Anjing Yang Malang

Tidak jelas mana namanya yang benar. Naldo memanggil Saikar, Cristo memanggil Blacky, Lee memanggil Pilot, Bob memanggil PINTER. Dan setiap kali ia dipanggil dengan nama beda-beda itu, ia selalu datang dengan manjanya.   Aneh benar. Kalau saya jadi dia, sumpah takan pernah saya indahkan panggilan mereka. Bagaimana jadinya kalau mereka serentak memanggil? Tapi dia, akan datang dengan manjanya mencium kaki atau tangan siapa saja yang memanggilnya dengan nama yang beda-beda itu. Baru sehari ia di rumah, ia telah jadi anak kesayangan dan teman bermain di saat pikiran sedang kacau. Ia lantas jadi teman yang baik bagi kami.
Oh! Perlu kuceritakan soal kemunculannya yang mengibahkan hati itu. Waktu itu tengah malam, hujan lebat baru redah, hanya menyisahkan rintik-rintik yang jatuh manja di seng rumah. sambil menunggu siaran pertandingan sepakbola di televisi, kami main karu di teras. Saat itu ia datang mengendus-ngendus di tengah gelap malam. Tubuhnya basah kuyup. Ia gementar kedinginan. Wajahnya menampakan wajah mengibah. Matanya sayu. Kami baru menyadari kehadirannya ketika ia mencium dan menjilati kaki Naldo. Naldo waktu itu lagi serius menyusun kartu, langsung loncat kaget. Perwujudannya yang menyedihkan itu membuat kami jadi iba padanya. Lantas Naldo memandikannya di tengah malam itu, mengeringkan bulu-bulunya dan memberikan makan dengan lauk ikan. Kemudian ia tertudur dengan lelap di bawah kain hangat milik Naldo. Entah dari mana datangnya, di tengah malam gulita itu.
Keesokan harinya, suasana rumah jadi ramai. Ia bangun pagi sekali. Berlari-lari mengintari halaman rumah. lonceng kecil di lehernya berdenting-denting seiring gerakan kaki dan kepalanya. Ketika semua orang bangun, muncullah nama-nama itu. Saikar, Blacky, Pilot, PINTER. Berganti-gantian mereka memanggil. Ia melompat-lompat kegirangan mendapat rumah sebegini ramah dan ramainya. Seandainya di tempat lain, mungkin nyawanya sudah tiada.
Hari-hari pun berlalu sebagaimana mestinya. Kami semakin sayang padanya. Dia semakin manja pada kami. Bahkan manjanya sudah menjadi-jadi. Bikin bangkrut lebih tepatnya. Badannya kian gemuk dan geraknya kian lamban. Ia tiga kali makan sehari, dan tidak mau makan jika bukan paha seekor ayam. Bayangkan tuannya makan dengan tahu atau tempe, dia makan dengan paha ayam. Kalau tidak diberi makan, ia selalu menampakkan wajah yang mengibahkan hati. Kadang Naldo yang memberi makan, kadang Cristo kadang Bob, kadang pula saya. Lama-lama kami juga jadi tak pedulu. Kadang kami melampiaskan kekesalan dengan memukulnya, menendang atau menghukum dengan mengikatnya pada pohon di halaman, sehingga membuatnya meraung sepanjang hari. Hanya Naldo yang sangat peduli. Memberinya makan, memandikan dan mengajak jalan-jalan. Yang lain sudah hilang rasa sayangnya.
Akhir-akhir ini, ketika akhir tahun sebentar lagi tiba. Beredar sudah rencana-rencana dari mulut kemulut yang bikin pro dan kontra.
         “Tutup tahun adalah waktu yang tepat untuknya,” ujar Cristo.
         “Sebaiknya kita mencari menu tutup tahun yang lain,” Naldo meyarankan.
         “Kita jarang mendapat menu macam begini, di akhir tahun,” tambah Bob.
          “Tidak! Tidak ada B1 untuk tutup tahun!” ujar Naldo keras.
        “Sudahlah, lagian dia bikin bangkrut saja,” tambah Lee
        “Ya Tuhan mengapa sekarang orang cepat kehilangan rasa sayang tidak pada manusia tidak juga juga pada hewan,” ujar Naldo.

Aku melihat di halaman. Ia melompat-lompat kegirangan. Berlari-larian mengintari halaman. Kadang datang pada kami yang sedang main kartu menjilat-jilat ujung kaki kami. Ia sama sekali tidak tahu bahwa akhir tahun ini adalah akhir dari hidupnya yang ceria dan penuh kegembiraan itu. Anjing yang malang.


                                                                                       *Taman Jamur, USD di siang hari yang panas!

Sempurnah, Hutang, Warnah, Hisap

Beberapa minggu yang lalu, di Grup Facebook Sumba Barat Daya, saya menemukan sebuah postingan yang menarik untuk diteliti. Postingan tersebut ditulis oleh saudara Phasa Joshua. Isi postingan: Ia mempertanyakan gejala kebahasaan dalam dialog keseharian orang Sumba yang sering menamba bunyi [h] di awal atau di akhir sebuah kata. Misalnya, sempurnah, hutang, warnah, himbau, hisap dan sebagainya.
Fenomena kebahasaan seperti yang disebut Phasa Joshua di atas disebut interferensi bahasa. Interferensi bahasa merupakan salah satu bentuk penyimpangan kaidah kebahasaan. Interferensi bahasa terjadi salah satunya karena seseorang menguasai lebih dari satu bahasa, akibatnya ketika berbicara bahasa Indonesia seseorang sering terpengaruh oleh bahasa daerah, misalnya.  
Menurut pendapat Chaer (1998: 159) interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Peristiwa interferensi merupakan penyimpangan dalam penggunaan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain, juga penggunaan klausa dari bahasa lain dalam suatu kalimat.

Hal yang sama juga sering dijumpai dalam masyarakat Jawa, kata-kata  “nyeberang, nyimpen, ngatur, nunggu” sering saya dengar. Kata dasar seberang, simpan, atur, dan tunggu mendapat awalan N- bahasa Jawa. Bahasa Jawa memiliki 4 alomorf n-, m-, ng-, dan ny-. Jadi ketika berbicara, orang Jawa sering terpengaruh oleh bahasa daerahnya atau melakukan interferensi, dalam kasus bahasa Jawa tadi disebut interferensi morfologis, karena ada penambahan afiks N- bahasa Jawa pada kata dasar bahasa Indonesia.
Merujuk pada contoh di atas, kata-kata: Sempurnah, hutang, warnah, himbau, hisap menurut saya, juga merupakan bentuk interferensi bahasa khususnya interferensi fonologi. Kata dasar sempurna, utang, dan warna mendapat penambahan fonem [h]. Hanya saja apakah interferensi tersebut terjadi karena pengaruh bahasa daerah (misalnya bahasa Wejewa, Loura, Kodi dsb)? Lantaran sebagaian masyarakat Sumba rata-rata menguasai beberapa bahasa daerah karena kawin mawin. Perlu dicatat bahwa interferensi itu terjadi pada penutur yang bilingual atau menguasai lebih dari satu bahasa.
Menurut saya, perlu ada penelitian yg mendalam soal morfologi dan fonologi (dan unsur kebahasaan lainya) bahasa-bahasa daerah di Sumba. Selama ini belum ada. Ini penting sebagai bentuk pelestarian budaya khususnya bahasa daerah agar tidak sampai hilang!

Ketika Malam Semakin Larut

“Bunuh dia! Jangan biarkan dia hidup!" Teriak mereka. 

Orang-orang kampung ramai-ramai berlarian menuju pohon beringin di ujung kampung. Ada yang bawa golok, kayu besar, batu, diiringi makian-makian kasar. 
“Pencuri itu tertangkap,” kata mereka.
 “Pencuri yang mana?” Tanya yang lain. 
“Itu yang sering mencuri ayam, babi, kambing kita.”
“Bunuh dia, jangan biarkan dia hidup,” teriak mereka lagi- ramai-ramai. 
Di bawah pohon beringin itu tempatnya. Orang kampung ramai-ramai tua- muda, perempuan- laki-laki dengan golok, kayu, dengan tangan, kaki, menendang, memukul, diiring kata-kata kotor dan makian-makian pada laki-laki itu dengan kejam. Mereka tak peduli. Mereka telah termakan amarah. Mereka terus memukul, memotong, menendang laki-laki itu. Hingga amarah mereka telah redah, mereka meninggalkan dia begitu saja sambil melontarkan sumpah serapah. 
“Mati kau pencuri sialan, mampus kau!”
            Laki-laki itu tak bisa buat apa-apa. Ia babak belur. Darah keluar dari mana-mana. Mengucur deras. Darah keluar dari telinganya, darah keluar dari matanya, hidungnya, mulutnya, dari luka-luka yang menganga lebar di sepajang tubuhnya. Kakinya patah, jari-jari tangannya terlepas. Darah mengalir deras. Melumat debu-debu di bawah pohon beringin itu. Bau amis meruap dari sana. Untung mereka tak membunuh jiwanya, mereka tak mencabut nafasnya. Ia merintih kesakitan. 

             Matanya yang berlumuran darah itu menatap ke atas. Dengan tenaga tersisa ia meminta, “Air, air, air, beri aku air.....!!" Guntur menggelegar, kilat melepaskan cahayanya, awan hitam menyelimuti perkampungan itu. Semakin lama semakin hitam. Laki-laki itu terus merintih “Air, air! beri aku air.....!!" 

        Saat itu dari balik awan hitam hujan turun dengan deras. Laki-laki itu berhenti merintih. Ia membuka mulutnya lebar-lebar. Air hujan meluncur masuk dengan derasnya ke dalam mulutnya, mengalir melalui tenggorokan, masuk ke paru-paru, jantung, ke pembulu- pembulu darah, ke dalam kepalanya mengalirkan kekuatan. Hujan semakin deras membasahi tubuhnya, luka-lukanya, air itu menarik darah-darah di luar masuk kembali ke dalam tubuhnya. Luka-lukanya tertutup rapat, tangannya tersambung kembali, kakinya kuat kembali. Di tengah derasnya hujan, gemuruh guntur dan pancaran kilat. Dari bawah pohon beringin itu. Laki-laki itu berdiri kembali dengan kuatnya, melihat kesana-kemari, tubuhnya basah kuyup. Tak ada lagi darah, tak ada lagi luka. Ia meraih karung putih berisi beras dan ubi hasil curianya dan menghilang di tengah derasnya hujan melewati semak-semak, hutan-hutan, kampung-kampung di tengah hujan lebat.
**
Melewati tiga perkampungan di tepi hutan pada rumah rewot beratap alang. Wanita itu terus merayu anaknya yang terus merintih, 
“Bu, lapar saya mau makan,” rintihnya. 
“Ia nanti Papa pulang ya, baru makan, Papa bawa makanan enak , ada daging ayam, ikan, daging kambing, ada pisang, apel, nangka, ade mau yang mana?”
  “Daging ayam saja, enak Ma,” 
"Makanya ade jangan menagis, biar Papa kasih daging ayam,” katanya merayu agar anaknya tak menangis terus.
Dalam hatinya ia tak tega menipu anaknya yang masih kecil itu, mau bagaimana lagi begitulah caranya dari pada ia terus menangis? Padahal pada kenyataanya hidup tak lagi enak dijalani. Beras tak ada, uang tak ada. Ia mau bekerja tak ada tempat kerja. Lagi pula ia hanya tamat SD, mana ada yang mau menerimanya bekerja. Tanah di pinggir hutan ini tak lagi subur. Musim kemarau yang berkepanjangan, hujan tak turun membuat tanahnya menjadi kerdil. Jagung yang ia tanam minggu lalu kini telah terbakar oleh panas matahari. Sedangkan sisah panen tahun lalu telah habis. Makanan menta dari hasil hutan tak lagi sebaik dulu. Truk-truk besar sering masuk keluar hutan membawa berkubik-kubik kayu. Setiap malam terdengar raungan mesin pemotong kayu. Hutan-hutan telah ditebang orang-orang desa untuk dijual. Berharap dari kerja suaminya yang ia sendiri tak tau apa pekerjaannya. Pulang pagi hari atau bahkan berhari-hari dengan membawa beras dan uang secukupnya. Kalau tidak tak akan ada apa-apa. Hah, kini masa depan semakin susah untuk ditatap dengan kepala tegak. Semuanya begitu sulit.
         “ Ma, lapar!" 
         “Tenang sebentar lagi bapak pulang.”
          Di tengah hujan lebat terdengar bunyi pintu di ketuk. Ia cepat bangun dan membuka pintu. Suaminya masuk dengan tubuh basah kuyup, nafas terengah-engah,  matanya memerah. Ia cepat-cepat menutup pintunya kembali.
        “Ada apa Pa?"
       “Tak ada apa-apa, saya cuma kedinginan.”
Ia menyerahkan karung berisi beras pada istrinya.
       “Cepat masak, saya sudah lapar.”
       “Pa, Papa dari mana? Mana ikannya Pa, ada daging ayam?” Tanya anaknya.
Ia tidak menjawab. Ia mengganti bajunya dengan baju yang kering. Membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur dari bambu. Ia menutup mata. Masih terbayang olehnya orang-orang desa itu. Memotongnya.....ah....
            Tiga bulan sudah berlalu. Orang desa yang merasa sudah membunuh pencuri itu kini merasa resah lagi. Dua minggu lalu, rumah kepala desa dimasuki pencuri. Semua perhiasan dan barang-barang lain dibawa kabur. Setelah peristiwa itu berturut-turut beberapa rumah di desa itu dimasuki pencuri. orang-orang desa mulai berembuk. Jaga malam diperketat. Orang-orang kampung kini mulai tidur tidak terlalu nyenyak dari biasanya. Lemari-lemari dikunci rapat-rapat. Ada pencuri misterius.

Satu minggu kemudian.

         “Bunuh dia! Jangan biarkan dia hidup!"  Teriak mereka.

       Orang-orang kampung ramai-ramai berlarian menuju pohon beringin di ujung kampung. Ada yang bawa golok, kayu besar, batu. Diiringi makian-makian kasar. 
        “Pencuri itu tertangkap,” kata mereka. 
       “Pencuri yang mana?” tanya yang lain. 
     “Itu yang sering mencuri ayam, babi, kambing kita,”
     “Bunuh dia, jangan biarkan dia hidup,” teriak mereka lagi- ramai-ramai. 
       Di bawah pohon beringin itu tempatnya. Orang kampung ramai-ramai tua- muda, perempuan- laki-laki dengan golok, kayu, dengan tangan, kaki, menendang, memukul, memotong diiring dengan kata-kata kotor dan makian-makian pada laki-laki itu dengan kejam. Mereka tak peduli. Mereka telah termakan amarah. Mereka terus memukul, memotong, menendang laki-laki itu. Hingga amarah mereka telah redah, mereka meninggalkan dia begitu saja sambil melontarkan sumpah serapah. 
         “Mati kau pencuri sialan, mampus kau!”
          Laki-laki itu tak bisa buat apa-apa. Ia babak belur. Darah keluar dari mana-mana. Mengucur deras. Darah keluar dari telinganya, darah keluar dari matanya, hidungnya, mulutnya, dari luka-luka yang menganga lebar di sepajang tubuhnya. Kakinya patah, jari-jari tangannya terlepas. Darah mengalir deras. Melumat debu-debu di bawah pohon beringin itu. Bau amis terpancar dari sana. Untung mereka tak membunuh jiwanya, mereka tak mencabut nafasnya. Ia merintih kesakitan. Matanya yang berlumuran darah itu menatap ke atas. Dengan tenaga tersisa ia meminta, “Air, air, air, beri aku air.....!!"

         Semua orang menunggu dia. Menunggu kapan nafasnya berhenti. Seseorang berteriak dari kerumunan itu. 
“Beri dia air!" 
           Seorang wanita datang dengan seember air dan menyiram laki-laki itu keseluruh tubuhnya dan menuangkan barang segelas ke dalam mulutnya. Semua orang menunggu reaksinya.
             Air meluncur masuk dengan derasnya ke dalam mulutnya mengalir melalui kerongkongan, masuk ke paru-paru, jantung, ke pembulu- pembulu darah, usus, ke dalam kepalanya mengalirkan kekuatan. Air itu menarik darah-darah di luar masuk kembali ke dalam tubuhnya. Luka-lukanya tertutup rapat, tangannya tersambung kembali. Kedua kakinya kuat kembali. Serasa ada tenaga baru dalam tubuhnya. Ia cepat-cepat bangun.
        Sebelum sempat melangkahkan kaki. Orang-orang kampung dengan sigap menangkap dia. Dengan kayu, parang, tangan, kaki. Memukul dia, memotong kakinya, tanganya dan memisahkan dari tubuhnya. 
“Dia kobala....dia kobala!" Teriak orang kampung ramai-ramai.
 “Jangan beri dia air, jangan beri dia air!" Teriak mereka lagi.
*****
Melewati tiga perkampungan di tepi hutan pada rumah rewot beratap alang. Wanita itu terus merayu anaknya yang terus merintih,
 “Bu, lapar saya mau makan,” rintihnya.
 “Ia nanti Papa pulang ya, baru makan, Papa bawa makanan enak, ada daging ayam, ikan, kambing, ada pisang, apel, nangka ade mau yang mana?” 
 “Daging ayam saja, enak Ma.”

malam semakin larut. Suaminya belum juga pulang. Rintihan anaknya kian memilukan hati. 

Sumba, 23 mei 2009
Ket: Kobala: Bahasa Wejewa; Sumba: Kebal

BUTUH “ DARAH SEGAR” LURUSKAN REFORMASI


*Refleksi 15 Tahun Reformasi
*Liputan ini Dimuat di SwaraKampus kedaulatan Rakyat Edisi 126 selasa 21 mei    2013
Peliput: ( Galuh/ halek/ ari/ bony)

15 tahun sudah massa reformasi di Indonesia berjalan (mei 1998-2013). Namun tuntutan reformasi yang diperjuangkan saat itu, hingga kini belum terwujud.

. “Berakhirnya kekuasaan Soeharto yang otoriter diganti dengan sistem demokrasi liberal, nyatanya tidak membawa perubahan nyata di berbagai bidang, demokrasi yang diinginkan tidak berjalan, bahkan mengalami kegagalan,” tegas Endy Haryono, Dosen Pasca Sarjana Fisipol UGM, dalam diskusi “Refleksi 15 Tahun Reformasi” di ruang diskusi Suara Kampus pekan lalu.
Menurutnya, lima tuntutan utama reformasi yakni mengakhiri kekuasaan Soeharto yang otoriter dan diganti dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal, pemberantasan KKN, pembatasan jabatan Presiden, pencabutan dwi fungsi ABRI, dan perubahan ekonomi, tidak semuanya terwujud.
Mantan Jurnalis ini menambahkan, solusi dari persoalan reformasi yang gagal ini adalah, pertama memperkuat demokrasi, melakukan reformasi birokrasi yang intinya mensejahterakan rakyat, dan melakukan kontrol  terhadap pemerintahan lewat LSM dan Media Massa. Menurutnya, dibutuhkan generasi baru yang masih segar untuk meluruskan amanah reformasi.
Sedangkan mantan aktivis, Drs. Untoro hariadi Msi, menilai reformasi yang dicanangkan mengalami kegagalan. Kegagalan itu terjadi di segala bidang. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun rezim orde baru telah runtuh, mentalitas orde baru masih ada dan berkembang dalam diri bangsa Indonesia.
Menurutnya, mahasiswa sebagai garda depan reformasi mestinya membangun formasi gerakan yang jelas dan mendasar, berfondasikan image society; gerakan perpaduan antara rakyat dengan mahasiswa. Karena menurutnya, setelah lengsernya Soeharto, tidak ada perubahan yang jelas, mahasiswa tidak menyiapkan strategi bagaimana membangun demokrasi yang diinginkan.
“Peristiwa 1998 sangat sulit diulang. Mahasiswa zaman sekarang semakin lemah, sudah dininabobokan oleh sistem, melihat situasi Indonesia saat ini, seharusnya mahasiswa membangun gerakan yang jelas dan mendasar,”  ungkap Gilang Hermansyah ketua HMI cabang Yogyakarta, yang hadir dalam diskusi itu.
Menurut Satur Mahasiswa Fakultas Hukum UIN, reformasi tahun 1998 terjadi karena adanya tekanan nyata. Zaman sekarang tekanan itu juga ada, namun mahasiswa keenakan oleh zaman. Hal senada juga diungkapakan oleh Ikati, mahasiswa UNY, pada saat ini kondisi Indonesia tak jauh beda dengan massa Orde Baru, bahkan semakin parah. Mahasiswa yang memiliki idealisme, yang benar memikirkan nasib bangsa tidak terlihat lagi. Salyana menambahkan, bahwa ia kecewa dengan sistem pemerintahan saat ini yang tidak membawa perubahan signifikan di berbagai bidang kehidupan rakyat.
            Meski ada anggapan mahasiswa sekarang lembek, tidak seperti kondisi pra reformasi, tetapi menurut Ichen Diprapta, aktivis Front Mahasiswa Nasional ( FMN), kemajuan sebuah bangsa tetap tidak lepas dari peran mahasiswa. Kontribusi mahasiswa sangat dibutuhkan dalam setiap perubahan dalam masyarakat di sebuah negara. Pemerintah akan selalu dikontrol dan diawasi dalam setiap kebijakannya.
            Gerakan mahasiswa yang mengedepankan intelektual, konseptual dan moral, jelas mahasiswa jurusan ilmu Pemerintahan APMD  ini, diharapkan memberikan dampak positif bagi perubahan dan perbaikan bangsa. Namun ia mengakui, beberapa tahun terakhir ini mahasiswa sudah kehilangan “ jiwa” sebagai penggerak peradaban.
            Banyak mahasiswa yang sudah meninggalkan kebesaran indetitas kemahasiswaan mereka. Mahasiswa lebih cenderung berpikir pragmatis dan individualitas. Selain itu, pihak kampus juga seakan mengekang mahasiswa untuk bergerak. Mahasiswa lebih mengutamakan aktivitas yang berkaitan dengan akademis dibandingkan terjun langsung sebagai aktivis.
           
picture by google
Bagi pengamat sosial, Drs G Sukadi, reformasi masih belum berhasil karena ganjalan kekuatan anti reformasi yang luar biasa. Reformasi sendiri memiliki dua tujuan utama, yaitu menciptakan pemerintahan yang bersih dan kesejahteraan rakyat. “Kita harus paham dulu apa makna kata reformasi. Reformasi dapat dilihat dari dua sisi, yaitu rohnya dan pejuangnya. Jika dilihat berdasarkan pejuangnya, komponen utama reformasi adalah mahasiswa. Tetapi, dilihat berdasarkan rohnya, reformasi memiliki makna semangat pembaharuan.”
            Menurutnya, jika dilihat dari segi pejuangnya, pejuang reformasi saat ini seakan-akan hilang. Mahasiswa yang dulu begitu vokal menyuarakan reformasi sekarang hilang. Jadi sulit untuk sekarang ini menemukan pejuang reformasi. Kalau reformasinya dilihat dari segi rohnya, roh reformasi itu tetap ada dan melekat pada diri rakyat Indonesia sampai sekarang. Hasrat reformasi untuk kehidupan berbangsa itu tetap ada. Hanya saja pejuangnya bukan mahasiswa, melainkan KPK.
            Ia mengibaratkan bangsa Indonesia ini seperti sebuah danau yang airnya sudah sangat keruh. Penuh dengan kotoran, sampah, batu-batu asal dilemparkan, dan terus-terus mendapat masukan dari sungai yang keruh pula. Waktu reformasi ada, muncul mata air yang jernih dari mahasiswa, tetapi air jernih itu tetap kalah dengan air telaga yang kotor.
            Sekarang mata air yang jernih itu kembali muncul, yaitu dengan adanya KPK dan media massa “Mahasiswa itu dipengaruhi oleh lembaga, maka dosen dan perguruan tinggi harus peduli secara nyata akan kehidupan rakyat dan bangsa. Dengan kepedulian yang nyata, tentu akan melahirkan konsep pembinaan yang tidak mengesampingkan kehidupan rakyat dan kehidupan politis,” ungkap Sukadi.
            Sukadi menambahkan, sekarang ini peranan mahasiswa untuk menyerukan reformasi sangat kurang. Mereka cenderung diam dan disibukkan dengan tugas-tugas kuliah. Kurangnya anspirasi mahasiswa dalam menyerukan perubahan bagi bangsa tentu diakibatkan oleh banyak faktor. Salah satu faktornya dapat dilihat dari peranan perguruan tinggi.
            “Perguruan tinggi saat ini mandul. Mengapa mandul? Karena di satu sisi perguruan tinggi itu bagus. Perguruan tinggi sibuk mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan karakternya. Perguruan tinggi banyak mengadakan penelitian  dan didanai oleh pemerintah yang disebut hibah. Dosen dan mahasiswa dibebani oleh birokratis akademis. Itu bagus, tetapi perguruan tinggi dibuai dan dimanja dengan aneka dana,” jelasnya.
           
picture by google
Hal tersebut mengakibatkan perguruan tinggi lupa dan tidak sempat memikirkan reformasi karena mereka terlalu sibuk memikirkan penelitian dan di sisi lain kebutuhan mereka terpenuhi dengan aneka dana dari pemerintah. Selain itu, perguruan tinggi kurang mengarahkan roh reformasi kepada para mahasiswa.
            Permasalahan di Indonesia ini, katanya sudah sangat banyak, dan untuk mengubahnya tentu sangat dibutuhkan usaha yang cukup keras. “Akan tetapi, kita harus terus tetap berjuang di tengah kesulitan-kesulitan yang kita hadapi sekarang.”
            “Mahasiswa itu dipengaruhi oleh lembaga, maka dosen dan perguruan tinggi harus peduli secara nyata akan kehidupan rakyat dan bangsa. Dengan kepedulian yang nyata, tentu akan melahirkan konsep pembinaan yang tidak mengesampingkan kehidupan rakyat dan kehidupan politis,” ungkapnya.