Pagi yang Mati

Oleh: Crispian Bombo

Kawan
Aku menemukanmu dalam hujan kemarin
Ketika ilalang di atap rumah
sedang bermandi bau bumi

Lagi kudapatimu sedang makan buah kopi
dalam cangkir kecil tempat kita pernah  mengaduk mimpi

Terakhir
kamu telah hampir menyantap setiap bersamaku
pagi-pagi yang mati. 


*dikutip dari buku kumpulan  Puisi Crispian Bombo Balada Pemikul Sangkakala (LPM Terompong, 2014) hal 65

. . .



Lantas aku bersila di tepian hari
Memandangi semburat senja untuk terakhir kali
mengingatmu untuk kesekian kali

Adakah kau dalam kilau lembayung senja?

Tamasya malam buta
Rembulan beringsut menjauh
Bintang redup dan mati
kelepak muram burung malam

Aku merindukan pagi, embun
dan senyum meresapi rerumputan

-          Biciro, 24 Oktober 2014

Hari Libur


Untuk mendapat potret terbaik,

Mereka mesti melintasi kampung sunyi dan lengang, ladang-ladang kering merana,hutan yang cemas akan masa depannya, atap rumah membusuk, dinding reyot, bale-bale lapuk, kandang kosong dan kanak-kanak bertelanjang kaki, berwajah tirus, dan bermata sayu, yang menyeret sejarah kemiskinannya di halaman tanpa taman, yang menekan hasratnya dalam perut serupa balon. Perempuan yang mengabadikan sejarah leluhurnya pada kain-kain tenun, dan lelaki perkasa mengais hidup dari balik tanah kering.

untuk menghormati perasaan, potret diambil dan  iba datang, menguap di belakang punggung sedetik setelah mereka berlalu. 

Padang sabana hijau, air terjun, atap kampung wisata, menggeram dalam diam, tertekan jadi obyek. Tak bersedia hanya sekedar dipuja. Ketakutan, membayangkan tahun-tahun yang akan datang. 
Potret terbaik diambil dan disebar ke mana-mana. Hari kerja tiba. Sore hari, mereka duduk-duduk di teras dengan segelas kopi, tersenyum untuk puja-puji potret terbaik. Sedangkan, jauh di sana kesedihan ditelan malam lengang dan musim kejam.

-Baciro, September 2015

Akhir Bulan #1



Jauh di sana, di persimpangan jalan, tugu Jogja berkilauan dalam layar digital iklan parawisata. Cahayanya berhamburan, berkelebat di jalanan, tubuh-tubuh kendaraan, wajah manusia, dan tembok-tembok rumah, seiring bergantinya iklan. Saat tugu Jogja muncul di layar, perasaan Martin campur aduk. Ia seperti melihat sebuah riwayat panjang nan menyedihkan dirinya, Leo, Pat dan Jony di kota istimewa itu, menempel di seluruh tubuh tugu Jogja. Bus berderu dan ban mulai berputar malas melindas aspal. Martin mengusap kaca di depannya dan mendekatkan matanya. Ia melambaikan tangannya pada Luis dan bus pun membawanya pergi. 

“Saya akan kembali, Luis! Untuk menuntaskan semua yang tertinggal,” ucapnya pada Luis sebelum pergi.
***

Ini akhir bulan Agustus yang menyedihkan. Martin terbangun siang itu oleh dengung jalanan yang dibawa angin sepoi-sepoi musim kemarau dan hawa panas yang berdiam dalam kamar,  meresap ke seluruh tubuhnya. Segera bulir-bulir seperti biji kacang hijau menyembul di permukaan kulit legamnya dan membuat seluruh tubuhnya kuyup. Ia merasa ada yang menyalakan api di dalam rongga-rongga dadanya. Lorong kos yang memanjang ke timur tampak lengang. Aroma busuk bangkit dari rak-rak sepatu, ember-ember pakaian kotor, piring dan gelas kotor depan kamar, dan bau arsol dari botol-botol aqua bekas di tempat sampah. 

Ia duduk di kursi rotan depan kamar yang mulai rombeng di beberapa bagian, memandangi halaman yang berkilau oleh sinar matahari, pagar tembok bercat hijau, daun-daun pohon pisang yang melambai-lambai ditiup angin, dan kubah Masjid di kejauhan sana yang memantulkan berkas-berkas sinar. Rasa kesal yang merasukinya sejak malam tadi dan masih berdiam dalam dadanya kini menunjukkan muka lagi. Ia tak dapat mengelak apalagi setelah menyadari keadaannya yang begitu menyedihkan. 9bet, Parlay, handicap, Permainan Angka, Poker, semuanya memenuhi kepalanya. Lima juta, gumamnya dengan rasa pasrah yang menyedihkan. Seharusnya saya hentikan saja permainan itu atau menurunkan jumlah taruhan, pikirnya. Bukan tak mungkin siang ini saya duduk malas di sini dengan perut terisih penuh, dengan gaya seorang raja menuntaskan batang demi batang Malboro. Membeli untuk bajingan pemabuk itu berbotol-botol arsol dan tentu saja tunggakan uang kos akan selesai dan utang di warung dapat dimulai lagi bulan depan.

            Khayalan-khayalan itu membuatnya kian jengkel. Luis yang tiba-tiba muncul dari gerbang, melintas begitu saja setelah melihat rupa wajah seperti sedang berpikir keras tetapi menyiratkan sesuatu yang amat menakutkan. Luis dan anak-anak lain paham benar wajah itu apalagi kala geraham-gerahamnya bergemeretak seperti orang kedinginan. Menegurnya adalah pekerjaan sia-sia sebab ia akan membisu dan tentu saja membuatnya kian kesal. Sering Luis ini kena maki gara-gara tindakan sopan yang terlalu berlebihan tanpa membaca situasi pada senior-senior macam Martin ini. 

Rasa kesal dan jengkelnya itu kemudian mereda dengan sendirinya saat mulai merasakan perih yang amat sangat di perutnya. Untuk menanggapi permintaan yang tak dapat ditolak, ia mulai berpikir bagaimana caranya agar ia bisa makan siang itu; kegiatan yang selalu ia lakukan seminggu terakhir ini. Ia sadar uang bulanannya sudah habis. Butuh tindakan layaknya depkolektor  untuk meminta uang pada orang tua di tengah bulan begini dan itu takan mungkin baginya sebab caci maki dari seberang sana akan membuat nyalinya ciut. Ayahnya sejenis binatang buas yang mengerikan. 

Luis pasti akan masak, pikirnya. Tetapi keinginan untuk ke kamar Luis ia urungkan. Ia sadar masih punya utang seratus ribu pada Luis. Anak itu terlalu baik untuk diancam, pikirnya. Ia selalu merasa iba melihat Luis selalu kena palak dari Pat dan Jony. Lalu, ia mulai mengingat-ingat tak ada benar barang-barang berharga di dalam kamar yang bisa ia ‘sekolahkan’. Handphone Nokia, Komputer, televisi sudah masuk ‘sekolah’ dan ia selalu benci mengingat bahwa uang sekolah mereka tersendat-sendat. 

Ia berdiri dan melangkah gontai menuju kran air dekat WC. Air keran yang dingin itu menyegarkan kulit wajahnya dan merambat ke dalam kepala. Sayup-sayup terdengar suara Bu Rini, ibu kos, yang wataknya telah ditempa sedemikian rupa oleh anak-anak kos, membuat watak jawanya itu mengerus perlahan-lahan. Menyadari ancaman yang lebih mengerikan dari rasa lapar, ia bergegas dengan berjingkrak-jingkrak, menghilang lewat pintu gerbang kecil di sisi lain bangunan yang langsung berhadapan dengan jalan utama.  Ia lintasi jalan yang ramai itu, masuk ke gang Brajamusti. Udara panas dan sinar mentari menerobos rambut ombak yang awut-awutan. Ia mendengar seseorang memanggil namanya dan yakin seratus persen suara itu bukan milik Bu Rini sebab ia teramat mengenal suaranya. Ia lantas menghentikan langkahnya dan menoleh mencari asal suara itu. Tiba-tiba saja Novi, teman kelas matakuliah Berbicara 2, muncul di depan gang.

“Kamu tidak boleh menolak,” katanya. “Kami sudah mendapatkan datanya dan mewawancarai beberapa mahasiswa. Kamu tahu maksud saya?”

“Ya, tugas Berbicara 2 toh?”

“Kamu harus mempresentasikan hasilnya nanti. Jangan bercanda. Ini serius.”

“Kenapa harus saya?”

“Kamu bisa protes kalau kamu hadir di pertemuan kelompok tadi.”

Novi acuh tak acuh menyodorkan beberapa lembar kertas kemudian berbalik meninggalkannya tanpa menunggu reaksinya. Ia membaca sepintas isi kertas itu; hasil wawancara perihal pendapat mahasiswa terhadap pelayanan sekretariat Prodi, berikut kesimpulan dari hasil wawancara. Gampang, katanya dalam hati, cuma maju dan baca saja.

Ia kemudian berbelok ke kiri. 100 meter dari situ ada kos-kosan laki-laki yang bunyi musiknya menggetarkan daerah sekitar. Beberapa motor diparkir sembarangan, sandal-sendal dan sepatu berhamburan di pintu masuk. Kamar nomor 5 terbuka dan ia mendapati Pat duduk seperti pengemis yang berseliweran di lampu merah jalan Solo, menghadap sepiring nasi tanpa lauk. Wajah tirusnya itu amat menyedihkan. Dengan isyarat gerakan mata ia mengajak Martin makan. Dorongan bawah sadar membuat Martin duduk dan segera mengisi piringnya. Pat duduk bersila menghadap Risecooker mini warna putih dan setumpuk garam dalam piring plastik. Ia mengisi sendoknya dan memasukkan ke dalam mulut dengan gerakan cepat seperti tentara hendak menghadapi perang, memamahnya sepersekian detik dan bulir-bulir nasi yang tak sempurna dimamah itu menerobos saluran makanan yang kering. Pat selesai duluan, minum air, dan duduk bersandar di tembok. Matanya menerawang kosong. 

Martin makan seperti anggota keluarga kerajaan. Gerakannya teratur. Ia jadi teringat Leo, gagasannya yang tiba-tiba itu sungguh aneh. ‘maksimalkan imajinasi’ katanya. Leo selalu makan nasi tanpa lauk dengan muka ceria dan kadang-kadang sambil bernyanyi kecil. Usai makan ia akan bilang, tidak ada yang dapat menandingi kenikmatan sate kuda laut. Kadang Martin berpikir Leo sudah gila. Ia pernah mencobanya sekali dan sama sekali tak ada efeknya. Rasanya tetap saja hambar. Tetapi dalam keadaan begini nasi dan garam adalah makanan paling mewah. Sekali-sekali pakai Mie instan dan itu sungguh mewah.

Martin telah selesai makan gaya kerajaannya dan minum air. Beberapa saat mereka tak saling bicara dan tak ada rencana untuk mulai. Masing-masih entah; menghayati kekenyangannya saat itu atau menghayalkan kekenyangan yang lain. Tetapi tampaknya Pat tidak kedua-duanya dan Martin menghayalkan kekenyangan yang lain, yang benar-benar mewakili kepuasan atau kelegahan yang sempurna. Kepala Pat sibuk mencari jalan keluar untuk SPP semester genap ini. Sesungguhnya, jatah SPP sudah di kirim tetapi dengan keyakinan yang tak masuk akal bahwa uang itu dapat digandakan, ia mentransfer seluruhnya ke rekening nyonya ‘Veronika’ dan dalam satu malam habis dalam permainan-permainan keberuntungan;Judi bola, permainan angka, poker. Kalau sudah begitu, setan pun takan peduli. Martin berada di jalur yang sama tetapi, ia berpikir seandainya mereka tak menaikan taruhan, perjamuan yang sempurna itu akan dimulai di warung makan padang.

Martin terlalu yakin dengan Pat. Begitupun Leo dan Jony. Bukan saja soal judi tetapi juga dalam berbagai hal. Sialnya, ia menyadarinya setelah semuanya terjadi. Apa yang dilakukan Pat seringkali beresiko. Ia tak terlalu memikirkan jika semuanya baik-baik saja. Jika gagal, ia akan memikirkan terus menerus dan selalu membuatnya jengkel dan marah. Ia tak bisa menumpahkan amarahnya pada Pat. Kalau Leo dan Jony, ia bisa memaki mereka tujuh keturunan tetapi Pat adalah pengecualian.

Ia menatap Pat yang saat itu mulai berbaring dan menatap langit-langit kamar. Pat lebih tua dua tahun dari Martin. Tubuhnya kurus, kulitnya putih, dan rambutnya berombak. Garis wajahnya selalu tampak serius dan seolah-seolah ia seorang pemikir ulung. Orang seringkali terkecoh oleh penampilannya. Beberapa orang menunjukkan sikap sopan dan segan padanya, panggilan ‘abang’ di depan namanya sering terdengar. Beberapa yang lain menyangsikan status senior pada dirinya meskipun tetap memanggilnya abang. Penampilannya sungguh mengkhianati kenyataannya. Semua orang tahu ia tukang menyalakan kompor yang baik dan setelah itu membiarkan anak-anak lain menggoreng. Meski lebih tua dari Martin dan Leo, Pat selalu menunjukkan sikap seperti seumuran dengan Martin dan Leo meskipun kadang-kadang juga ia menggunakan senioritasnya untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Pat kuliah jurusan Kesehatan Masyarakat dan tak ada tanda-tanda akan menyelesaikan kuliah. Ia bilang, teorinya sudah selesai tinggal skripsi. Tiap kali ada yang bertanya, bab berapa sekarang ‘abang’ ? ia akan menjawab dengan ketakpedulian yang sempurna ‘bablas kawan’. Lama-lama mereka yang suka bertanya dengan satu tujuan agar ia termotivasi menjadi bosan dan berpikir apa ia tak punya jawaban lain?
“Saya mau jual itu motor, kalau ada temanmu yang mau beli motor, bilang saja,” kata Pat tiba-tiba dengan suara berat.

“Oke. Kau lepas berapa?”

“5 atau 6 jutaan.”

“Satria Fu second sekarang 8 atau 10 juta, terlalu murah itu. ”

Mereka diam lagi. Pat tak menanggapi seolah-olah meminta Martin memahami keadaannya. 

“Saya sudah terlambat,” kata Martin tiba-tiba. Nada suaranya sama sekali tak menunjukkan rasa panik karena keterlambatan. Datar dan biasa saja. Ia lantas menghilang dari pintu. Terdengar suara keras berlari mengikuti kakinya.

“Kalau ada yang minat, nanti saya beritahu kau!”

Berlari cepat dalam hitungan detik. Suasana kebali seperti semula. Beku.

Pat masih tidur-tiduran bolak-balik badan ke sana kemari. Spon juga ikut bergeser ke sana kemari. Tubuhnya mulai mengeluarkan keringat dan ia merasakan kepalanya berdenyut seperti seseorang sedang menancap jarum dalam kepalanya.

Kini, Martin tergesa-gesa mengenakan celana panjang Calvin Klein imitasi dan kaos polo warna hijau lumut, berlari menuju keran, membasuh mukanya dan membasahi rambutnya kemudian membasahi celana imitasi itu agar terlihat lebih cerah. Ia masuk lagi ke kamar, melap wajah dan rambutnya dengan anduk biru dengan warna coklat abu-abu bertebaran seperti pulau. Ia raih tasnya dan lari seperti dikejar sepasukan tentara abat pertengahan. Keringat mulai membasahi kaos polonya. Ia melintasi parkiran, menghindari mahasiswa-mahaswa lain, dan naik tangga menuju ruang 22. 

Bersambung ke Akhir Bulan #2 di sini

LABIRIN DEPRESI



 Pertama kali dimuat di harian "Pikiran Rakyat" 1 Maret 2015

          Sepanjang waktu-waktu menyedihkan ini, yang dapat saya lakukan hanya menulis kembali kisah ini berulang-ulang. Kau tahu, ini seperti memasuki suatu tempat bernama masa lalu yang penuh dengan jalan dan lorong yang berliku-liku dan simpang siur. Di setiap sisi jalan berdiri skrin yang memutar kisah-kisah yang hanya dapat membuatmu tersenyum bahagia dan menangis menyedihkan. Kau tahu, pekerjaan ini amat menyiksa jiwa. Bagaimanapun, saya harus menuliskannya agar mereka dapat percaya.


Baiklah, akan saya ceritakan. Udara siang itu amat panas. Angin yang berhembus amat sedikit. Saya membuka kaca jendela dan membiarkan pintu kamar terbuka. Udara yang amat sedikit itu tak bisa masuk, sebab tepat di halaman depan kamar kos, tumbuh pohon rambutan berdahan rendah, berdaun lebat menutupi arah embusan angin. Hawa panas menguasai segala. Yang saya rasakan saat itu adalah rasa lapar yang mengerikan, ulu hati pedis, tenggorokan kering, dan kepala pening. Keadaan itu membuat tubuh saya gemetaran sepanjang siang itu. Saya membaringkan tubuh di atas kasur tipis dalam upaya menikmati keadaan mengerikan itu. Mata saya tiba-tiba kabur, tertutup dengan sendiri. Saya berusaha membuka dengan paksa. Setiap kali upaya itu saya lakukan, saraf di sekitar mata tertarik dan perih di seluruh kepala. Serangan lain datang, saya tak dapat menggerakan tubuh saya seperti mereka tak dapat menjalankan pesan otak.

Tiba-tiba saja saya sudah berada di sebuah taman yang abadi di ingatan. Di bangku taman warna hitam mengkilap oleh cat minyak, saya menemukan Monika. Ia tampak masih seperti dulu. Rambut panjangnya masih dibiarkan terurai diterpa angin, masih membaca novel serius, dan masih minum kopi. Ia selalu tampak cantik di mata saya. Ia perempuan terbaik yang pernah saya kenal. Anehnya, saat itu, air mukanya muram. Ada air mata yang tertahan di sudut matanya, dan ia memesan dua gelas kopi.

Monika tiba-tiba bangun, mendekap erat buku tebal itu seperti mendekap seseorang dengan perasaan sayang yang sempurna, meninggalkan taman itu dengan langkah rapuh. Jalan di depan taman itu amat sibuk. Ia hendak menyeberang ke sisi lain jalan. Pandangannya lurus dan kosong. Ia tak memperhatikan kendaraan yang datang dari kiri dan kanannya dan begitu saja menyeberang. Dari arah kiri, meluncur mobil hitam dengan kecepatan tinggi. Saya tahu apa yang akan terjadi. Saya meneriakinya berkali-kali tetapi ia tidak menoleh. Saya ingin berlari ke arahnya tetapi sebuah dinding tak kasatmata menghantam kening saya. Dalam ketakutan dan kepanikan yang mengerikan, saya melihat mobil itu menghantam tubuh Monika hingga terhempas jauh. Kepalanya membentur aspal dan darah segar mengalir membasahi aspal. Saya berteriak, meraung-raung, dan berusaha mendekat, tetapi sia-sia. Mobil itu menepi dan keluar dua orang lelaki muda yang amat saya kenal: Bob dan Andre.

Saat saya membalik badan, mata saya terbuka. Sebuah gagasan tiba-tiba terbit di kepala saya; mereka telah membunuh Monika. Saya berdiri dengan amarah yang tak tertangguhkan lagi dan perasaan kehilangan yang menyerang, meraih pisau di atas meja belajar. Di teras kos, terdengar suara tawa Bob dan Andre. Mereka terkejut ketika saya muncul dengan wajah yang aneh dan sebuah pisau di tangan. 

“Bangsat pembunuh! Kalian telah membunuh Monika!”

Saya mengamuk, mengayunkan pisau ke arah Bob dan Andre. Mereka dengan sigap menghindar. Saya terus mengejar mereka, hingga pada satu kesempatan saya mendapat Andre dan menancapkan pisau ke rusuk kirinya. Saya meninggalkannya meringgis kesakitan dan mengejar Bob sambil berteriak “Pembunuh! Pembunuh! Bangsat!”. Saya tak mendapat Bob sebab segerombolan polisi datang, memberikan setrum listrik di leher, dan saya tak sadarkan diri.

Hari itu, saya dibawa ke sebuah ruangan oleh dua petugas berbadan kekar dalam keadaan setengah sadar. Mereka membaringkan saya di tempat tidur. Seorang berpakaian putih-putih menyuntikan cairan di lengan saya. Sayup-sayup terdengar ketukan sol sepatu yang teratur di lantai. Kemudian terdengar gagang pintu diputar, dorongan pada pintu yang amat pelan, dan bunyi pintu ditutup dengan kasar. Seorang lelaki tua, beruban seluruhnya, berkaca mata, mengenakan kemeja putih panjang sampai lutut,  melangkah menenteng tas dan duduk pada kursi di samping meja. Dengan gerakan teratur, ia membuka tas, mengambil sebuah map, membukanya, memperbaiki posisi kacamata dan mulai membaca.

Saya tak mengerti mengapa saya dibawa ke sini, dalam ruangan tanpa jendela, tak berdaya di atas tempat tidur. Saya ingat, saya telah melakukan hal yang benar. Bob dan Andre pantas mendapatkannya.

“Mengapa saya dibawa ke sini?” Tanya saya lemah tak ada daya.

Lelaki tua itu berdeham sebentar, memperbaiki posisi duduknya, kemudian berbicara tanpa memperdulikan pertanyaan saya. Ia mengatakan bahwa mereka telah menyuntik cairan vitamin ke dalam tubuh saya. Dengan senyum, ia mengatakan bahwa saat ini saya terlihat lebih segar dan tampak lebih baik. Saya amat meragukan ucapannya sebab ketika bergerak, sendi-sendi saya terasa perih, kepala saya terasa pening, dan rasa lapar tak tertangguhkan. Saya merasa tidak begitu baik saat itu. Ia menanyakan apa yang saya rasakan saat itu? Saya tak menjawab pertanyaannya. Diam menatap kosong tembok ruangan. 

Saya tak tahu jam berapa saat itu. Entah malam, entah siang, saya tak tahu. Tak ada sesuatu hal yang bisa dijadikan pedoman. Tak ada jam dinding dalam ruangan itu. lelaki tua itu menggeser nampan aluminium sebagai isyarat agar saya segera makan. Nasi, sayur, dan sepotong ayam yang sudah dingin. Tanpa peduli padanya, saya melahap makanan itu, minum air, kemudian duduk di tempat tidur. Beberapa saat, kami diam.

“Boleh saya tahu siapa Monika?” mulai lelaki tua itu.

Sesungguhnya saya tak ingin berbicara dengannya sebelum ia menjawab pertanyaan saya. Namun, pertanyaan soal Monika menggugah hati saya. 

Dahulu, saya telah berjanji untuk tidak memikirkan Monika lagi, tidak mengingat kenangan bahagia bersamanya. Memikirkannya seperti upaya bunuh diri secara perlahan. Amat menyakitkan. Saya mengenal Monika 10 tahun lalu. Kami satu jurusan. Ia masih anak desa yang tak pandai berdandan. Saya menyukai rambutnya yang dibiarkan terurai diterpa angin, kulit putih bercahaya, dan matanya bersinar seperti bintang kejora. Ia suka melepas senyum indahnya kepada siapa saja. Giginya rapi dan putih. Jika tertawa, ia selalu menutup mulutnya dan terdengarlah tawa kikik yang menggemaskan. Monika adalah  kecantikan alami terbaik yang pernah saya temui.

Monika berkembang dengan sangat cepat, dari perempuan desa jadi perempuan modern dengan wawasan luas. Namun, ia tetap saja perempuan sederhana dan rendah hati. Rasanya aneh sekali saat dia lebih memilih saya dari pada lelaki lain yang lebih tampan dan mapan. Saat itu, hidup saya benar-benar sedang dalam perjalanan menuju kehancuran. Saya masih juga sebagai anak muda yang belum menemukan jati diri, terjebak dalam arus minuman keras, dan kemalasan yang akut. Saya tak punya rencana untuk hari-hari depan. Monika datang sebagai malaikat dalam hidup saya dan malaikat rasanya tak pantas berada di sisi lelaki pemabuk. Kesadaran itulah yang membuat saya banyak berubah.

Hari-hari bersamanya amat berkesan. Tiap hari kami selalu mampir ke Taman Kota, duduk di bangku hitam berkilau yang berhadapan dengan Jalan Sudirman. Kami membeli segelas kopi panas untuk kami berdua. Kami bercerita banyak hal, membaca banyak buku, mendengar banyak lagu di sana, sekali-sekali mengerjakan tugas di sana atau kadang jika kami bosan, kami akan menghitung mobil yang lalu lalang di jalan. Singkatnya, kami pacaran selama tiga tahun. Setelah itu, ia pergi meninggalkan saya untuk selamanya dalam sebuah kecelakaan di Jalan Sudirman.

Saya menangis sesenggukan di atas tempat tidur. Lelaki tua itu batuk pelan. “Turut berduka cita,” ucapnya.

“Saat itu, hubungan kami sedang renggang, saya pergi naik gunung, dan ketika kembali, kabar pemakamannya sampai ke telinga saya. Saya tak melihat wajahnya untuk terakhir kalinya.”

Lelaki tua itu membiarkan saya menangis, mencabik-cabik bantal, dan memukul-mukul tembok ruangan. Ia membiarkan saya sampai benar-benar tenang. 

“Bisakah anda ceritakan yang sebenarnya? mengapa saya diperlakukan seperti ini?” Tanya saya.

 “Baiklah,” ucapnya sambil memperbaiki posisi duduknya. “Berat mengatakannya, jujur saja, anda menyerang dua teman kos anda dengan pisau dengan tuduhan yang tak beralasan; membunuh Monika,” ucapnya tiba-tiba, mengangetkan.

Amarah saya bangkit ketika ia menyebut soal Monika. Saya merasa ia tak punya rasa empati sedikit pun. Saya berdiri dan menghardiknya.

“Bob dan Andre lah yang menabrak Monika, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri!” 

“Mereka sama sekali tak mengenal Monika. Mereka tak tahu peristiwa yang terjadi pada Monika.”

Amarah memuncak, saya menendang meja. “Lalu, siapakah anda ini tak punya rasa empati dan mencoba membela pembunuh?” teriak saya sambil memukul meja. “Berapa yang anda dapat dari mereka?”

Dua petugas bertubuh kekar dan seorang perempuan perawat masuk. Mereka menangkap saya. Perempuan perawat itu menyuntikkan sesuatu ke lengan saya. Tubuh saya mendadak lemas dan rasa kantuk menyerang. Saya tak sadarkan diri.

Pada akhirnya, saya tahu, suatu kali, barangkali ia lupa membawanya, barangkali juga disengaja. Sebuah map hijau di atas meja berisi deskripsi yang mengagetkan dan tak bisa saya terima tentang saya. Saya didiagnosis mengidap depresi berat karena tak kuat menghadapi kenyataan hidup dan sering diserang halusinasi terhadap kekasih saya yang sudah meninggal. Saya memiliki hubungan yang buruk dengan orang tua, ibu kos, dan teman-teman di sekitar saya, hingga pada peristiwa penyerangan terhadap Bob dan Andre dengan tuduhan membunuh Monika. Penjelasan terhadap setiap poin masih panjang. Saya tak kuasa membacanya. Saya tak dapat menerima semua itu. Amarah saya bangkit. Saya meraung, berteriak keras, membanting kursi, dan merobek-robek map merah itu. Empat petugas berbadan kekar datang menangkap saya dan perempuan perawat itu menusuk jarum ke lengan saya. Badan saya jadi lemas dan rasa kantuk menyerang. 

Kau tahu, selama bertahun-tahun, saya telah berusaha agar dapat bertahan. Pada satu waktu berhasil, tetapi di lain waktu usaha itu sia-sia. Seringkali saya terjebak oleh peristiwa bahagia dari masa lalu yang tak disadari telah mendorong saya semakin jauh pada labirin-labirin berliku di masa lalu. Satu lorong saya masuki dan skrin yang tertempel di dinding lorong menayangkan kisah menyedihkan dan bahagia bersama Monika, saat saya berusaha keluar, saya sadari telah berada di lorong yang lain dengan wajah ayah dan ibu yang muram. Begitu seterusnya. Masa depan tampak kabur di mata saya dan amat sulit dibayangkan. Saya seringkali menangis sepanjang hari, berteriak-teriak kacau, memukul-mukul meja sampai petugas itu datang menusuk jarum ke lengan saya. Badan saya jadi lemas dan rasa kantuk menyerang. 

                                                                                                                                                                 Baciro 2015