Pertama kali dimuat di harian "Pikiran Rakyat" 1 Maret 2015
Sepanjang waktu-waktu menyedihkan ini, yang dapat saya lakukan hanya menulis kembali
kisah ini berulang-ulang. Kau tahu, ini seperti memasuki suatu tempat bernama
masa lalu yang penuh dengan jalan dan lorong yang berliku-liku dan simpang siur.
Di setiap sisi jalan berdiri skrin yang memutar kisah-kisah yang hanya dapat
membuatmu tersenyum bahagia dan menangis menyedihkan. Kau tahu, pekerjaan ini
amat menyiksa jiwa. Bagaimanapun, saya harus menuliskannya agar mereka dapat
percaya.
Baiklah,
akan saya ceritakan. Udara siang itu amat panas. Angin yang berhembus amat
sedikit. Saya membuka kaca jendela dan membiarkan pintu kamar terbuka. Udara
yang amat sedikit itu tak bisa masuk, sebab tepat di halaman depan kamar kos, tumbuh
pohon rambutan berdahan rendah, berdaun lebat menutupi arah embusan angin. Hawa
panas menguasai segala. Yang saya rasakan saat itu adalah rasa lapar yang
mengerikan, ulu hati pedis, tenggorokan kering, dan kepala pening. Keadaan itu
membuat tubuh saya gemetaran sepanjang siang itu. Saya membaringkan tubuh di
atas kasur tipis dalam upaya menikmati keadaan mengerikan itu. Mata saya
tiba-tiba kabur, tertutup dengan sendiri. Saya berusaha membuka dengan paksa.
Setiap kali upaya itu saya lakukan, saraf di sekitar mata tertarik dan perih di
seluruh kepala. Serangan lain datang, saya tak dapat menggerakan tubuh saya
seperti mereka tak dapat menjalankan pesan otak.
Tiba-tiba
saja saya sudah berada di sebuah taman yang abadi di ingatan. Di bangku taman
warna hitam mengkilap oleh cat minyak, saya menemukan Monika. Ia tampak masih
seperti dulu. Rambut panjangnya masih dibiarkan terurai diterpa angin, masih
membaca novel serius, dan masih minum kopi. Ia selalu tampak cantik di mata
saya. Ia perempuan terbaik yang pernah saya kenal. Anehnya, saat itu, air
mukanya muram. Ada air mata yang tertahan di sudut matanya, dan ia memesan dua
gelas kopi.
Monika
tiba-tiba bangun, mendekap erat buku tebal itu seperti mendekap seseorang
dengan perasaan sayang yang sempurna, meninggalkan taman itu dengan langkah
rapuh. Jalan di depan taman itu amat sibuk. Ia hendak menyeberang ke sisi lain
jalan. Pandangannya lurus dan kosong. Ia tak memperhatikan kendaraan yang
datang dari kiri dan kanannya dan begitu saja menyeberang. Dari arah kiri,
meluncur mobil hitam dengan kecepatan tinggi. Saya tahu apa yang akan terjadi.
Saya meneriakinya berkali-kali tetapi ia tidak menoleh. Saya ingin berlari ke
arahnya tetapi sebuah dinding tak kasatmata menghantam kening saya. Dalam
ketakutan dan kepanikan yang mengerikan, saya melihat mobil itu menghantam
tubuh Monika hingga terhempas jauh. Kepalanya membentur aspal dan darah segar mengalir
membasahi aspal. Saya berteriak, meraung-raung, dan berusaha mendekat, tetapi
sia-sia. Mobil itu menepi dan keluar dua orang lelaki muda yang amat saya
kenal: Bob dan Andre.
Saat
saya membalik badan, mata saya terbuka. Sebuah gagasan tiba-tiba terbit di
kepala saya; mereka telah membunuh Monika. Saya berdiri dengan amarah yang tak
tertangguhkan lagi dan perasaan kehilangan yang menyerang, meraih pisau di atas
meja belajar. Di teras kos, terdengar suara tawa Bob dan Andre. Mereka terkejut
ketika saya muncul dengan wajah yang aneh dan sebuah pisau di tangan.
“Bangsat
pembunuh! Kalian telah membunuh Monika!”
Saya
mengamuk, mengayunkan pisau ke arah Bob dan Andre. Mereka dengan sigap
menghindar. Saya terus mengejar mereka, hingga pada satu kesempatan saya
mendapat Andre dan menancapkan pisau ke rusuk kirinya. Saya meninggalkannya
meringgis kesakitan dan mengejar Bob sambil berteriak “Pembunuh! Pembunuh!
Bangsat!”. Saya tak mendapat Bob sebab segerombolan polisi datang, memberikan
setrum listrik di leher, dan saya tak sadarkan diri.
Hari
itu, saya dibawa ke sebuah ruangan oleh dua petugas berbadan kekar dalam keadaan
setengah sadar. Mereka membaringkan saya di tempat tidur. Seorang berpakaian
putih-putih menyuntikan cairan di lengan saya. Sayup-sayup terdengar ketukan
sol sepatu yang teratur di lantai. Kemudian terdengar gagang pintu diputar, dorongan
pada pintu yang amat pelan, dan bunyi pintu ditutup dengan kasar. Seorang
lelaki tua, beruban seluruhnya, berkaca mata, mengenakan kemeja putih panjang
sampai lutut, melangkah menenteng tas
dan duduk pada kursi di samping meja. Dengan gerakan teratur, ia membuka tas,
mengambil sebuah map, membukanya, memperbaiki posisi kacamata dan mulai
membaca.
Saya
tak mengerti mengapa saya dibawa ke sini, dalam ruangan tanpa jendela, tak
berdaya di atas tempat tidur. Saya ingat, saya telah melakukan hal yang benar. Bob
dan Andre pantas mendapatkannya.
“Mengapa
saya dibawa ke sini?” Tanya saya lemah tak ada daya.
Lelaki
tua itu berdeham sebentar, memperbaiki posisi duduknya, kemudian berbicara tanpa
memperdulikan pertanyaan saya. Ia mengatakan bahwa mereka telah menyuntik
cairan vitamin ke dalam tubuh saya. Dengan senyum, ia mengatakan bahwa saat ini
saya terlihat lebih segar dan tampak lebih baik. Saya amat meragukan ucapannya sebab
ketika bergerak, sendi-sendi saya terasa perih, kepala saya terasa pening, dan
rasa lapar tak tertangguhkan. Saya merasa tidak begitu baik saat itu. Ia
menanyakan apa yang saya rasakan saat itu? Saya tak menjawab pertanyaannya.
Diam menatap kosong tembok ruangan.
Saya
tak tahu jam berapa saat itu. Entah malam, entah siang, saya tak tahu. Tak ada sesuatu
hal yang bisa dijadikan pedoman. Tak ada jam dinding dalam ruangan itu. lelaki
tua itu menggeser nampan aluminium sebagai isyarat agar saya segera makan. Nasi,
sayur, dan sepotong ayam yang sudah dingin. Tanpa peduli padanya, saya melahap
makanan itu, minum air, kemudian duduk di tempat tidur. Beberapa saat, kami
diam.
“Boleh
saya tahu siapa Monika?” mulai lelaki tua itu.
Sesungguhnya
saya tak ingin berbicara dengannya sebelum ia menjawab pertanyaan saya. Namun,
pertanyaan soal Monika menggugah hati saya.
Dahulu,
saya telah berjanji untuk tidak memikirkan Monika lagi, tidak mengingat
kenangan bahagia bersamanya. Memikirkannya seperti upaya bunuh diri secara
perlahan. Amat menyakitkan. Saya mengenal Monika 10 tahun lalu. Kami satu
jurusan. Ia masih anak desa yang tak pandai berdandan. Saya menyukai rambutnya
yang dibiarkan terurai diterpa angin, kulit putih bercahaya, dan matanya
bersinar seperti bintang kejora. Ia suka melepas senyum indahnya kepada siapa
saja. Giginya rapi dan putih. Jika tertawa, ia selalu menutup mulutnya dan
terdengarlah tawa kikik yang menggemaskan. Monika adalah kecantikan alami terbaik yang pernah saya
temui.
Monika
berkembang dengan sangat cepat, dari perempuan desa jadi perempuan modern
dengan wawasan luas. Namun, ia tetap saja perempuan sederhana dan rendah hati. Rasanya
aneh sekali saat dia lebih memilih saya dari pada lelaki lain yang lebih tampan
dan mapan. Saat itu, hidup saya benar-benar sedang dalam perjalanan menuju
kehancuran. Saya masih juga sebagai anak muda yang belum menemukan jati diri,
terjebak dalam arus minuman keras, dan kemalasan yang akut. Saya tak punya
rencana untuk hari-hari depan. Monika datang sebagai malaikat dalam hidup saya
dan malaikat rasanya tak pantas berada di sisi lelaki pemabuk. Kesadaran itulah
yang membuat saya banyak berubah.
Hari-hari
bersamanya amat berkesan. Tiap hari kami selalu mampir
ke Taman Kota, duduk di bangku hitam berkilau yang berhadapan dengan Jalan
Sudirman. Kami membeli segelas kopi panas untuk kami berdua. Kami bercerita
banyak hal, membaca banyak buku, mendengar banyak lagu di sana, sekali-sekali
mengerjakan tugas di sana atau kadang jika kami bosan, kami akan menghitung mobil yang lalu lalang di jalan. Singkatnya, kami
pacaran selama tiga tahun. Setelah itu, ia pergi meninggalkan saya untuk
selamanya dalam sebuah kecelakaan di Jalan Sudirman.
Saya menangis sesenggukan di atas tempat
tidur. Lelaki tua itu batuk pelan. “Turut berduka cita,” ucapnya.
“Saat itu, hubungan kami sedang
renggang, saya pergi naik gunung, dan ketika kembali, kabar pemakamannya sampai
ke telinga saya. Saya tak melihat wajahnya untuk terakhir kalinya.”
Lelaki tua itu membiarkan saya menangis,
mencabik-cabik bantal, dan memukul-mukul tembok ruangan. Ia membiarkan saya
sampai benar-benar tenang.
“Bisakah
anda ceritakan yang sebenarnya? mengapa saya diperlakukan seperti ini?” Tanya
saya.
“Baiklah,” ucapnya sambil memperbaiki posisi
duduknya. “Berat mengatakannya, jujur saja, anda menyerang dua teman kos anda
dengan pisau dengan tuduhan yang tak beralasan; membunuh Monika,” ucapnya
tiba-tiba, mengangetkan.
Amarah
saya bangkit ketika ia menyebut soal Monika. Saya merasa ia tak punya rasa
empati sedikit pun. Saya berdiri dan menghardiknya.
“Bob
dan Andre lah yang menabrak Monika, saya melihat dengan mata kepala saya
sendiri!”
“Mereka
sama sekali tak mengenal Monika. Mereka tak tahu peristiwa yang terjadi pada
Monika.”
Amarah
memuncak, saya menendang meja. “Lalu, siapakah anda ini tak punya rasa empati
dan mencoba membela pembunuh?” teriak saya sambil memukul meja. “Berapa yang
anda dapat dari mereka?”
Dua
petugas bertubuh kekar dan seorang perempuan perawat masuk. Mereka menangkap
saya. Perempuan perawat itu menyuntikkan sesuatu ke lengan saya. Tubuh saya
mendadak lemas dan rasa kantuk menyerang. Saya tak sadarkan diri.
Pada
akhirnya, saya tahu, suatu kali, barangkali ia lupa membawanya, barangkali juga
disengaja. Sebuah map hijau di atas meja berisi deskripsi yang mengagetkan dan
tak bisa saya terima tentang saya. Saya didiagnosis mengidap depresi berat
karena tak kuat menghadapi kenyataan hidup dan sering diserang halusinasi
terhadap kekasih saya yang sudah meninggal. Saya memiliki hubungan yang buruk
dengan orang tua, ibu kos, dan teman-teman di sekitar saya, hingga pada
peristiwa penyerangan terhadap Bob dan Andre dengan tuduhan membunuh Monika.
Penjelasan terhadap setiap poin masih panjang. Saya tak kuasa membacanya. Saya
tak dapat menerima semua itu. Amarah saya bangkit. Saya meraung, berteriak
keras, membanting kursi, dan merobek-robek map merah itu. Empat petugas
berbadan kekar datang menangkap saya dan perempuan perawat itu menusuk jarum ke
lengan saya. Badan saya jadi lemas dan rasa kantuk menyerang.
Kau
tahu, selama bertahun-tahun, saya telah berusaha agar dapat bertahan. Pada satu
waktu berhasil, tetapi di lain waktu usaha itu sia-sia. Seringkali saya
terjebak oleh peristiwa bahagia dari masa lalu yang tak disadari telah
mendorong saya semakin jauh pada labirin-labirin berliku di masa lalu. Satu
lorong saya masuki dan skrin yang tertempel di dinding lorong menayangkan kisah
menyedihkan dan bahagia bersama Monika, saat saya berusaha keluar, saya sadari
telah berada di lorong yang lain dengan wajah ayah dan ibu yang muram. Begitu
seterusnya. Masa depan tampak kabur di mata saya dan amat sulit dibayangkan.
Saya seringkali menangis sepanjang hari, berteriak-teriak kacau, memukul-mukul
meja sampai petugas itu datang menusuk jarum ke lengan saya. Badan saya jadi
lemas dan rasa kantuk menyerang.
Baciro 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar