga habis. Ia berniat menambah kopi. Menambah rokok.
Rasanya tak enak dingin begini tanpa kopi hangat dan rokok.
Warung
burjo nampak sepi. Hanya ada seorang perempuan muda yang nampak
gelisah. Berkulit putih. Rambut sebahu. Dalam kegelisahannya itu ia tampak manis sekali. Ia sekali-sekali menenggok keluar. Tampaknya ia
menunggu hujan redah. Ia tertarik sekali ketika Luiz muncul di depan
pintu dengan payungnya. Luiz meminta membungkus kopi panas dan beberapa
batang rokok. Membayar pesanannya. Ketika hendak pergi, Ia tertahan oleh
ucapan perempuan itu.
“Mas, kosnya di mana?” tanya perempuan itu.
“Di gang mawar dua dekat kantor kelurahan.”
“Boleh numpang payung? Hujan sepertinya lama reda,” katanya dengan nada memohon.
“Oh boleh.”
Hujan
kian deras. Jalanan mulai tergenang. Hawa dingin menusuk sumsum tulang.
Luiz memegang payung. mereka melangkah dengan hati-hati. Sekali-sekali
menghindari genangan air.
“ kos di mana?” tanya Luiz
“Di gang mawar empat.”
“Dari mana tadi, kok bisa terjebak hujan.”
“Beli pulsa, konter di depan kosku tutup jadinya harus keluar agak jauh dekat burjo situ. Konter itu 24 jam. Ah lupa aku bawa payung tadi,” jawabnya dengan nada menyesal.
“Di sini kuliah?” tanya Luiz lagi agak keras suaranya melawan bunyi hujan.
“Ia. Di kampus B. Kamu?”
“Sama. Di kampus A, Jurusan apa?”
“Keperawatan, Kamu?"
“Ow, Sekolah guru. Guru bahasa Indonesia.”
Beberapa
menit mereka tak bicara. Hujan mulai agak reda. Perempuan itu melompat
kecil menghindari genangan air yang cukup banyak.
“Eh hati-hati! Jalan di sini agak licin,” pinta Luiz
“Waktu
kecil aku senang sekali main hujan. Ibu suka marah-marah lantaran habis
main hujan aku sering pilek dan demam” katanya di iringi tawa kecil.
“Sekarang masih sering main hujan?” tanya Luiz dengan nada bercanda.
Perempuan
itu tertawa. “Tidak lagi. Sebenarnya ingin sih. Tapi aku bisa dibilang
gila sama teman-temanku, sudah besar begini masih suka main hujan.”
Mereka serentak tertawa.
“Tidak malam mingguan?” tanya Luiz lagi.
“Apa?”
“Maaf, perempuan cantik selalu punya pacar dan pergi keluar di malam minggu.”
“Kau mau bilang aku cantik, kau mau bilang aku punya pacar?”
“Oh maaf kalau salah.”
“Sebaiknya
kita tidak usah bicara soal malam minggu dan soal pacar. Semua
laki-laki itu memang bajingan,” katanya dengan suara bergeter sedih
seperti ingin menangis.
“Sekali lagi maaf.”
“Tidak
apa-apa. Sudah sebulan tidak malam mingguan. Biasanya selalu pergi.
Tapi kami sudah berpisah,” katanya dengan suara bergetar.
“Oh maaf.”
“Tidak apa-apa. Lagian jomblo juga bahagia kok,” katanya dipaksakan.
Hujan
sepenuhnya berhenti. Tapi mereka tetap memakai payung. Perempuan itu
menendang-nendang kerikil yang berteberan di jalan. Mereka tak berbicara
sampai depan kos perempuan itu.
“Terimakasih ya!” ucap perempuan itu sambil menyodorkan tangan.
“Lorena.”
“Luiz.”
“Eh,
kapan-kapan datang ke sini ya. Kami sering membikin rujak, kolak, dan
sering memasak. Kau boleh mencoba masakan kami,” pinta Lorena
“Akan aku usahakan. Eh, boleh minta nomor handphonemu?”
Lorena
diam sejenak. Berpikir-pikir. Tersenyum. Kemudian menyebut nomornya.
Luiz tergopoh-gopoh mencatat nomor itu di handphonenya.
“Terimakasih,” ucap Luiz sambil tersenyum malu-malu.
“Sama-sama.”
Luiz
mundur beberapa langkah, berbalik, dan menabrak pagar halaman. Lorena
menahan tawanya di balik tangannya. Luiz benar-benar gerogi. Kemudian
hujan turun lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar