Perempuan Dalam Kepala
Ia yang menari sepanjang waktu dalam kepalaku
Menghentakkan kaki lembutnya pada jiwaku yang
kalut
Menyentuh pedalaman hatiku dengan wajahnya yang
lembut
Membuatku berpaling dari bunga-bunga yang dekat
Membuatku mati oleh kesepian melekat
Aku telah mencitainya dengan susah payah
Sebagai kumbang tak bersayap kehilangan indra
penciuman
Kehilangan manis bunga impian
Dan ia tak kunjung-kunjung datang
Haruskah aku mati seorang diri?
Terlalu banyak pahit kopi dan kesepian kuteguk
Dan ia hanya bayangan dalam kepalaku
Pagi datang membawa malam
Kesepian juga mengancam
Kuseduh kopi pahit dan berpikir
Terlalu banyak kata kuhamburkan
Kusedu pula kesepian dan kuteguk sampai tandas
Dan ia hanya bayangan
Selamat tinggal
—Baciro,
21 november 2014
Review#2: Orang Asing - Albert Camus
Sejak awal
cerita, tindakan-tindakan Tuan Meursault ini sudah berindikasi menyimpang dari norma sosial.
Peristiwa demi peristiwa ditampilkan dengan wajar. Cerita dibuka dengan kabar meninggalnya
ibu Tuan Meursault di panti wreda kemudian berlanjut dengan peristiwa
keberangkatannya menuju panti wreda untuk menghadiri pemakaman ibunya dan
peristiwa-peristiwa setelah pemakaman ibunya. Pada bab awal secara pribadi saya
sudah merasa ganjil dengan sikap Tuan Meursault, ia tampak tak merasa sedih
atau terpukul dengan kematian ibunya dan melihat itu sebagai suatu hal yang
wajar. Peristiwa ketika sedang menjaga jenazah ibunya menjadi tolak ukurnya,
orang-orang tua teman ibunya lebih bersedih dari dirinya yang merupakan ibu
kandungnya, ia minum kopi dan merokok di depan jenazah ibunya. Keganjilan lain, Soal alasannya mengirim ibunya
ke panti wreda misalnya, penghasilannya yang kecil tak mencukupi membayar seorang
penjaga, selain itu ia dan ibunya jarang berbicara. Secara tidak langsung ia
mau mengatakan bahwa kehadiran ibunya mengekangnya. Bagi saya, ia mengirim
ibunya ke panti wreda dengan tujuan agar ia bisa bebas melakukan apa saja. Jika
kita melihat fakta setelah pemakaman ibunya, ia terlihat lebih bebas,
jalan-jalan, pergi nonton film di bioskop bersama Marie, pergi ke pantai,
termasuk membawa Marie tidur di kamarnya, suatu hal yang bagi saya tidak
mungkin terjadi kalau ibunya masih tinggal dengannya. Dan juga membuat masalah
pembunuhan di pantai beberapa hari setelah pemakaman ibunya (masih dalam masa
berkabung).
Tindakan-tindakan
Tuan Meursault di bab-bab awal cerita yang bagi saya terlihat ganjil, menjadi
terang di bab-bab akhir cerita. Penembakan terhadap orang arab menjadi titik
awalnya. Di pengadilan, bukan soal penembakan itu lagi yang dipersoalkan tetapi
sikap dan tindakannya setelah kematian ibunya. Lewat tokoh Jaksa Penuntut, yang
merupakan representasi dari norma sosial itu (selain direktur panti wreda,
penjaga kamar jenazah, teman baik ibunya yang bernama Perez) menunjukkan bahwa:
ia sama sekali tidak berperasaan, ia tidak mengetahui usia ibunya, bahwa ia berenang
keesokan harinya dengan seorang wanita, merokok di depan jenazah ibunya, ia
tidak lebih berduka dari pada seorang Perez yang tak begitu lama mengenal
ibunya, menonton film, dan tidur bersama Marie di kamarnya. Bahwa ia telah
membangkitkan kemarahan musuh-musuh Rymond dan membunuh salah satu dari mereka.
Jaksa Penuntut itu menuduhnya juga telah membunuh ibunya secara moral.
Bagi saya, Tuan
Meursault sepintas lalu adalah pribadi yang biasa-biasa saja. Ia bertindak
dengan pikiran bahwa semua itu bisa saja terjadi. Ia menjadi istimewa karena ia
seperti tak memiliki kepribadian, bertindak semau dia, kurang bijaksana, dan
tak punya pendirian yang tetap. Ia tidak memiliki kesadaran terhadap lingkungan
sosialnya dan tak punya tujuan hidup yang jelas. Bagi saya di sinilah titik
dari ‘Orang Asing’ yang dimaksud oleh Albert Camus (terlepas dari berbagai isu
lain yang diangkatnya). Tuan Meursault lah Orang Asing dalam cerita ini. Ia tak
tahu harus mengapakan dirinya sendiri. Ia tak mengenal lingkungan (kultur)
daerah tempat tinggalnya dan menganggap soal kematian adalah hal yang wajar-wajar
saja.
Banyak hal
yang ingin disampaikan oleh Albert Camus dalam novel “Orang Asing” (judul asli L’Etranger) setebal 124 halaman. Diterbitkan
oleh Yayasan Obor dan diterjemahkan dengan sangat baik oleh Apsanti
Djokosujatno. Novel pertamanya ini menggemparkan dunia. Bahasanya sederhana,
menggunakan kalimat pendek, dan caranya melukiskan setiap peristiwa sangat mengesankan.
Peristiwa demi peristiwa telihat wajar di mata kita namun sesungguhnya
mengandung maksud yang mesti ditafsirkan.
Lewat novel
ini, apa yang disebut oleh Roky Gerung (dalam prolog buku kumpulan cerpen
kompas 2008) sebagai ‘kepentingan politis’ terwujudkan yaitu untuk memproduksi
suasana. Suasana yang dimaksud di sini adalah suasana risau, sedih terhadap
kisah dalam novel ini. Di sisi lain membaca novel ini sebagai bentuk
konfirmasi. Yaitu, konfirmasi terhadap kegelisahan hidup, penemuan diri dan
terutama eksistensi diri di tengah masyarakat.
Review#1: The God of Small Things
Penulis: Arundhati Roy
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Penerjemah:Rahartati Bambang Haryo
Bagi saya, Estha
dan Rahel adalah kembar yang unik. Unik dari segi penampilan mereka, sifat
mereka, cara mereka melihat sesuatu, dan spontanitas mereka. Pada diri Ammu
saya menemukan perasaan putus asa (menghadapi kenyataan hidup, tradisi yang
kuat), perasaan gagal, dan rasa terpinggirkan dari dunia sekitarnya. Pada diri
Velutha, ada semangat hidup yang berkobar namun tak berdaya menghadapi tradisi
kasta yang sangat kuat di kala itu. Bagi saya, ketiga tokoh ini adalah
representasi dari segala “Yang Maha Kecil” : Ammu lahir dari keluarga Kristen
Syria yang terhormat namun sebagai anak perempuan, dalam tradisi Kristen Syria
tak berhak atas warisan apapun, yang kawin campur dengan pemuda hindu lalu
cerai. Itu artinya aib berlipat ganda. Estha dan Rahel sebagai anak dari Ammu
dalam kehidupan sehari-hari menyadari juga
rasa terpinggirkan, rasa tak berarti (perasaan itu pada akhirnya
membentuk pribadi mereka) sedangkan Velutha, datang dari kaum Paravan; kasta
yang tak dapat disentuh (kaum Paravan diminta merangkak mundur dengan memegang
sapu, untuk membersihkan bekas tapak kaki mereka sehingga kasta Brahma atau
Kristen Syria tidak perlu harus mengotorkan diri dengan menginjak bekas kaki
Paravan. Kaum Paravan, seperti juga kaum Untouchable lainnya, tidak
diperkenankan berjalan di jalanan umum. Mereka dilarang menutupi bagian atas
tubuhnya, mereka dilarang membawa paying, dan mereka diwajibkan menutup mulut
dengan tangan ketika sedang berbicara, untuk mengenyahkan polusi nafas mereka
dari lawan bicara (halaman 89))
Velutha
—
yang menurut Ammu adalah dewa hal-hal kecil— dapat melakukan pekerjaan apa
saja; tukang kayu, memperbaiki mesin pabrik, listrik, dan sebagainya. Kemampuan
yang luar biasa itu oleh Mamachi jika bukan dilahirkan dalam kaum Paravan
Velutha sudah menjadi Insinyur.
Lewat ketiga
tokoh itulah Arundanthi Roy mencoba mendobrak dan menggugat tradisi-tradisi
dalam masyarakat India seperti sistem kasta yang dipertanyakan, tradisi Kristen
Syria yang karena satu dan lain hal dianggap najis, tak sama dan tak layak berdampingan
dengan kasta yang lebih tinggi atau terhormat. Pemisahan itu didasarkan atas
kasta, ras, etnis, kelas, agama, orientasi sexual. Tokoh-tokoh seperti Mamachi,
Baby Kochama, Chacko, inspektur polisi, Kamered Pilai merupakan representasi
dari tradisi tersebut. Tradisi yang menempatkan manusia lain seperti anjing
paria ( bahasa Mamachi), lebih redah dari manusia lain. Di sini hak-hak manusia
dipertanyakan, digugat, dan diperjuangkan. Lewat novel itu pula, Arundhanti Roy
mengkritik Partai Komunis dan gereja Kristen yang memperjuangkan persamaan
namun tak berdaya menghadapi tradisi dalam kehidupan masyarakat.
Hingga akhirnya
pada bab terakhir Novel, Arundanthi Roy menggambarkan (lewat hubungan seks
antara Ammu (dari kasta touchable) dengan Velutha (dari kasta untouchable))
bahwa tak ada perbedaan kasta lagi, bahwa manusia sama di hadapan yang
mahakuasa, bahwa setiap manusia berhak memilih untuk dirinya sendiri siapa yang
harus dicintai tanpa membedakan Kasta. Lewat hubungan seks itu pula Arundhanti
Roy ingin mengatakan bahwa semua haru dipersatukan yang touchable dan
untouchable.
Bagi saya yang
awam dengan karya sastra bermutu tinggi, The
God Of Small Things karya Arundhati Roy, sangat rumit ( terutama bahasa dan
alurnya) tetapi menarik, indah, dan menggugah rasa kemanusiaan dengan tema yang
diangkatnya. Teknik dan gaya bertuturnya pun sangat menarik penuh dengan imaji
yang mampu memancing pembaca untuk berpikir jauh.
Saya tidak dapat
mengatakan semuanya di sini, karena keterbatasan untuk memahami cerita dan tema
yang diangkat. seperti juga saya mungkin anda yang masih awam mesti membaca
tiga kali. Saya membaca novel tersebut yang kedua kalinya karena ingin memahami
lebih dalam tema dalam novel tersebut dan karena ia begitu indah dan menarik. Saya
juga sering merasa bahwa kenyataan yang dihadapi tokoh-tokoh yang terpinggirkan
dalam novel itu sering terjadi juga dalam kehidupan saya. Jadi saya sangat
mencintai novel ini. Saya seperti menemukan dan memiliki teman baru pada diri
novel ini.
Tentu anda penasaran bukan? Saya tak
harus mengatakan semuanya di sini! Saya harus mengatakan pada anda bahwa novel “The
God Of Small Things” karya Arundhati
Roy wajib anda baca!
Angin Rumput Sabana
* cerpen saya di harian Suara Merdeka, 6 April 2014
DI pesisir Pantai Kambera, berdiri sebuah gubuk reyot, beratap alang, berdinding anyaman bambu dan beralas pasir putih. Dari situ jalan setapak itu bermula. Panjang seperti ular membelah padang sabana, melewati jalan beraspal menuju Mondu, terus memanjang ke balik bukit kering dan berbatu cadas di sisi utara.
Setiap pagi berhalimun, kala aku melintasi jalan beraspal menuju Mondu, pada jalan setapak itu melangkah seorang perempuan tua dengan langkah cepat dan tetap. Berkerudung kain hitam, berbaju putih dibalut kain sarung cokelat kemerah-merahan melingkar di pinggulnya. Di pundaknya tergantung sebuah cukulele dan bakul dari anyaman daun tuak. Tangan kanannya menggenggam sebuah periuk hitam.
Pada lain waktu pada penghujung minggu, usai rapat sekolah yang menguras tenaga sampai sore, aku menolak ajakan Umbu Remu menikmati satu dua gelas tuak dengan penolak ikan bakar.
‘’Satu dua gelas saja, Pak Guru,’’ pinta Umbu Remu.
Aku harus pulang, sebelum malam menjejak, memanjang, merajai padang sabana yang luas. Seiring dengan pasang naik, dari pesisir pantai nelayan-nelayan mulai melaut. Setelah jalan membelok menanjak meninggalkan pesisir Pantai Kambera kuhentikan motor di sisi kiri jalan Mondu yang sepi. Keinginan membuang air kecil tak dapat ditahan. Sayup-sayup di sela embusan angin rumput sabana terdengar tembang pilu diiringi petikan cukulele mendayu-dayu timbul tenggelam.
‘’Umbu Palindi, Umbu Palindi! Lelaki pengembara! Sayangku, kekasih hati! Angin rumput sabana beraroma tubuhmu! Cepat kau kembali!’’ katanya. Dilantunkan oleh suara panjang melengking berujung sedu sedan dan isak tangis. Sekejap bulu kuduk merinding dan ketakutan merayap ke seluruh tubuh. Tanpa berlama-lama, kuhidupkan motor dan kupacu sekencang-kencangnya jauh meninggalkan tembang mirip lolong itu.
Dan selalu saja setiap pagi berhalimun masih tetap muncul perempuan yang melangkah cepat dan tetap membelah padang sabana entah menuju ke mana. Selalu dengan kerudung yang sama, baju putih yang sama, cukulele, bakul dan periuk hitam. Pada sore hari ketika aku terlambat pulang karena tugas memberi les privat, dan setelah menolak ajakan Umbu Remu menikmati satu dua gelas tuak, selalu kudengar tembang pilu melengking diiringi petikan cukulele mendayu- dayu murung membunuh suara deru motor menyelinap di sela-sela helm. Seperti biasa, bulu kuduk merinding dan ketakutan merayap ke seluruh tubuh lantas kupacu motor sekencang-kencangnya.
***
KIRA-KIRA baru sebulan lamanya aku bekerja sebagai guru matematika di salah satu sekolah negeri di Kecamatan Mondu. Banyak hal yang belum kuketahui tentang tempat ini. Hanya teman-teman guru dan seorang nelayan bernama Umbu Remu yang baru kukenal dekat. Memang pihak sekolah menyediakan mes guru untukku tetapi untuk beberapa bulan ke depan aku meminta izin agar berangkat dari rumahku di Waingapu. Istriku sedang mengandung enam bulan. Jarak Waingapu-Mondu kira-kira belasan kilometer. Jadilah aku harus berangkat pagi-pagi sekali sebelum mentari menyembul di ufuk timur dan bel sekolah berdentang.
Mula-mula aku menyangka petikan cukulele itu datang dari anak-anak gembala yang mengiring kuda-kuda sandel menuju kandangnya sekembali memandikan mereka di pantai. Tetapi biasanya anak-anak gembala itu suka berdendang riang dengan petikan cukulele bernada riang pula. Tangisan mirip lolong berujung sedu-sedan dan isak tangis serta petikan cukulele yang muram, jelas bukan dari anak-anak gembala. Kadang terpikir olehku suara itu suara kuntilanak atau roh-roh penunggu padang sabana atau penghuni tebing-tebing cadas di utara padang sabana.
Lama-lama bayangan perempuan berkerudung hitam dan tembang mirip lolong itu rasa-rasanya mengikuti ke mana pun aku pergi dan selalu membikin bulu kuduk merinding dan ketakutan yang menyerang tiba-tiba, apalagi kala mengendarai motor di jalan yang sepi.
Sekali waktu kuterima ajakan Umbu Remu menikmati satu dua gelas tuak dengan penolak ikan bakar. Tanpa basa-basi di antara bau asin ikan dari tempat penjemuran kutanyakan perihal perempuan berkerudung hitam dan tembang mirip lolong itu.
‘’Jadi Pak Guru belum dengar cerita tentang janda Rambu Kahi?’’ tanya umbu Remu sambil menuangkan tuak ke dalam gelas kaca kecil kemudian menyodorkan padaku.
‘’Belum.’’
‘’Juga peristiwa lima tahun lalu?’’
‘’Belum. Peristiwa apa?’’
Kuteguk seperempat gelas tuak pemberian Umbu Remu. Tenggorokan terasa panas lantas kusambar ikan bakar. ‘’Aku orang baru di sini.’’
‘’Kasihan, Pak Guru, sungguh kasihan. Terlalu cepat kebahagiaan pergi. Peristiwa lima tahun lalu telah membikin Rambu Kahi jadi begitu,’’ ujar Umbu Remu muram.
‘’Apa yang terjadi?’’
‘’Mereka baru setahun menikah,’’ Umbu Remu memulai. ‘’Perempuan mana yang tak ingin bersuamikan Umbu Palindi? Lelaki pemberani, pengembara lautan. Ia pujaan bunga-bunga Mondu. Cinta Umbu Palindi hanya untuk Rambu Kahi seorang. Rambu Kahi, dara cantik berhati malaikat. Mereka menjalin kasih dan menikah. Bakal jadi keluarga bahagia. Setiap Umbu Palindi berangkat melaut, Rambu Kahi memerlukan mengantar ke tepi laut dan menunggu sampai sampan jadi titik hitam di kejauhan laut. Rambu Kahi kan selalu menunggu ia kembali. Di gubuk itu biasa ia akan menunggu suaminya mendarat.’’
‘’Biasanya, Pak Guru,’’ lanjut Umbu Remu. ‘’Untuk membunuh kebosanan ia berdendang riang diiringi Cukulele sambil mata terus menggerayangi lautan lepas. Bakul dari anyaman daun tuak itu selalu berisi petatas rebus, ubi goreng, dan sambal. Sesaat setelah suaminya dan nelayan lainnya mendarat, Rambu Kahi menggelar bawaannya untuk dinikmati semua nelayan sambil bercerita tentang cuaca di tengah laut, ombak, angin, jaring dan hasil tangkapan ikan yang tak menguntungkan. Jauh dari harapan. Bagi seluruh nelayan di pesisir Mondu, Rambu Kahi adalah perempuan luar biasa. Sungguh beruntung Umbu Palindi. Sayang sekali kebahagian itu berumur pendek…,’’ Umbu Remu berhenti sebentar meneguk segelas tuak.
‘’Waktu itu musim penghujan, angin bertiup kencang, laut ganas. Hampir semua nelayan di pesisir Mondu tak melaut. Umbu Palindi tetap menyiapkan sampan dan pukatnya berangkat melaut diiringi isak tangis Rambu Kahi. Memang dia lelaki pemberani. Berkali-kali di tengah laut ganas ia berangkat melaut dan selalu kembali dengan sampan penuh ikan. Dia sahabat baik, pengembara lautan. Dia pernah mengungkapkan niatnya memiliki sebuah perahu bermesin. Niat itu hampir terwujud. Mendadak anak Umbu Marambi sakit keras dan tak punya uang untuk berobat. Umbu Palindi dengan tulus memberikan simpanannya untuk biaya berobat anak Umbu Marambi. Ia sangat peduli terhadap kehidupan sesama nelayan.’’
‘’Tetapi kali ini…,’’ Umbu Remu melanjutkan setelah menyodorkan gelas berisi tuak padaku. ‘’Pengembara lautan kami itu, sahabat terbaik kami itu, tak pernah kembali hingga kini.’’
‘’Nelayan-nelayan yang melaut tak pernah menemukan jejak Umbu Palindi. Awalnya kami tak percaya dia hilang, namun kami menerima juga kenyataan bahwa Umbu Palindi takkan pernah kembali,’’ Umbu Remu menarik nafas panjang. Matanya berkaca-kaca.
Rambu Andung, istri Umbu Remu datang menghidangkan ikan bakar dalam sebuah talam. ‘’Sejak saat itu Rambu Kahi jadi begitu,’’ tambah Rambu Andung. ‘’Ia meninggalkan rumahnya dan tinggal di gubuk di pesisir Pantai Kambera, gubuk tempat nelayan biasa beristirahat, ia mengamuk saat kami hendak melaksanakan upacara menguburkan sampan tua milik Umbu Palindi sebagai tanda penghormatan kami.’’
‘’Umbu Palindi akan kembali, suamiku akan kembali, sayangku, kekasih hatiku. Angin rumput sabana beraroma tubuhnya, angin rumput sabana beraroma tubuhnya!’’ begitu ia berteriak, meraung-raung, mengancam setiap dari kami.
‘’Setiap pagi, Pak Guru,’’ sambung Umbu Remu lagi. ‘’Ia selalu pergi ke bukit di utara sana itu, dari situ ia bisa melihat hamparan lautan lepas, sampan-sampan, perahu-perahu nelayan terlihat dengan jelas. Dari situ ia menunggu Umbu Palindi. Setiap ada sampan atau perahu menepi ia akan berlari menuruni bukit, menyusuri jalan setapak membelah padang sabana sambil berteriak, ‘Umbu sayangku, Umbu sayangku, kau telah kembali!’ kemudian ia akan terisak-isak menangis ketika mendapati di sampan itu bukan Umbu Palindi.’’
‘’Kami yang ibu-ibu sering mengajaknya pulang, ia jawab dengan ancaman hendak membunuh siapa saja yang menyuruhnya pulang,’’ ujar Rambu Andung.
‘’Begitu terus selama tiga tahun ini, pak guru, tak ada yang berani mengajaknya pulang. Dan pada tahun-tahun terakhir ini, menjelang malam selalu kami dengar tembang pilu diiringi petikan cukulele mendayu-dayu timbul tenggelam datang dari padang sabana di bawah oleh angin rumput sabana, menyentuh pedalaman perasaan hati kami, membangkitkan bayang-bayang Umbu Palindi,’’ ujar Umbu Remu murung.
‘’Ibu-ibu yang mendengar tembang itu akan menangis tersedu-sedu mengenang nasib Rambu Kahi dan segala yang terjadi bertahun-tahun dahulu itu.’’
‘’Dan kalian tidak merasa terganggu?’’ tanyaku.
‘’Sudah biasa, Pak Guru, rasa-rasanya kalau mendengar tembang itu Umbu Palindi masih ada di antara kami, bau tubuhnya dapat kami rasakan dalam desir angin rumput sabana,’’ jawab Umbu Remu tegar.
Rasa haru menjalar ke seluruh tubuh mendengar cerita itu. Perempuan berkerudung itu dan tembang pilu diiringi petikan cukulele mendayu-dayu itu. dalam perjalanan pulang setelah jalan membelok menanjak meninggalkan pesisir Pantai Kambera, masih terdengar jua tembang pilu berujung sedu sedan dan isak tangis diiringi petikan cukulele mendayu-dayu.
‘’Umbu Palindi, Umbu Palindi! Lelaki pengembara! Sayangku, kekasih hati! Cepat kau kembali!’’
Keesokan hari, pagi-pagi sekali tak kutemukan perempuan berkerudung bernama Rambu Kahi itu lagi. Padang sabana kosong melompong dan jalan setapak itu tampak kesepian. Jauh di pesisir Pantai Kambera orang-orang ramai mengerubungi gubuk yang ditempati Rambu Kahi. Kabarnya beberapa anak gembala melihat dengan mata kepala mereka sendiri Rambu Kahi mengayun sampan tua membelah deru ombak. Banyak orang tak percaya. Berhari-hari mereka menunggui gubuk itu. Untuk beberapa hari tak terdengar tembang pilu itu dan petikan cukulele yang muram. Berminggu-minggu lamanya batang hidung Rambu Kahi tak juga muncul. Orang-orang mulai menyisir pantai, kalau-kalau ada tubuh perempuan terdampar. Tak juga ada. Orang-orang memutuskan membuat upacara menguburkan cukulele, bakul, periuk Rambu Kahi sebagai tanda penghormatan.
Kini, di sepanjang padang sabana yang membentang luas di pesisir pantai Kambera, sebelum malam menjejak, memanjang, merajai padang sabana yang luas itu bertiup angin rumput sabana, berdesis murung kemudian bangkit tembang pilu diiringi petikan cukulele mendayu-dayu timbul tenggelam. Dilantunkan oleh suara panjang melengking berujung sedu sedan dan isak tangis. Setiap orang yang baru melewati padang sabana itu atau mereka yang pergi bertamasya ke Pantai Kambera dan pulang dikala malam menjejak dan merasakan desis angin rumput sabana, bulu kuduknya merinding dan ketakutan merayap ke seluruh tubuh. Kendaraan kemudian dipacu sekencang-kencangnya jauh meninggalkan tembang mirip lolong itu. (62)
Baciro, Maret 2014
— Bonifasius Martinus Bulu, lahir di Weetebula, Sumba Barat Daya, NTT pada 5 juni 1990. Saat ini bermukim di Yogyakarta berkuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan pada Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Sastra Dan Komitmen Sosial
*Catatan Pengantar
dalam buku Pramoedya Ananta Toer dan Realisme Sosialis
Oleh: Eka
Kurniawan
Hakikat
seni telah lama diperbincangkan dan diperdebatkan. Pembicaraan masalah tersebut
seringkali muncul di antara para Filsuf maupun kritikus seni. Membicarakan
masalah hakikat seni pada akhirnya akan kembali kepada para seniman yang
berdiri di belakang setiap karya seni. Tidaklah mungkinmembicarakan seni
sebagai realitas independen – yang hadir begitu saja- tanpa pertarungan konsep,
ideologi, dan/atau filsafat dalam benak seniman. Maka, keberpihakan seniman
memiliki konsekuensi keberpihakan seni. Membicarakan seni, pada akhirnya
membicarakan gagasan-gagasan dari manusia-manusia yang berkarya di belakang
penciptaan karya sei itu sendiri.
Dalam
sejarah perkembangannya, keberpihakan seni dan seniman ini, tampaknya lebih
cenderung menempatkan seni dan ( juga) kebudayaan sebagai mendia untuk
mempengaruhi pola pikir, kebiasaan, serta selera masyarakat yang diarahkan
untuk berpihak pada struktur yang berkuasa, baik ekonomi, sosial, maupun
politik. Misalnya, di zaman masyarakat masih mempercayai mitologi, seni dipakai
untuk menanamkan mitos-mitos ke dalam benak masyarakat. Di sini seni tampak
menjadi agen kekuasaan para dewa, dan dengan demikian, juga oran-orang tertentu
yang diangkat sebagai wakil para dewa di dunia. Kasus serupa terjadi pula dalam
birokrasi gereja selama abad pertengahan, di mana seni harus mengabdi pada
keagungan dan kepentingan gereja dengan dogma-dogma serta ajaran-ajaran yang
harus disampaikannya ke dalam pikiran masyarakat, yang pada akhirnya menuntut
masyarakat untuk mengakui kekuasaan gereja.
Hubungan
seni dan kekuasaan semacam ini terus berlanjut selama sejarah peradaban
manusia. Contoh lain, di masa lahirnya revolusi industri- yang ditandai dengan
berkuasanya modal atas kerja manusia- seni kembali harus mereposisi perannya.
Kapitalisme yang didukung kekuatan modal memaksa seni untuk berpihak pada dirinya hingga akhirnya muncul istilah
aplicated art serta pop art, yang semuanya mengacu pada seni yang dijual. Di
sini telah ditempatkan sebagai komoditas, dan keindahan seni mulai diukur
dengan uang serta hubungannya dengan keuntungan kapital.
Fenomena
ini antara lain ditangkap oleh Antonio Gramsci sebagai suatu cara kelas dominn
atau yang berkuasa untuk menghegemoni masyarakatnya. Di sini seni dipergunakan
sebagai alat penghegemoni dengan cara melakukan dominasi terhadap budaya dan
ideologi masyarakat. Hal ini biasanya dilakukan karena paksaan atau tekanan
secara fisik- represif dianggap tak dapat diharapkan lagi untuk melakukan
kontrol sosial. Hegemoni sebagai inti
pemikiran kebudayaan Gramsci dapat dikatakan sebagai pemaksaan
terselubung, di mana cara pandang, cara berpikir, ideologi, atau kebudayaan
kelas yang mendominasi secara sengaja digunakan untuk mempengaruhi golongan
yang didominasi. Alat penghegemoni ini biasanya meliputi birokrasi, pendidikan,
informasi serta beragam alat termasuk keseniaan.
` dalam
lingkup kesenian, hegemoni senantiasa muncul berupa produk-produk kesenian
massal yang serba seragam, yang bahkan masuk kepada wilayah-wilayah
ekspresi-ekspresi artistik publik, dan secara nyata membunuh kreativitas.
Contoh hegemoni seperti ini dapat ditemukan di wilayah-wilayah pedesaan atau
kampung –kampung, di mana masyarakat dibuat tidak berdaya pada kehendak kelas
yang dominan, dalam hal ini aparatur negara. Melalui pintu-pintu gapura yang
seragam, warna pagar yang sama, atau pementasan sandiwara yang lebih bersifat
mempropagandakan program-program pemerintah, negara dengan sengaja melakukan
hegemoni terhadap selera artistik masyarakat. Kebijakan sensor dalam seni juga
erat kaitannya dengan hegemoni kesenian yang dimaksud.
Seni
sebagai agen kemapanan, di satu sisi pada akhirnya menimbulkan konflik
tersendiri di dalam dirinya. “ karena seni sesungguhnya pemberontakan,” kata
Albert Camus, seorang filsuf dan seniman
prancis. Tendensi-tendensi pemberontakan seni, merupakan prasarat bagi lahirnya
kreativitas. Jika selamanya seni melulu mengabdi pada kekuasaan-yang nota bene
berarti kemapanan-maka seni akan kehilangan sumber dayanya yang paling utama,
yaitu kreativitas. Dan dengan sendirinya seni mati sebagai seni. Pandangan
semacam ini sangat dekat dengan gagasan atau prinsip-prinsip dialektika, di
mana perubahan bergulir secara terus menerus sebagai jawaban atas struktur yang
cenderung mempertahankan kemapanan.
Pemberontakan
seni, mau tak mau, pada akhirnya memunculkan suatu arus baru dalam berkesenian
aliran-aliran baru yang muncul, merupakan representasi adanya gerak dialektis
dalam berkeseniaan sebagai antitesis terhadap aliran-aliran sebelumnya.
Pada tahap
awal perkembangan pemberontakan seni, kondisi –kondisi seperti ini kemudian
menciptakan apa yang belakangan disebut seni kritis. Namun dalam kritisisme
tradisional, seni lebih cenderung memuja gagasan ketidakterikatan (
detachment), satu hal yang berbeda dengan apa yang terjadi dewasa ini.
Kritisisme historis- sebuah aliran kritisisme baru- lebih cenderung menempatkan
seni dalam pola-pola sosial, melalui gagasan bahwa tugas etis manusia adalah “
mengubah dunia melalui tindakan historis, di mana tugas historis itu sendiri
hanya dapat dilakukan- seperti diasumsikan Hegel dan Marx- jika manusianya
sendiri sepenuhnya historis.
Pemberontakan
seni hadir untuk melawan dominasi, yang dari beberapa pemikiran Karl Marx dapa
disimpulkan bahwa seni harus mengabdi pada revolusi dan kepentingan rakyat.
Seni secara rasional mentransformasikan sejarah menjadi keindahan mutlak, dan
pemberontakan seniman terhadap kenyataan dunia- menurut Camus- mengandung
penegasan yang sama seperti pada pemberontakan spontan kaum tertindas. Dengan
ungkapan lain, Leon Trostsky menyatakan bahwa pemberontakan seni lahir sebagai
ungkapan perjuangan manusia untuk memperoleh hak-haknya yang dirampas oleh
struktur yang berkuasa. Ini semakin membuktikan bahwa pemberontakan seni
merupakan awal dari tendensi-tendensi baru dalam berkeseniaan.
Ditinjau
dari sudut pandang ini, pemberontakan seni sama artinya dengan menjadikan seni
menjadi media bagi terciptaknya kebebasan. Dalam struktur masyarakat yang
menindas, seni diciptakan sebagai media penyadaran bagi rakyat tertindas, dan
seni semacam ini jelas sekali keberpihakannya terhadap rakyat. Konsep
penyadaran-dalam hal ini diadopsi dari pemikiran Paulo Freire- berarti mencoba
memahami kontradiksi-kontradiksi suatu struktur sosial, politik maupun ekonomi)
agar dapat mengambil tindakan untuk melawan atau memberontak terhadap struktur
yang menindas tersebut. di sini, seni menjadi ajang dialog bagi terciptanyaa kesadaran
( sosial, politik, maupun ekonomi) masyarakat.
Pandangan
ini sesungguhnya bertolak belakang dengan gagasan plato mengenai dunia ide, di
mana Plato melihat seni tak lebih dari sekadar tiruan dari benda atau keadaan
alam sebagaimana alam itu sendiri tak lebih dari tiruan terhadap hal-hal dalam
dunia ide. Namun, dalam konsep penyadaraan, tujuan seni justru tidak terdapat
pada peniruaanya, melainkan pada pemberian gaya. Kembali menurut Camus, seni
merupakan wahana di mana alam ditangkap dan diletakkan dalam sebuah ekspresi
yang sarat makna. Karena itu juga, bagi Camus tidak mungkin ada seni yang tanpa
makna ( nonsens).
Permasalahanya
kemudian, makna apa yang diambil oleh seorang seniman dewasa ini dalam berkarya
seni. Menyimak analisis Trotsky, merosotnya keberadaan masyarakat borjuis telah
semakin memperparah kontradiksi-kontradiksi sosial sehingga semakin memperlebar
pula jurang kelas. Pada akhirnya hal tersebut ditransformasikan menjadi
kontradiksi-kontradiksi personal, yang semakin menyuarakan kebutuhan akan seni
yang membebaskan. Seni kemudian ditempatkan sebagai suatu media aksi kultural,
seni menjadi semacam gerakan resistensi sosial yang juga berfungsi sebagai
counter terhadap- kembali meminjam istilah Gramsci- hegemoni dominan. Di sini
seniman menempatkan dirinya sebagai agen komunikasi bagi penderitaan
rakyat-masyarakat tertindas yang tak berdaya melawan hegemoni dominan-melalui
karya seni.
Dalam sebuah
perbincangan, Camus pernah mengungkapkan bahwa seniman kadangkala memang
dinilai tak memiliki urusan apapun dengan realitas dunia. Namun baginya,
seniman tetaplah manusia, sehingga mengerti realitas dunia merupakan suatu hal
yang tetap perlu bagi mereka. Para pekerja tambang yang diperas dan ditembaki,
budak-budak kamp kerja paksa, para penduduk daerah jajahan, kumpulan semua
orang tertuduh di seluruh dunia- mereka membutuhkan bantuan dari orang-orang
yang mampu. Seniman dan karyanya, semestinya ada untuk itu.
Realisasi
komitmen tersebut adalah dengan cara memasukkan relevansi sosial ke dalam karya
seni, bahkan termasuk muatan-muatan yang berdimensi protes pun masih masih
relevan untuk dimasukkan ke dalam seni. Hal tersebut sesungguhnya tidak hanya
menjadi wahana bagi komitmen terhadap keberpihakan kerakyatan, namun juga akan
membentuk gagasan-gagasan estetis yang lebih kreatif, dan berguna dalam rangka
membentuk pola pemikiran estetika yang baru.
Kritisme
seni muncul jika keseluruhan budaya, dari basis ekonomi hingga ideologi
mengalami krisis, di mana seni- kembali lagi- tidak dapat menjauhkan diri dari
semua itu. kemunculan aliran-aliran baru dalam dunia artistik – kubisme,
futurisme, dadaisme, surealisme-semakin memperkokoh pemberontakan seni terhadap
krisis yang melanda masyarakat, dan ini tampaknya tidak akan pernah menemukan
titik akhir. Seni dan masyarakat selalu berdialektika untuk menemukan
konsepsi-konsepsi baru yang membebaskan.
Namun
demikian, usaha memperbaiki seluruh krisis yang melanda melalui medium seni
adalah benar-benar mustahil dilakukan kecuali secara revolusioner. Hal inilah
yang kemudian ditangkap oleh banyak kalangan seniman “ kiri”, terutama di masa
awal revolusi rusia . revolusi Bolshevik di rusia, dalam sejarahnya- baik
langsung maupun tidak langsung- telah memberi banyak dorongan terhadap
tumbuhnya aliran seni macam ini. Pada titik inilah kemudian lahir apa yang
disebut “ realisme sosialis” dalam wacana seni dan kebudayaan sebagai alat perjuangan
kelas.
Klaim
realisme sosialis ini secara sederhana bisa dikatakan mendasarkan diri pada
teori dialektika Marx, di mana realitas diletakkan sebagai esensi dari hal-hal
yang tampak ( materi). Dalam tradisi rusia, realisme sosialis sebagai aliran estetis
dilembagakan keberadaannya menjadi semacam ideologi atau paham yang dianut oleh
sastrawan atau seniman. Namun dalam pandangan george Lukacs, seorang filsuf dan
kritikus sastra Hungaria yang sempat tinggal di Moskow, secara kritis realisme
sosialis Rusia sesungguhnya tidak sepenuhnya didasarkan pada dialektika
materealisme yang menjadi prinsip pengetahuan sejarah Marx. Realisme sosialis
Rusia, menurutnya, lebih cenderung menjadi gerakan seni di mana penempatan
metode artistik ditinjau melulu dalam kaitannya dengan kepentingan partai (
dalam hal ini partai komunis yang berkuasa)
Hal ini
berkaitan erat dengan reaksi birokratik Rusia di masa Stalin yang dengan
kekuasaan totaliternya telah menindas kreasi artistik. Seni telah dibelenggu
menjadi sekadar jalan untuk mengangungkan dan menciptakan mitologi bagi
keberlangsungan partai, dengan cara berlindung di balik topeng gerakan realisme
sosialis, yang- kembali menurut Lukacs- memiliki makna berbeda sama sekali.
Lucaks
sendiri berpendapat bahwa realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni
yang berdasarkan kontemplasi dialektis antara seniman dengan lingkungan
sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempat berada.
Hakikat dari realisme sosialis ini sunguh-sungguh menempatkan seni sebagai
wahana keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing ( teralienasi, dalam
istilah Marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki
kebebasan.
Langganan:
Postingan (Atom)
-
Sinopsis cerpen “Catatan Seorang Pelacur“ bercerita tentang refleksi panjang seorang wanita penghibur bernama Neng Sum tentang kehidu...
-
Cerpen "Jalur-jalur Membenam", setelah saya baca, sangat menyentuh. Jalan ceritanya mengalir dengan dialog-dialog yang begitu men...
-
Rumah kami letaknya tiga rumah dari jalan besar. Kebanyakan rumah di kompleks itu berlantai dua dan memiliki cat tembok yang berbeda-beda. ...