Politik Pencitraan



Di negeri kita saat ini sedang tenar-tenarnya apa yang disebut “ politik pencitraan”. Di sini para politisi melakukan berbagai cara agar citranya dimasyarakat baik. Jadi citra tersebut dibangun bukan dari prestasi politiknya tetapi dengan menonjolkan hal-hal baik, berbuat hal-hal baik di depan rakyat. Salah satu media yang gencar digunakan adalah media elektronik. Seperti yang kita ketahui bersama, akhir-akhir ini media-media elektronik sering mengundang politisi-politisi dari berbagai latar partai sebagai narasumber dalam menanggapi suatu persoalan yang sedang hangat di negeri ini. Tentu ini menjadi kesempatan baik, dan tidak terlewatkan. 
Seperti yang diungkapkan Salah satu ahli propoganda NAZI, Goebbels, ia  mengajak berbohong sebanyak-banyaknya agar menjadi kebenaran, demikian halnya dengan politisi tanah air kita, tampil sebanyak-bayaknya di layar kaca, berbicara baik-baik, mengumbar janji-janji suci agar dipilih saat pemilihan umum nantinya.
Hal ini sangat jelas terlihat jika kita menyaksikan diaog-dialog, debat, narasumber dari kalangan politisi di stasiun televisi tanah air. Mulai dari pakaian, cara bicara, komentar-komentarnya menunjukkan dengan jelas mereka sedang bersandiwara dan meningkatkan citra mereka di masyarakat. Saat tampil di layar kaca, mereka selalu pakai batik biar dibilang cinta budaya Indonesia padahal sebenarnya tidak. Komentar-komentar mereka tak segan-segan menolak kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakat, padahal banyak kebijakan-kebijakan mereka tidak dijalankan, mereka selalu menolak korupsi, padahal mereka mendukung dengan melindungi para koruptor.
Layar kaca sangat sempit, gampang dimanipulasi sedemikian rupa, agar segala yang baik-baik ditampilkan sedangkan yang buruk-buruk dihilangkan oleh editornya. Fenomena seperti ini sangat memuakkan banyak orang, popularitas pemimpin kita dibangun bukan karena peranannya mengangkat peri hidup warga negaranya, atau kinerja politiknya. Tetapi berdasarkan image di layar kaca. Politikus seperti ini perlu dipertanyakan kualitas dan integritasnya.
Saya kira, rakyat Indonesia saat ini sudah  cerdas dalam melihat berbagai peristiwa di negeri ini, jadi sangat lucu dan sia-sia lah wahai politisi, menghias diri dengan topeng kebaikan, menyusun kata-kata indah di depan layar kaca tapi kenyataannya berbanding terbalik.  

Malaikat Penjaga


Menjelang sore di kota Yogyakarta, hujan baru saja berhenti menyisahkan gemericik butir-butir air dari genteng rumah. segelas kopi panas menemaniku menunggu senja. seteguk kopi mengantar saya pada banyak peristiwa hidup yang telah saya alami. kebahagian, kesedihan, keterpurukan, putus asa, namun saya dapat bangkit dan maju menantang hidup ini. sampai saat ini saya sadar, bahwa kebangkitan dari keterpurukan tak lepas dari sesuatu yang tidak saya ketahui. sesuatu itu, selalu melindungi, menuntun, menjaga sampai benar-benar tegak berdiri di bumi ini. saya sadar, dia adalah:
Malaikat Penjaga
                    Ia ada di sini sejak kita masih jadi labirin kecil di tengah dunia
                    Berdiri di samping jiwa bunda, menggenggam erat masa depan kita
                    Saat kita mencium bumi dengan daging dan jiwa yang bersih
                    Ia berdiri tepat dihadapan kita, 
                    meletakkan seonggak masa depan di telapak tangan
                    memberkati dan memercikkan air kehidupan
Kau tahu!
Ia masih di sini, mengikuti kemanapun kita pergi
Memayungi jiwa dengan payung keabadian, menjaga, menuntun sampai senja
Ia masih di sini, sampai kita berdiri tegak pada akar-akar di bumi
Sampai senja, sampai kita jadi labirin
Ia masih di sini…
Malaikat penjaga hadir dalam diri orang tua, adik, kakak, sahabat-sahabat kita, kenalan, Orang-orang disekitar kita. jangan pernah menyakiti mereka. karena mereka adalah malaikatmu.

LIRA


picture from google

Berita baru ini sungguh sangat menggemparkan seisi desa, bahkan berita ini sampai ke seantro negeri ini. Bak mukjisat yang dibawa malaikat-malaikat dari balik langit setelah melihat umat manusiaNya terpuruk lalu melemparkan secuap harapan ke bumi. Kabarnya Lira anak janda tua berumah reyot di tepi desa itu memiliki batu ajaib. Kononya batu itu jatuh tepat di telapak tangan Lira saat ia menangis tersedu-sedu meratapi ibunya yang sakit di tengah malam gelap. Saat ia menengadah ke langit meminta doa, tiba-tiba batu yang berbinar-binar itu jatuh di telapak tangannya.
Bentuknya seperti batu kali, kecil dan berwarna hitam. Jika dicelupkan ke dalam air dan air bekas celupan itu diminum, maka yang meminum air itu akan terbebas dari segala penyakit yang menggerogotinya. Memang benar adanya. Ibu Lira yang menderita penyakit itu kini tampak segar bugar. Tentu ini mukjizat. Mendadak rumah janda tua itu jadi ramai. Berbondong-bondong orang datang. Orang yang sebelumnya tak pernah kami lihat. Orang-orang miskin dari anak-anak sampai yang tua-tua dan  yang kaya dari anak-anak sampai yang tua-tua datang ingin melihat dan melaksanakan ritual penyembuhan dengan batu ajaib ini. Bermacam-macam penyakit yang ingin disembuhkan, ada yang kanker, tumor, TBC, penyakit kulit dan banyak lagi. Mendadak rumah-rumah sakit jadi sepi pasien. Wartawan-wartawan surat kabar dan teve datang memotret, mewawancarai Lira dan ibunya. Lira sekarang jadi terkenal. Nama dan wajahnya menghiasi Koran-koran dan teve negeri mengalahkan berita para pesohor negeri dan berita-berita pemerintah yang korup. Biayanya? Tidak seberapa. Di samping tempat duduk lira ada sebuah kardus, tak dituntut berapa yang diberikan. Tapi yang pasti kardus itu terisi. Dan memang selalu terisi penuh.
Berita ini sampai juga di keluarga kami. Sudah hampir setahun ayah menderita kanker paru-paru stadium empat. Dan sangat mengerikan memang. Sudah dilakukan banyak hal. Berobat ke Singapura. Uang habis. Sampai kami hampir jatuh miskin. Tetap saja penyakit itu sudah menjalar dalam sistem jaringan tubuh ayah. Dan kata dokter lagi. Tipis harapan. Tapi kami mau ayah bisa terus ada bersama keluarga kami. Kami sangat mencintai dia. Tentu saja berita itu menjadi angin segar di tengah kekalutan kami. Setelah melalui kesepakatan keluarga akhirnya ayah juga harus melaksanakan ritual itu.
Pagi-pagi sekali kami sekeluarga sudah ada di barisan depan dari orang-orang yang ikut antrian. Muncullah Lira di tengah pagi buta itu. Duduk dengan gagahnya dan mulai melaksanakan ritualnya. Seperti biasanya kardus itu ada di sampingnya dan masih kosong. Ayah adalah orang pertama. Aku menyodorkan gelas berisi air kepada Lira. Ia mencelupkan batu ajaib itu dan memberikan pada ayah untuk diminum.
Setelah ritual itu selesai. Mujizat terjadi. Ayah jadi bersemangat lagi. Ia bisa bergerak. Berjalan. Bercanda dengan cucu-cucunya. Seluruh keluarga jadi gembira dan bahagia. Kami merayakan hari yang penuh bahagia ini dengan pesta besar. Tetangga-tetangga diundang, sahabat-sahabat datang menyaksikan mukjisat yang terjadi. Bahkan beberapa wartawan juga ikut hadir. Tentu yang paling istimewa adalah Lira. Ia adalah tamu paling istimewa. Ia dilayani dengan sangat-sangat istimewa. Ia menjadi malaikat bagi keluarga kami. Ia telah mengembalikan harapan yang hampir pudar. Perayaan ini berlangsung hikmat dan meriah.
Tiba-tiba di sela acara yang meriah itu. Ayah yang duduk di kursi roda itu. Menggeram kesakitan. Matanya memerah. Ia jatuh dan berguling-guling di lantai. Semua orang kalang kabut. Apa gerangan terjadi? Semua keluarga berkumpul mengelilingi ayah. Tangisan tak tertahan memenuhi ruangan pesta. Tubuh ayah terus mengejang detak jantung melemah. Dokter dipanggil tapi tak bisa buat apa-apa. Tangisan makin menjadi-jadi. Detak jantung ayah semakin melemah.  Lira…lira…panggil lira…!!.
Lira tak juga muncul batang hidungnya.

Andaluri


Picture from Alumni SMA Andaluri FB Page
Sekolah ini berdiri 50 tahun yang lalu di kota kecil Waingapu. Dibangun oleh misionaris-misionaris asal Jerman. Hingga saat ini bangunannya masih kuat dan kokoh berdiri. Berbentuk leter U. Jika hendak masuk ke Andaluri. Dari pintu gerbang depan jalan MT. Haryono. Kau akan dapati tanah lapang luas dengan dua pohon waru berdiri di depan gedung itu. Di samping pintu gerbang berdiri dengan megah papan nama SMA Katolik Andaluri. Jika musim kemarau lapangan itu akan terlihat kering, jika musim hujan kau akan dapati miniatur padang savana di sana. Hijau dan indah di pandang mata. Di sisi kanan tanah lapang itu, berdiri gereja katolik sang penebus. Dari tanah lapang itu, kau akan melihat pintu masuk ukuran besar seperti pintu selamat datang, langsung menghadap aula sekolah, di temboknya tertulis SMAK ANDALURI 20-10-1959. Motif-motif kain sumba timur menghiasi sudut-sudut tembok. 

         Aula itu cukup luas, sering dipakai untuk acara-acara sekolah, tapi tak pernah cukup untuk seluruh anak Andaluri, lantainya terbuat dari jubin-jubin berwarnah merah tua. Di sisi kiri Aula terdapat dua ruangan. Yang satu berukuran sekita 4x4 m dan yang satunya lagi sangat luas dan memanjang ke barat. Ruang kecil itu, di depan pintunya tertulis ruang kepala sekolah dan ruang yang luas itu tertulis ruang guru. Di ruang kepala sekolah, terdapat sebuah lemari besar berisi arsip-arsip sekolah, ada satu meja kaca, dan dua kuris sofa motif batik. Di atas meja kaca ada miniatur rumah adat sumba hasil kerajinan tangan siswa. Di samping lemari, ada meja besar, di atasnya penuh buku-buku dan kertas. Ya. Inilah meja kerja kepala sekolah. Dan ruangan ini sekalian sebagai tempat menerima tamu dan mengurus masalah anak-anak. Ruang guru, penuh dengan meja-meja kecil, berisi buku-buku para guru. Temboknya berwarnah kuning dan ada lukisan-lukisan motif kain sumba timur. Di sisi kanan ruang guru ada ruang tata usaha, luas dan banyak kertas bertumpukan di sana. Di sisi kiri ada ruang sekretaris dan bendahara, ruanganya nya tak luas, cukup untuk sebuah meja, lemari dan sebuah kursi.

         Kembali lagi ke aula, di sisi kanan aula ada papan pengumuman dan mading sekolah yang hampir jarang di isi tulisan oleh siswa. Di sisi kanan dan kiri ada lorong panjang. Yang sebelah kiri menuju kantin sekolah yang selalu ramai oleh siswa-siswi. Lorong sebelah kanan menuju kelas belakang sekolah.

        Warna Kuning dan merah adalah warna khasnya. Ada sekita sepuluh kelas di sana. Lantainya dari semen. Jendelanya dari kaca nako. Di depan kelas, ada taman bunga yang ditumbuhi berbagai macam jenis bunga. Di tengah gedung ada lapangan bulu tangkis, jarang dipakai untuk bermain bulu tangkis. Sering dipakai untuk menghukup anak-anak yang terlambat dan nakal. Saat ada porseni atau pertandingan antara sekolah barulah lapangan ini berfungsi sebagaimana mestinya. Di sudut timur gedung ada ruang perpustakaan, ada empat lemari di sana, berisi buku-buku tua, jarang terlihat buku-buku baru. Ada beberapa meja dan kursi plastik di sana. Di sebelah barat gedung, ada WC sekolah, bau pesingnya jelas sekali tercium dari jauh. Memang sering dibersihkan oleh siswa, tapi sering pula dikotori dengan cara yang buruk. WC sekolah bahkan sering jadi tempat nongkrong jika istirahat. Di sebelah barat lagi ada gedung laboratorium IPA. Laboratorium ini tak dirawat dengan baik, terlihat kotor dan beberapa tahun terakhir dijadikan kelas XII bahasa. 

        Memang sekolah ini tak seperti sekolah-sekolah lain seperti sekolah negeri yang diperhatikan oleh pemerintah dan didukung oleh fasilitas yang lengkap. sebagai sekolah swasta yang harus berjuang sendiri, dan dilihat sebelah mata oleh pemerintah, sekolah ini tetap berdiri kokoh, kualitas dan totalitas guru-guru adalah kunci kesuksesan dalam melahirkan putra-putri bangsa yang berprestasi.

        Bangunan tua ini boleh dikatakan, telah menjadi tonggok sejarah perkembangan pendidikan di pulau ini. Berjuta-juta anak negeri marapu menempuh pendidikan di sekolah ini, dari ujung melolo sampai ujung kodi telah mencatat namanya di sekolah ini. dan hingga kini mereka telah jadi orang-orang besar. Bapak bupati dan wakilnya tamatan sekolah ini. Masih banyak lagi. Entah jadi apa, yang jelas mereka telah membawa pelajaran berharga dalam menempuh hidup. Dan jika mereka yang telah besar-besar itu menceritakan kembali kisah perjuangan mereka saat menempuh pendidikan di sekolah ini, kami anak-anak yang baru seumur jagung ini, serasa tersentuh dan terbakar semangat.
Ya. Andaluri memang selalu begitu. Selalu menghasilkan manusia yang berkualitas. Hingga di masa modern ini, Andaluri tetap Andaluri.  Ia tetap berdiri tegak menentang arus zaman yang kian keras.

ANALISIS FEMINISME CERPEN “CATATAN SEORANG PELACUR” KARYA PUTU ARYA TIRTHAWIRYA

Sinopsis
cerpen “Catatan Seorang Pelacur“ bercerita tentang refleksi panjang seorang wanita penghibur bernama Neng Sum tentang kehidupan yang ia jalani saat itu. Refleksi panjang tersebut ia curahkan dalam buku hariannya yang menjadi teman setianya menjalani hari-hari yang penuh tantangan.menurutnya buku harian adalah tempat mencurahkan segala hal yang bersifat pribadi, suatu rahasia yang dapat meringankan beban jiwa.
Persoalan cinta adalah persoalan yang pertama terlintas di benaknya. Di dalam kamar kosong, di depan buku hariannya, bagi dirinya yang telah terlanjur bergelimang lumpur, maka cinta ( dalam arti suami-istri) adalah omong kosong. Ia pernah menikah namun kembali ditengah masyarakat yang begitu membenci dan mengutuki pelacuran, para lelaki merasa janggal, aneh, melihat kehadirannya di tengah kehidupan mereka yang sopan.
Malam itu, lelaki terakhir yang ia layani adalah mantan tetangganya. Seorang lelaki yang tidak menjaga kesetiaannya, ia mencari kenikmatan di luar lantaran istrinya belum mau punya anak lagi. Ia tak dapat membayangkan seandainya saat itu istrinya memergokinya.
picture by google
Terlintas di benaknya lagi penghidupan yang hitam dihadapanya, tanpa batas waktu kapan akan berakhir. Ia hidup sebatang kara, meskipun ia masih punya keluarga, tetapi mereka malu dan menganggap kehadirannya ditengah mereka adalah sebuah angka nol. Saat ini ia berpikir bahwa hidup selanjutnya betul-betul berada di tangan sendiri. Apakah mau dihancurkan atau membinanya.
Dalam keterpurukannya itu ia juga sadar, ia tidak mau seperti Aisah yang menghamburkan uang demi cinta palsu setiap lelaki. Setelah beberapa hari kembali lagi menjadi seorang pelacur. Ia juga tak mau seperti Emi yang menghamburkan uang dengan makan makanan mewah, minum minuman keras, mabok. Setelah itu ia kembali menjadi pelacur dan merati hidupnya.
Neng Sum berusaha menghindari kehidupan seperti Aisah dan Emi tersebut. Ia berencana setelah mengumpulkan uang secukupnya ia akan mengucapkan slamat tinggal pada penghidupan yang memalukan ini. Dengan uang tersebut ia akan berusaha berdagang dan dalam pada itu untuk sementara menutup pintu bagi cinta yang bersifat spekulasi.

PENDAHULUAN
Sejak gerakan feminisme dimulai beberapa abad yang lalu persoalan akan kesetaraan gender tiada habis-habisnya. Di sisi lain orang ramai-ramai memperjuangkan persamaan hak dan perlakuan diskriminasi terhadap perempuan, namun di sisi lain pula penindasan dan diskriminasi masih terus terjadi.
Feminisme itu sendiri berasal dari kata Feminism (Inggris) yang berarti gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria (Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan Ketiga) Pengertian feminisme juga dikemukakan oleh Kutha Ratna dalam buku yang , berjudul “Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra” mendefinisikan feminisme secara etimologis berasal dari kata femme (woman), yang berarti perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas social.
Perjuangan feminisme tersebut dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya lewat karya sastra. Dalam karya sastra membicarakan feminisme berarti membicarakan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam perspektif gender. Dalam makalah ini penulis hendak menganalisa cerpen berjudul “ catatan seorang pelacur” dengan kajian feminisme sastra.

PEMBAHASAN
 Analisis dalam kajian feminisme hendaknya mampu mengungkap aspek ketertindasan wanita atas diri pria (Kutha Ratna: 2007). Teori sastra feminis juga melihat bagaimana nilai-nilai budaya yang dianut suatu mayarakat, suatu kebudayaan, yang menempatkan perempuan pada kedudukan tertentu serta melihat bagaimana nilai-nilai tersebut mempengaruhi hubungan antara perempuan dalam tingkat psikologis dan budaya. 
Dalam cerpen “Catatan Seorang Pelacur” tergambar dengan jelas bagaimana kehidupan seorang pelacur benama Ning Sum yang terasing dari kehidupan yang baik-baik. Dalam cerpen tersebut Ning Sum menggambarkan bahwa wanita sebenarnya hanya obyek seks semata laki-laki.
“ Mereka telah kehilangan tubuhku yang sebetulnya dapat mereka jadikan mangsa yang nikmat waktu napsunya mengubah mereka menjadi drakula atau seekor kucing kelaparan yang dimatanya aku adalah seekor tikus betina”
Suatu kenyataan pula bahwa laki-laki tidak pernah bisa menjaga kesetiaannya baik-baik. Mereka hanya berpura-pura setia. 
“Pak, kan sudah punya istri yang masih muda lagi cantik,” gurauku menyambutnya.
“Tapi dia belum ingin punya anak lagi,” jawabannya dengan senyuman yang membungkus kehausan dan mata seekor vampir sewaktu aku melepaskan pakaian dan dia mencegahku setengah mati ketika aku pura-pura memadamkan lampu.
Kehidupan yang ia jalani sebelumnya memang sungguh menyakitkan baginya. Ketika ia sudah melepaskan diri dari pekerjaan yang hina itu, menikah dan mencoba hidup baik-baik, ia mendapati kehidupan yang jauh dari bayangannya, setelah ia hidup di tengah masyarakat yang sangat membenci dan mengutuki pelacuran. Bahkan keluarganya pun menganggap kehadirannya adalah angka nol bahkan keluarganya bersyukur jika ia tidak muncul lagi di mata mereka.
            Hal ini menggabarkan bahwa nilai-nilai budaya yang dianut suatu masyarakat menempatkan wanita pada posisi tertindas dan terasing dari kehidupan. Hal ini berlaku umum di masyarakat kita, profesi semacam pelacur dianggap sebagai profesi yang kotor dan penuh dosa, tanpa disadari bahwa terkadang banyak wanita yang menjadi pelacur lantaran penghidupan yang susah dan berat.
            Dari cerpen tersebut, suatu hal positif dapat diambil dari sikap tokoh Neng Sum yang begitu tegar menghadapi kehidupannya saat itu.  Ia tidak mau seperti Aisah dan Emi yang hancur hidupnya karena cinta buta para lelaki. Sebagai wanita yang tegar ia memiliki rencana hidup, yaitu keluar dari kehidupan yang dicap kotor ini dan memulai hidup baik-baik. Dan satu hal lagi, ia akan menutup diri dari cinta bersifat spekulatif.
            Lewat cerpen ini, Putu Arya Tirthawirya ingin menyampaikan bahwa perempuan seperti Neng Sum yang dicap kotor di tengah masyarakat perlu dihormati dan dihargai. Mereka juga menjalani kehidupan semacam itu bukan karena apa-apa tetapi karena persoalan hidup yang menghimpit. Sebenarnya juga, wanita-wanita malam yang berseliweran dan menjadi mangsa laki-laki juga memiliki impian hidup baik-baik dan normal seperti yang lainnya.

PENUTUP
Persoalan feminisme memang tiada habisnya. Bahkan mungkin akan terus berlanjut. Namun perjuangan feminisme juga tidak pernah berhenti. Termasuk juga lewat karya sastra. Lewat karya sastra banyak pesan yang disampaikan terkait persoalan feminisme, seperti dalam cerpen catatan seorang pelacur. Perempuan hendaknya bebas dari diskriminasi hak dalam kehidupan tak peduli apapun profesi yang dijalaninya. Jangan karena ia seorang pelacur lalu kita mengucilkannya dari kehidupan.


DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional. 1995.  Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan Kedua, Jakarta: Balai Pustaka
Hardjana, Andre.1985. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Gramedia. Jakarta
Hoerip, Satyagraha, Editor. 1986. Cerita Pendek Indonesia IV. Gramedia. Jakarta
Kutha Ratna, Nyoman. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta : Pustaka