Perempuan Dalam Kepala



Ia yang menari sepanjang waktu dalam kepalaku
Menghentakkan kaki lembutnya pada jiwaku yang kalut
Menyentuh pedalaman hatiku dengan wajahnya yang lembut
Membuatku berpaling dari bunga-bunga yang dekat
Membuatku mati oleh kesepian melekat

Aku telah mencitainya dengan susah payah
Sebagai kumbang tak bersayap kehilangan indra penciuman
Kehilangan manis bunga impian
Dan ia tak kunjung-kunjung datang
Haruskah aku mati seorang diri?

Terlalu banyak pahit kopi dan kesepian kuteguk
Dan ia hanya bayangan dalam kepalaku
Pagi datang membawa malam
Kesepian juga mengancam
Kuseduh kopi pahit dan berpikir
Terlalu banyak kata kuhamburkan
Kusedu pula kesepian dan kuteguk sampai tandas
Dan ia hanya bayangan
Selamat tinggal

—Baciro, 21 november 2014

Review#2: Orang Asing - Albert Camus


Sejak awal cerita, tindakan-tindakan Tuan Meursault  ini sudah berindikasi menyimpang dari norma sosial. Peristiwa demi peristiwa ditampilkan dengan  wajar. Cerita dibuka dengan kabar meninggalnya ibu Tuan Meursault di panti wreda kemudian berlanjut dengan peristiwa keberangkatannya menuju panti wreda untuk menghadiri pemakaman ibunya dan peristiwa-peristiwa setelah pemakaman ibunya. Pada bab awal secara pribadi saya sudah merasa ganjil dengan sikap Tuan Meursault, ia tampak tak merasa sedih atau terpukul dengan kematian ibunya dan melihat itu sebagai suatu hal yang wajar. Peristiwa ketika sedang menjaga jenazah ibunya menjadi tolak ukurnya, orang-orang tua teman ibunya lebih bersedih dari dirinya yang merupakan ibu kandungnya, ia minum kopi dan merokok di depan jenazah ibunya.  Keganjilan lain, Soal alasannya mengirim ibunya ke panti wreda misalnya, penghasilannya yang kecil tak mencukupi membayar seorang penjaga, selain itu ia dan ibunya jarang berbicara. Secara tidak langsung ia mau mengatakan bahwa kehadiran ibunya mengekangnya. Bagi saya, ia mengirim ibunya ke panti wreda dengan tujuan agar ia bisa bebas melakukan apa saja. Jika kita melihat fakta setelah pemakaman ibunya, ia terlihat lebih bebas, jalan-jalan, pergi nonton film di bioskop bersama Marie, pergi ke pantai, termasuk membawa Marie tidur di kamarnya, suatu hal yang bagi saya tidak mungkin terjadi kalau ibunya masih tinggal dengannya. Dan juga membuat masalah pembunuhan di pantai beberapa hari setelah pemakaman ibunya (masih dalam masa berkabung). 

Tindakan-tindakan Tuan Meursault di bab-bab awal cerita yang bagi saya terlihat ganjil, menjadi terang di bab-bab akhir cerita. Penembakan terhadap orang arab menjadi titik awalnya. Di pengadilan, bukan soal penembakan itu lagi yang dipersoalkan tetapi sikap dan tindakannya setelah kematian ibunya. Lewat tokoh Jaksa Penuntut, yang merupakan representasi dari norma sosial itu (selain direktur panti wreda, penjaga kamar jenazah, teman baik ibunya yang bernama Perez) menunjukkan bahwa: ia sama sekali tidak berperasaan, ia tidak mengetahui usia ibunya, bahwa ia berenang keesokan harinya dengan seorang wanita, merokok di depan jenazah ibunya, ia tidak lebih berduka dari pada seorang Perez yang tak begitu lama mengenal ibunya, menonton film, dan tidur bersama Marie di kamarnya. Bahwa ia telah membangkitkan kemarahan musuh-musuh Rymond dan membunuh salah satu dari mereka. Jaksa Penuntut itu menuduhnya juga telah membunuh ibunya secara moral.

Bagi saya, Tuan Meursault sepintas lalu adalah pribadi yang biasa-biasa saja. Ia bertindak dengan pikiran bahwa semua itu bisa saja terjadi. Ia menjadi istimewa karena ia seperti tak memiliki kepribadian, bertindak semau dia, kurang bijaksana, dan tak punya pendirian yang tetap. Ia tidak memiliki kesadaran terhadap lingkungan sosialnya dan tak punya tujuan hidup yang jelas. Bagi saya di sinilah titik dari ‘Orang Asing’ yang dimaksud oleh Albert Camus (terlepas dari berbagai isu lain yang diangkatnya). Tuan Meursault lah Orang Asing dalam cerita ini. Ia tak tahu harus mengapakan dirinya sendiri. Ia tak mengenal lingkungan (kultur) daerah tempat tinggalnya dan menganggap soal kematian adalah hal yang wajar-wajar saja.

Banyak hal yang ingin disampaikan oleh Albert Camus dalam novel “Orang Asing” (judul asli L’Etranger) setebal 124 halaman. Diterbitkan oleh Yayasan Obor dan diterjemahkan dengan sangat baik oleh Apsanti Djokosujatno. Novel pertamanya ini menggemparkan dunia. Bahasanya sederhana, menggunakan kalimat pendek, dan caranya melukiskan setiap peristiwa sangat mengesankan. Peristiwa demi peristiwa telihat wajar di mata kita namun sesungguhnya mengandung maksud yang mesti ditafsirkan. 

Lewat novel ini, apa yang disebut oleh Roky Gerung (dalam prolog buku kumpulan cerpen kompas 2008) sebagai ‘kepentingan politis’ terwujudkan yaitu untuk memproduksi suasana. Suasana yang dimaksud di sini adalah suasana risau, sedih terhadap kisah dalam novel ini. Di sisi lain membaca novel ini sebagai bentuk konfirmasi. Yaitu, konfirmasi terhadap kegelisahan hidup, penemuan diri dan terutama eksistensi diri di tengah masyarakat.

Review#1: The God of Small Things



Picture by Google
                Judul Novel: The God of Small Things
Penulis: Arundhati Roy
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Penerjemah:Rahartati Bambang Haryo

Bagi saya, Estha dan Rahel adalah kembar yang unik. Unik dari segi penampilan mereka, sifat mereka, cara mereka melihat sesuatu, dan spontanitas mereka. Pada diri Ammu saya menemukan perasaan putus asa (menghadapi kenyataan hidup, tradisi yang kuat), perasaan gagal, dan rasa terpinggirkan dari dunia sekitarnya. Pada diri Velutha, ada semangat hidup yang berkobar namun tak berdaya menghadapi tradisi kasta yang sangat kuat di kala itu. Bagi saya, ketiga tokoh ini adalah representasi dari segala “Yang Maha Kecil” : Ammu lahir dari keluarga Kristen Syria yang terhormat namun sebagai anak perempuan, dalam tradisi Kristen Syria tak berhak atas warisan apapun, yang kawin campur dengan pemuda hindu lalu cerai. Itu artinya aib berlipat ganda. Estha dan Rahel sebagai anak dari Ammu dalam kehidupan sehari-hari menyadari juga  rasa terpinggirkan, rasa tak berarti (perasaan itu pada akhirnya membentuk pribadi mereka) sedangkan Velutha, datang dari kaum Paravan; kasta yang tak dapat disentuh (kaum Paravan diminta merangkak mundur dengan memegang sapu, untuk membersihkan bekas tapak kaki mereka sehingga kasta Brahma atau Kristen Syria tidak perlu harus mengotorkan diri dengan menginjak bekas kaki Paravan. Kaum Paravan, seperti juga kaum Untouchable lainnya, tidak diperkenankan berjalan di jalanan umum. Mereka dilarang menutupi bagian atas tubuhnya, mereka dilarang membawa paying, dan mereka diwajibkan menutup mulut dengan tangan ketika sedang berbicara, untuk mengenyahkan polusi nafas mereka dari lawan bicara (halaman 89))
                Velutha yang menurut Ammu adalah dewa hal-hal kecil dapat melakukan pekerjaan apa saja; tukang kayu, memperbaiki mesin pabrik, listrik, dan sebagainya. Kemampuan yang luar biasa itu oleh Mamachi jika bukan dilahirkan dalam kaum Paravan Velutha sudah menjadi Insinyur.
Lewat ketiga tokoh itulah Arundanthi Roy mencoba mendobrak dan menggugat tradisi-tradisi dalam masyarakat India seperti sistem kasta yang dipertanyakan, tradisi Kristen Syria yang karena satu dan lain hal dianggap najis, tak sama dan tak layak berdampingan dengan kasta yang lebih tinggi atau terhormat. Pemisahan itu didasarkan atas kasta, ras, etnis, kelas, agama, orientasi sexual. Tokoh-tokoh seperti Mamachi, Baby Kochama, Chacko, inspektur polisi, Kamered Pilai merupakan representasi dari tradisi tersebut. Tradisi yang menempatkan manusia lain seperti anjing paria ( bahasa Mamachi), lebih redah dari manusia lain. Di sini hak-hak manusia dipertanyakan, digugat, dan diperjuangkan. Lewat novel itu pula, Arundhanti Roy mengkritik Partai Komunis dan gereja Kristen yang memperjuangkan persamaan namun tak berdaya menghadapi tradisi dalam kehidupan masyarakat.
Hingga akhirnya pada bab terakhir Novel, Arundanthi Roy menggambarkan (lewat hubungan seks antara Ammu (dari kasta touchable) dengan Velutha (dari kasta untouchable)) bahwa tak ada perbedaan kasta lagi, bahwa manusia sama di hadapan yang mahakuasa, bahwa setiap manusia berhak memilih untuk dirinya sendiri siapa yang harus dicintai tanpa membedakan Kasta. Lewat hubungan seks itu pula Arundhanti Roy ingin mengatakan bahwa semua haru dipersatukan yang touchable dan untouchable.
Bagi saya yang awam dengan karya sastra bermutu tinggi, The God Of Small Things karya Arundhati Roy, sangat rumit ( terutama bahasa dan alurnya) tetapi menarik, indah, dan menggugah rasa kemanusiaan dengan tema yang diangkatnya. Teknik dan gaya bertuturnya pun sangat menarik penuh dengan imaji yang mampu memancing pembaca untuk berpikir jauh.
Saya tidak dapat mengatakan semuanya di sini, karena keterbatasan untuk memahami cerita dan tema yang diangkat. seperti juga saya mungkin anda yang masih awam mesti membaca tiga kali. Saya membaca novel tersebut yang kedua kalinya karena ingin memahami lebih dalam tema dalam novel tersebut dan karena ia begitu indah dan menarik. Saya juga sering merasa bahwa kenyataan yang dihadapi tokoh-tokoh yang terpinggirkan dalam novel itu sering terjadi juga dalam kehidupan saya. Jadi saya sangat mencintai novel ini. Saya seperti menemukan dan memiliki teman baru pada diri novel ini.
Tentu anda penasaran bukan? Saya tak harus mengatakan semuanya di sini! Saya harus mengatakan pada anda bahwa novel  “The God Of Small Things” karya Arundhati Roy wajib anda baca!

Angin Rumput Sabana


* cerpen saya di harian Suara Merdeka, 6 April 2014


DI pesisir Pantai Kambera, berdiri sebuah gubuk reyot, beratap alang, berdinding anyaman bambu dan beralas pasir putih. Dari situ jalan setapak itu bermula. Panjang seperti ular membelah padang sabana, melewati jalan beraspal menuju Mondu, terus memanjang ke balik bukit kering dan berbatu cadas di sisi utara.


Setiap pagi berhalimun, kala aku melintasi jalan beraspal menuju Mondu, pada jalan setapak itu melangkah seorang perempuan tua dengan langkah cepat dan tetap. Berkerudung kain hitam, berbaju putih dibalut kain sarung cokelat kemerah-merahan melingkar di pinggulnya. Di pundaknya tergantung sebuah cukulele dan bakul dari anyaman daun tuak. Tangan kanannya menggenggam sebuah periuk hitam.

Pada lain waktu pada penghujung minggu, usai rapat sekolah yang menguras tenaga sampai sore, aku menolak ajakan Umbu Remu menikmati satu dua gelas tuak dengan penolak ikan bakar.

‘’Satu dua gelas saja, Pak Guru,’’ pinta Umbu Remu.

Aku harus pulang, sebelum malam menjejak, memanjang, merajai padang sabana yang luas. Seiring dengan pasang naik, dari pesisir pantai nelayan-nelayan mulai melaut. Setelah jalan membelok menanjak meninggalkan pesisir Pantai Kambera kuhentikan motor di sisi kiri jalan Mondu yang sepi. Keinginan membuang air kecil tak dapat ditahan. Sayup-sayup di sela embusan angin rumput sabana terdengar tembang pilu diiringi petikan cukulele mendayu-dayu timbul tenggelam.

‘’Umbu Palindi, Umbu Palindi! Lelaki pengembara! Sayangku, kekasih hati! Angin rumput sabana beraroma tubuhmu! Cepat kau kembali!’’ katanya. Dilantunkan oleh suara panjang melengking berujung sedu sedan dan isak tangis. Sekejap bulu kuduk merinding dan ketakutan merayap ke seluruh tubuh. Tanpa berlama-lama, kuhidupkan motor dan kupacu sekencang-kencangnya jauh meninggalkan tembang mirip lolong itu.

Dan selalu saja setiap pagi berhalimun masih tetap muncul perempuan yang melangkah cepat dan tetap membelah padang sabana entah menuju ke mana. Selalu dengan kerudung yang sama, baju putih yang sama, cukulele, bakul dan periuk hitam. Pada sore hari ketika aku terlambat pulang karena tugas memberi les privat, dan setelah menolak ajakan Umbu Remu menikmati satu dua gelas tuak, selalu kudengar tembang pilu melengking diiringi petikan cukulele mendayu- dayu murung membunuh suara deru motor menyelinap di sela-sela helm. Seperti biasa, bulu kuduk merinding dan ketakutan merayap ke seluruh tubuh lantas kupacu motor sekencang-kencangnya.
***
KIRA-KIRA baru sebulan lamanya aku bekerja sebagai guru matematika di salah satu sekolah negeri di Kecamatan Mondu. Banyak hal yang belum kuketahui tentang tempat ini. Hanya teman-teman guru dan seorang nelayan bernama Umbu Remu yang baru kukenal dekat. Memang pihak sekolah menyediakan mes guru untukku tetapi untuk beberapa bulan ke depan aku meminta izin agar berangkat dari rumahku di Waingapu. Istriku sedang mengandung enam bulan. Jarak Waingapu-Mondu kira-kira belasan kilometer. Jadilah aku harus berangkat pagi-pagi sekali sebelum mentari menyembul di ufuk timur dan bel sekolah berdentang.

Mula-mula aku menyangka petikan cukulele itu datang dari anak-anak gembala yang mengiring kuda-kuda sandel menuju kandangnya sekembali memandikan mereka di pantai. Tetapi biasanya anak-anak gembala itu suka berdendang riang dengan petikan cukulele bernada riang pula. Tangisan mirip lolong berujung sedu-sedan dan isak tangis serta petikan cukulele yang muram, jelas bukan dari anak-anak gembala. Kadang terpikir olehku suara itu suara kuntilanak atau roh-roh penunggu padang sabana atau penghuni tebing-tebing cadas di utara padang sabana.

Lama-lama bayangan perempuan berkerudung hitam dan tembang mirip lolong itu rasa-rasanya mengikuti ke mana pun aku pergi dan selalu membikin bulu kuduk merinding dan ketakutan yang menyerang tiba-tiba, apalagi kala mengendarai motor di jalan yang sepi.

Sekali waktu kuterima ajakan Umbu Remu menikmati satu dua gelas tuak dengan penolak ikan bakar. Tanpa basa-basi di antara bau asin ikan dari tempat penjemuran kutanyakan perihal perempuan berkerudung hitam dan tembang mirip lolong itu.


‘’Jadi Pak Guru belum dengar cerita tentang janda Rambu Kahi?’’ tanya umbu Remu sambil menuangkan tuak ke dalam gelas kaca kecil kemudian menyodorkan padaku.

‘’Belum.’’


‘’Juga peristiwa lima tahun lalu?’’
‘’Belum. Peristiwa apa?’’

Kuteguk seperempat gelas tuak pemberian Umbu Remu. Tenggorokan terasa panas lantas kusambar ikan bakar. ‘’Aku orang baru di sini.’’

‘’Kasihan, Pak Guru, sungguh kasihan. Terlalu cepat kebahagiaan pergi. Peristiwa lima tahun lalu telah membikin Rambu Kahi jadi begitu,’’ ujar Umbu Remu muram.

‘’Apa yang terjadi?’’

‘’Mereka baru setahun menikah,’’ Umbu Remu memulai. ‘’Perempuan mana yang tak ingin bersuamikan Umbu Palindi? Lelaki pemberani, pengembara lautan. Ia pujaan bunga-bunga Mondu. Cinta Umbu Palindi hanya untuk Rambu Kahi seorang. Rambu Kahi, dara cantik berhati malaikat. Mereka menjalin kasih dan menikah. Bakal jadi keluarga bahagia. Setiap Umbu Palindi berangkat melaut, Rambu Kahi memerlukan mengantar ke tepi laut dan menunggu sampai sampan jadi titik hitam di kejauhan laut. Rambu Kahi kan selalu menunggu ia kembali. Di gubuk itu biasa ia akan menunggu suaminya mendarat.’’

‘’Biasanya, Pak Guru,’’ lanjut Umbu Remu. ‘’Untuk membunuh kebosanan ia berdendang riang diiringi Cukulele sambil mata terus menggerayangi lautan lepas. Bakul dari anyaman daun tuak itu selalu berisi petatas rebus, ubi goreng, dan sambal. Sesaat setelah suaminya dan nelayan lainnya mendarat, Rambu Kahi menggelar bawaannya untuk dinikmati semua nelayan sambil bercerita tentang cuaca di tengah laut, ombak, angin, jaring dan hasil tangkapan ikan yang tak menguntungkan. Jauh dari harapan. Bagi seluruh nelayan di pesisir Mondu, Rambu Kahi adalah perempuan luar biasa. Sungguh beruntung Umbu Palindi. Sayang sekali kebahagian itu berumur pendek…,’’ Umbu Remu berhenti sebentar meneguk segelas tuak.


‘’Waktu itu musim penghujan, angin bertiup kencang, laut ganas. Hampir semua nelayan di pesisir Mondu tak melaut. Umbu Palindi tetap menyiapkan sampan dan pukatnya berangkat melaut diiringi isak tangis Rambu Kahi. Memang dia lelaki pemberani. Berkali-kali di tengah laut ganas ia berangkat melaut dan selalu kembali dengan sampan penuh ikan. Dia sahabat baik, pengembara lautan. Dia pernah mengungkapkan niatnya memiliki sebuah perahu bermesin. Niat itu hampir terwujud. Mendadak anak Umbu Marambi sakit keras dan tak punya uang untuk berobat. Umbu Palindi dengan tulus memberikan simpanannya untuk biaya berobat anak Umbu Marambi. Ia sangat peduli terhadap kehidupan sesama nelayan.’’

‘’Tetapi kali ini…,’’ Umbu Remu melanjutkan setelah menyodorkan gelas berisi tuak padaku. ‘’Pengembara lautan kami itu, sahabat terbaik kami itu, tak pernah kembali hingga kini.’’

‘’Nelayan-nelayan yang melaut tak pernah menemukan jejak Umbu Palindi. Awalnya kami tak percaya dia hilang, namun kami menerima juga kenyataan bahwa Umbu Palindi takkan pernah kembali,’’ Umbu Remu menarik nafas panjang. Matanya berkaca-kaca.

Rambu Andung, istri Umbu Remu datang menghidangkan ikan bakar dalam sebuah talam. ‘’Sejak saat itu Rambu Kahi jadi begitu,’’ tambah Rambu Andung. ‘’Ia meninggalkan rumahnya dan tinggal di gubuk di pesisir Pantai Kambera, gubuk tempat nelayan biasa beristirahat, ia mengamuk saat kami hendak melaksanakan upacara menguburkan sampan tua milik Umbu Palindi sebagai tanda penghormatan kami.’’

‘’Umbu Palindi akan kembali, suamiku akan kembali, sayangku, kekasih hatiku. Angin rumput sabana beraroma tubuhnya, angin rumput sabana beraroma tubuhnya!’’ begitu ia berteriak, meraung-raung, mengancam setiap dari kami.

‘’Setiap pagi, Pak Guru,’’ sambung Umbu Remu lagi. ‘’Ia selalu pergi ke bukit di utara sana itu, dari situ ia bisa melihat hamparan lautan lepas, sampan-sampan, perahu-perahu nelayan terlihat dengan jelas. Dari situ ia menunggu Umbu Palindi. Setiap ada sampan atau perahu menepi ia akan berlari menuruni bukit, menyusuri jalan setapak membelah padang sabana sambil berteriak, ‘Umbu sayangku, Umbu sayangku, kau telah kembali!’ kemudian ia akan terisak-isak menangis ketika mendapati di sampan itu bukan Umbu Palindi.’’

‘’Kami yang ibu-ibu sering mengajaknya pulang, ia jawab dengan ancaman hendak membunuh siapa saja yang menyuruhnya pulang,’’ ujar Rambu Andung.

‘’Begitu terus selama tiga tahun ini, pak guru, tak ada yang berani mengajaknya pulang. Dan pada tahun-tahun terakhir ini, menjelang malam selalu kami dengar tembang pilu diiringi petikan cukulele mendayu-dayu timbul tenggelam datang dari padang sabana di bawah oleh angin rumput sabana, menyentuh pedalaman perasaan hati kami, membangkitkan bayang-bayang Umbu Palindi,’’ ujar Umbu Remu murung.

‘’Ibu-ibu yang mendengar tembang itu akan menangis tersedu-sedu mengenang nasib Rambu Kahi dan segala yang terjadi bertahun-tahun dahulu itu.’’

‘’Dan kalian tidak merasa terganggu?’’ tanyaku.

‘’Sudah biasa, Pak Guru, rasa-rasanya kalau mendengar tembang itu Umbu Palindi masih ada di antara kami, bau tubuhnya dapat kami rasakan dalam desir angin rumput sabana,’’ jawab Umbu Remu tegar.

Rasa haru menjalar ke seluruh tubuh mendengar cerita itu. Perempuan berkerudung itu dan tembang pilu diiringi petikan cukulele mendayu-dayu itu. dalam perjalanan pulang setelah jalan membelok menanjak meninggalkan pesisir Pantai Kambera, masih terdengar jua tembang pilu berujung sedu sedan dan isak tangis diiringi petikan cukulele mendayu-dayu.

‘’Umbu Palindi, Umbu Palindi! Lelaki pengembara! Sayangku, kekasih hati! Cepat kau kembali!’’


Keesokan hari, pagi-pagi sekali tak kutemukan perempuan berkerudung bernama Rambu Kahi itu lagi. Padang sabana kosong melompong dan jalan setapak itu tampak kesepian. Jauh di pesisir Pantai Kambera orang-orang ramai mengerubungi gubuk yang ditempati Rambu Kahi. Kabarnya beberapa anak gembala melihat dengan mata kepala mereka sendiri Rambu Kahi mengayun sampan tua membelah deru ombak. Banyak orang tak percaya. Berhari-hari mereka menunggui gubuk itu. Untuk beberapa hari tak terdengar tembang pilu itu dan petikan cukulele yang muram. Berminggu-minggu lamanya batang hidung Rambu Kahi tak juga muncul. Orang-orang mulai menyisir pantai, kalau-kalau ada tubuh perempuan terdampar. Tak juga ada. Orang-orang memutuskan membuat upacara menguburkan cukulele, bakul, periuk Rambu Kahi sebagai tanda penghormatan.

Kini, di sepanjang padang sabana yang membentang luas di pesisir pantai Kambera, sebelum malam menjejak, memanjang, merajai padang sabana yang luas itu bertiup angin rumput sabana, berdesis murung kemudian bangkit tembang pilu diiringi petikan cukulele mendayu-dayu timbul tenggelam. Dilantunkan oleh suara panjang melengking berujung sedu sedan dan isak tangis. Setiap orang yang baru melewati padang sabana itu atau mereka yang pergi bertamasya ke Pantai Kambera dan pulang dikala malam menjejak dan merasakan desis angin rumput sabana, bulu kuduknya merinding dan ketakutan merayap ke seluruh tubuh. Kendaraan kemudian dipacu sekencang-kencangnya jauh meninggalkan tembang mirip lolong itu. (62)


Baciro, Maret 2014


— Bonifasius Martinus Bulu, lahir di Weetebula, Sumba Barat Daya, NTT pada 5 juni 1990. Saat ini bermukim di Yogyakarta berkuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan pada Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Sastra Dan Komitmen Sosial

*Catatan Pengantar dalam buku Pramoedya Ananta Toer dan Realisme Sosialis

Oleh: Eka Kurniawan

            Hakikat seni telah lama diperbincangkan dan diperdebatkan. Pembicaraan masalah tersebut seringkali muncul di antara para Filsuf maupun kritikus seni. Membicarakan masalah hakikat seni pada akhirnya akan kembali kepada para seniman yang berdiri di belakang setiap karya seni. Tidaklah mungkinmembicarakan seni sebagai realitas independen – yang hadir begitu saja- tanpa pertarungan konsep, ideologi, dan/atau filsafat dalam benak seniman. Maka, keberpihakan seniman memiliki konsekuensi keberpihakan seni. Membicarakan seni, pada akhirnya membicarakan gagasan-gagasan dari manusia-manusia yang berkarya di belakang penciptaan karya sei itu sendiri.
            Dalam sejarah perkembangannya, keberpihakan seni dan seniman ini, tampaknya lebih cenderung menempatkan seni dan ( juga) kebudayaan sebagai mendia untuk mempengaruhi pola pikir, kebiasaan, serta selera masyarakat yang diarahkan untuk berpihak pada struktur yang berkuasa, baik ekonomi, sosial, maupun politik. Misalnya, di zaman masyarakat masih mempercayai mitologi, seni dipakai untuk menanamkan mitos-mitos ke dalam benak masyarakat. Di sini seni tampak menjadi agen kekuasaan para dewa, dan dengan demikian, juga oran-orang tertentu yang diangkat sebagai wakil para dewa di dunia. Kasus serupa terjadi pula dalam birokrasi gereja selama abad pertengahan, di mana seni harus mengabdi pada keagungan dan kepentingan gereja dengan dogma-dogma serta ajaran-ajaran yang harus disampaikannya ke dalam pikiran masyarakat, yang pada akhirnya menuntut masyarakat untuk mengakui kekuasaan gereja.
            Hubungan seni dan kekuasaan semacam ini terus berlanjut selama sejarah peradaban manusia. Contoh lain, di masa lahirnya revolusi industri- yang ditandai dengan berkuasanya modal atas kerja manusia- seni kembali harus mereposisi perannya. Kapitalisme yang didukung kekuatan modal memaksa seni untuk berpihak  pada dirinya hingga akhirnya muncul istilah aplicated art serta pop art, yang semuanya mengacu pada seni yang dijual. Di sini telah ditempatkan sebagai komoditas, dan keindahan seni mulai diukur dengan uang serta hubungannya dengan keuntungan kapital.
            Fenomena ini antara lain ditangkap oleh Antonio Gramsci sebagai suatu cara kelas dominn atau yang berkuasa untuk menghegemoni masyarakatnya. Di sini seni dipergunakan sebagai alat penghegemoni dengan cara melakukan dominasi terhadap budaya dan ideologi masyarakat. Hal ini biasanya dilakukan karena paksaan atau tekanan secara fisik- represif dianggap tak dapat diharapkan lagi untuk melakukan kontrol sosial. Hegemoni sebagai inti  pemikiran kebudayaan Gramsci dapat dikatakan sebagai pemaksaan terselubung, di mana cara pandang, cara berpikir, ideologi, atau kebudayaan kelas yang mendominasi secara sengaja digunakan untuk mempengaruhi golongan yang didominasi. Alat penghegemoni ini biasanya meliputi birokrasi, pendidikan, informasi serta beragam alat termasuk keseniaan.
`           dalam lingkup kesenian, hegemoni senantiasa muncul berupa produk-produk kesenian massal yang serba seragam, yang bahkan masuk kepada wilayah-wilayah ekspresi-ekspresi artistik publik, dan secara nyata membunuh kreativitas. Contoh hegemoni seperti ini dapat ditemukan di wilayah-wilayah pedesaan atau kampung –kampung, di mana masyarakat dibuat tidak berdaya pada kehendak kelas yang dominan, dalam hal ini aparatur negara. Melalui pintu-pintu gapura yang seragam, warna pagar yang sama, atau pementasan sandiwara yang lebih bersifat mempropagandakan program-program pemerintah, negara dengan sengaja melakukan hegemoni terhadap selera artistik masyarakat. Kebijakan sensor dalam seni juga erat kaitannya dengan hegemoni kesenian yang dimaksud.
            Seni sebagai agen kemapanan, di satu sisi pada akhirnya menimbulkan konflik tersendiri di dalam dirinya. “ karena seni sesungguhnya pemberontakan,” kata Albert Camus, seorang filsuf  dan seniman prancis. Tendensi-tendensi pemberontakan seni, merupakan prasarat bagi lahirnya kreativitas. Jika selamanya seni melulu mengabdi pada kekuasaan-yang nota bene berarti kemapanan-maka seni akan kehilangan sumber dayanya yang paling utama, yaitu kreativitas. Dan dengan sendirinya seni mati sebagai seni. Pandangan semacam ini sangat dekat dengan gagasan atau prinsip-prinsip dialektika, di mana perubahan bergulir secara terus menerus sebagai jawaban atas struktur yang cenderung mempertahankan kemapanan.
Pemberontakan seni, mau tak mau, pada akhirnya memunculkan suatu arus baru dalam berkesenian aliran-aliran baru yang muncul, merupakan representasi adanya gerak dialektis dalam berkeseniaan sebagai antitesis terhadap aliran-aliran sebelumnya.
Pada tahap awal perkembangan pemberontakan seni, kondisi –kondisi seperti ini kemudian menciptakan apa yang belakangan disebut seni kritis. Namun dalam kritisisme tradisional, seni lebih cenderung memuja gagasan ketidakterikatan ( detachment), satu hal yang berbeda dengan apa yang terjadi dewasa ini. Kritisisme historis- sebuah aliran kritisisme baru- lebih cenderung menempatkan seni dalam pola-pola sosial, melalui gagasan bahwa tugas etis manusia adalah “ mengubah dunia melalui tindakan historis, di mana tugas historis itu sendiri hanya dapat dilakukan- seperti diasumsikan Hegel dan Marx- jika manusianya sendiri sepenuhnya historis.
Pemberontakan seni hadir untuk melawan dominasi, yang dari beberapa pemikiran Karl Marx dapa disimpulkan bahwa seni harus mengabdi pada revolusi dan kepentingan rakyat. Seni secara rasional mentransformasikan sejarah menjadi keindahan mutlak, dan pemberontakan seniman terhadap kenyataan dunia- menurut Camus- mengandung penegasan yang sama seperti pada pemberontakan spontan kaum tertindas. Dengan ungkapan lain, Leon Trostsky menyatakan bahwa pemberontakan seni lahir sebagai ungkapan perjuangan manusia untuk memperoleh hak-haknya yang dirampas oleh struktur yang berkuasa. Ini semakin membuktikan bahwa pemberontakan seni merupakan awal dari tendensi-tendensi baru dalam berkeseniaan.
Ditinjau dari sudut pandang ini, pemberontakan seni sama artinya dengan menjadikan seni menjadi media bagi terciptaknya kebebasan. Dalam struktur masyarakat yang menindas, seni diciptakan sebagai media penyadaran bagi rakyat tertindas, dan seni semacam ini jelas sekali keberpihakannya terhadap rakyat. Konsep penyadaran-dalam hal ini diadopsi dari pemikiran Paulo Freire- berarti mencoba memahami kontradiksi-kontradiksi suatu struktur sosial, politik maupun ekonomi) agar dapat mengambil tindakan untuk melawan atau memberontak terhadap struktur yang menindas tersebut. di sini, seni menjadi ajang dialog bagi terciptanyaa kesadaran ( sosial, politik, maupun ekonomi) masyarakat.
Pandangan ini sesungguhnya bertolak belakang dengan gagasan plato mengenai dunia ide, di mana Plato melihat seni tak lebih dari sekadar tiruan dari benda atau keadaan alam sebagaimana alam itu sendiri tak lebih dari tiruan terhadap hal-hal dalam dunia ide. Namun, dalam konsep penyadaraan, tujuan seni justru tidak terdapat pada peniruaanya, melainkan pada pemberian gaya. Kembali menurut Camus, seni merupakan wahana di mana alam ditangkap dan diletakkan dalam sebuah ekspresi yang sarat makna. Karena itu juga, bagi Camus tidak mungkin ada seni yang tanpa makna ( nonsens).
Permasalahanya kemudian, makna apa yang diambil oleh seorang seniman dewasa ini dalam berkarya seni. Menyimak analisis Trotsky, merosotnya keberadaan masyarakat borjuis telah semakin memperparah kontradiksi-kontradiksi sosial sehingga semakin memperlebar pula jurang kelas. Pada akhirnya hal tersebut ditransformasikan menjadi kontradiksi-kontradiksi personal, yang semakin menyuarakan kebutuhan akan seni yang membebaskan. Seni kemudian ditempatkan sebagai suatu media aksi kultural, seni menjadi semacam gerakan resistensi sosial yang juga berfungsi sebagai counter terhadap- kembali meminjam istilah Gramsci- hegemoni dominan. Di sini seniman menempatkan dirinya sebagai agen komunikasi bagi penderitaan rakyat-masyarakat tertindas yang tak berdaya melawan hegemoni dominan-melalui karya seni.
Dalam sebuah perbincangan, Camus pernah mengungkapkan bahwa seniman kadangkala memang dinilai tak memiliki urusan apapun dengan realitas dunia. Namun baginya, seniman tetaplah manusia, sehingga mengerti realitas dunia merupakan suatu hal yang tetap perlu bagi mereka. Para pekerja tambang yang diperas dan ditembaki, budak-budak kamp kerja paksa, para penduduk daerah jajahan, kumpulan semua orang tertuduh di seluruh dunia- mereka membutuhkan bantuan dari orang-orang yang mampu. Seniman dan karyanya, semestinya ada untuk itu.
Realisasi komitmen tersebut adalah dengan cara memasukkan relevansi sosial ke dalam karya seni, bahkan termasuk muatan-muatan yang berdimensi protes pun masih masih relevan untuk dimasukkan ke dalam seni. Hal tersebut sesungguhnya tidak hanya menjadi wahana bagi komitmen terhadap keberpihakan kerakyatan, namun juga akan membentuk gagasan-gagasan estetis yang lebih kreatif, dan berguna dalam rangka membentuk pola pemikiran estetika yang baru.
Kritisme seni muncul jika keseluruhan budaya, dari basis ekonomi hingga ideologi mengalami krisis, di mana seni- kembali lagi- tidak dapat menjauhkan diri dari semua itu. kemunculan aliran-aliran baru dalam dunia artistik – kubisme, futurisme, dadaisme, surealisme-semakin memperkokoh pemberontakan seni terhadap krisis yang melanda masyarakat, dan ini tampaknya tidak akan pernah menemukan titik akhir. Seni dan masyarakat selalu berdialektika untuk menemukan konsepsi-konsepsi baru yang membebaskan.
Namun demikian, usaha memperbaiki seluruh krisis yang melanda melalui medium seni adalah benar-benar mustahil dilakukan kecuali secara revolusioner. Hal inilah yang kemudian ditangkap oleh banyak kalangan seniman “ kiri”, terutama di masa awal revolusi rusia . revolusi Bolshevik di rusia, dalam sejarahnya- baik langsung maupun tidak langsung- telah memberi banyak dorongan terhadap tumbuhnya aliran seni macam ini. Pada titik inilah kemudian lahir apa yang disebut “ realisme sosialis” dalam wacana seni dan kebudayaan sebagai alat perjuangan kelas.
Klaim realisme sosialis ini secara sederhana bisa dikatakan mendasarkan diri pada teori dialektika Marx, di mana realitas diletakkan sebagai esensi dari hal-hal yang tampak ( materi). Dalam tradisi rusia, realisme sosialis sebagai aliran estetis dilembagakan keberadaannya menjadi semacam ideologi atau paham yang dianut oleh sastrawan atau seniman. Namun dalam pandangan george Lukacs, seorang filsuf dan kritikus sastra Hungaria yang sempat tinggal di Moskow, secara kritis realisme sosialis Rusia sesungguhnya tidak sepenuhnya didasarkan pada dialektika materealisme yang menjadi prinsip pengetahuan sejarah Marx. Realisme sosialis Rusia, menurutnya, lebih cenderung menjadi gerakan seni di mana penempatan metode artistik ditinjau melulu dalam kaitannya dengan kepentingan partai ( dalam hal ini partai komunis yang berkuasa)
Hal ini berkaitan erat dengan reaksi birokratik Rusia di masa Stalin yang dengan kekuasaan totaliternya telah menindas kreasi artistik. Seni telah dibelenggu menjadi sekadar jalan untuk mengangungkan dan menciptakan mitologi bagi keberlangsungan partai, dengan cara berlindung di balik topeng gerakan realisme sosialis, yang- kembali menurut Lukacs- memiliki makna berbeda sama sekali.
Lucaks sendiri berpendapat bahwa realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang berdasarkan kontemplasi dialektis antara seniman dengan lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempat berada. Hakikat dari realisme sosialis ini sunguh-sungguh menempatkan seni sebagai wahana keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing ( teralienasi, dalam istilah Marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan.