Oleh: Crispian Bombo
Kawan
Aku menemukanmu dalam hujan kemarin
Ketika ilalang di atap rumah
sedang bermandi bau bumi
Lagi kudapatimu sedang makan buah kopi
dalam cangkir kecil tempat kita pernah mengaduk mimpi
Terakhir
kamu telah hampir menyantap setiap bersamaku
pagi-pagi yang mati.
*dikutip dari buku kumpulan Puisi Crispian Bombo Balada Pemikul Sangkakala (LPM Terompong, 2014) hal 65
. . .
Lantas
aku bersila di tepian hari
Memandangi semburat senja untuk terakhir kali
mengingatmu untuk kesekian kali
Memandangi semburat senja untuk terakhir kali
mengingatmu untuk kesekian kali
Adakah kau dalam kilau lembayung senja?
Tamasya
malam buta
Rembulan beringsut menjauh
Bintang redup dan mati
kelepak muram burung malam
Rembulan beringsut menjauh
Bintang redup dan mati
kelepak muram burung malam
Aku
merindukan pagi, embun
dan senyum meresapi rerumputan
dan senyum meresapi rerumputan
-
Biciro, 24 Oktober 2014
Hari Libur
Untuk mendapat potret terbaik,
Mereka mesti melintasi kampung sunyi dan
lengang, ladang-ladang kering merana,hutan yang cemas akan masa depannya, atap
rumah membusuk, dinding reyot, bale-bale lapuk, kandang kosong dan kanak-kanak
bertelanjang kaki, berwajah tirus, dan bermata sayu, yang menyeret sejarah
kemiskinannya di halaman tanpa taman, yang menekan hasratnya dalam perut serupa
balon. Perempuan yang mengabadikan sejarah leluhurnya pada kain-kain tenun, dan
lelaki perkasa mengais hidup dari balik tanah kering.
untuk menghormati perasaan, potret diambil dan iba datang, menguap di belakang punggung
sedetik setelah mereka berlalu.
Padang sabana hijau, air terjun, atap kampung wisata,
menggeram dalam diam, tertekan jadi obyek. Tak bersedia hanya sekedar dipuja.
Ketakutan, membayangkan tahun-tahun yang akan datang.
Potret terbaik diambil dan disebar ke mana-mana. Hari kerja
tiba. Sore hari, mereka duduk-duduk di teras dengan segelas kopi, tersenyum
untuk puja-puji potret terbaik. Sedangkan, jauh di sana kesedihan ditelan malam
lengang dan musim kejam.
-Baciro, September 2015
Akhir Bulan #1
Jauh
di sana, di persimpangan jalan, tugu Jogja berkilauan dalam layar digital iklan
parawisata. Cahayanya berhamburan, berkelebat di jalanan, tubuh-tubuh
kendaraan, wajah manusia, dan tembok-tembok rumah, seiring bergantinya iklan.
Saat tugu Jogja muncul di layar, perasaan Martin campur aduk. Ia seperti
melihat sebuah riwayat panjang nan menyedihkan dirinya, Leo, Pat dan Jony di
kota istimewa itu, menempel di seluruh tubuh tugu Jogja.
Bus berderu dan ban mulai berputar
malas melindas aspal. Martin mengusap kaca di depannya dan mendekatkan matanya.
Ia melambaikan tangannya pada Luis dan bus pun membawanya pergi.
“Saya akan kembali, Luis! Untuk
menuntaskan semua yang tertinggal,” ucapnya pada Luis sebelum pergi.
***
Ini akhir bulan Agustus yang menyedihkan. Martin
terbangun siang itu oleh dengung jalanan yang dibawa angin sepoi-sepoi musim
kemarau dan hawa panas yang berdiam dalam kamar, meresap ke seluruh tubuhnya. Segera
bulir-bulir seperti biji kacang hijau menyembul di permukaan kulit legamnya dan
membuat seluruh tubuhnya kuyup. Ia merasa ada yang menyalakan api di dalam
rongga-rongga dadanya. Lorong kos yang memanjang ke timur tampak lengang. Aroma
busuk bangkit dari rak-rak sepatu, ember-ember pakaian kotor, piring dan gelas
kotor depan kamar, dan bau arsol dari
botol-botol aqua bekas di tempat sampah.
Ia duduk di kursi rotan depan kamar yang mulai
rombeng di beberapa bagian, memandangi halaman yang berkilau oleh sinar
matahari, pagar tembok bercat hijau, daun-daun pohon pisang yang
melambai-lambai ditiup angin, dan kubah Masjid di kejauhan sana yang
memantulkan berkas-berkas sinar. Rasa kesal yang merasukinya sejak malam tadi
dan masih berdiam dalam dadanya kini menunjukkan muka lagi. Ia tak dapat
mengelak apalagi setelah menyadari keadaannya yang begitu menyedihkan. 9bet,
Parlay, handicap, Permainan Angka, Poker, semuanya memenuhi kepalanya. Lima
juta, gumamnya dengan rasa pasrah yang menyedihkan. Seharusnya saya hentikan
saja permainan itu atau menurunkan jumlah taruhan, pikirnya. Bukan tak mungkin
siang ini saya duduk malas di sini dengan perut terisih penuh, dengan gaya
seorang raja menuntaskan batang demi batang Malboro. Membeli untuk bajingan
pemabuk itu berbotol-botol arsol dan
tentu saja tunggakan uang kos akan selesai dan utang di warung dapat dimulai
lagi bulan depan.
Khayalan-khayalan
itu membuatnya kian jengkel. Luis yang tiba-tiba muncul dari gerbang, melintas
begitu saja setelah melihat rupa wajah seperti sedang berpikir keras tetapi
menyiratkan sesuatu yang amat menakutkan. Luis dan anak-anak lain paham benar
wajah itu apalagi kala geraham-gerahamnya bergemeretak seperti orang
kedinginan. Menegurnya adalah pekerjaan sia-sia sebab ia akan membisu dan tentu
saja membuatnya kian kesal. Sering Luis ini kena maki gara-gara tindakan sopan
yang terlalu berlebihan tanpa membaca situasi pada senior-senior macam Martin
ini.
Rasa kesal dan jengkelnya itu kemudian mereda
dengan sendirinya saat mulai merasakan perih yang amat sangat di perutnya.
Untuk menanggapi permintaan yang tak dapat ditolak, ia mulai berpikir bagaimana
caranya agar ia bisa makan siang itu; kegiatan yang selalu ia lakukan seminggu
terakhir ini. Ia sadar uang bulanannya sudah habis. Butuh tindakan layaknya depkolektor untuk meminta uang pada orang tua di tengah
bulan begini dan itu takan mungkin baginya sebab caci maki dari seberang sana
akan membuat nyalinya ciut. Ayahnya sejenis binatang buas yang mengerikan.
Luis pasti akan masak, pikirnya. Tetapi keinginan
untuk ke kamar Luis ia urungkan. Ia sadar masih punya utang seratus ribu pada
Luis. Anak itu terlalu baik untuk diancam, pikirnya. Ia selalu merasa iba
melihat Luis selalu kena palak dari Pat dan Jony. Lalu, ia mulai
mengingat-ingat tak ada benar barang-barang berharga di dalam kamar yang bisa ia
‘sekolahkan’. Handphone Nokia, Komputer, televisi sudah masuk ‘sekolah’ dan ia
selalu benci mengingat bahwa uang sekolah mereka tersendat-sendat.
Ia berdiri dan melangkah gontai menuju kran air dekat
WC. Air keran yang dingin itu menyegarkan kulit wajahnya dan merambat ke dalam
kepala. Sayup-sayup terdengar suara Bu Rini, ibu kos, yang wataknya telah
ditempa sedemikian rupa oleh anak-anak kos, membuat watak jawanya itu mengerus
perlahan-lahan. Menyadari ancaman yang lebih mengerikan dari rasa lapar, ia
bergegas dengan berjingkrak-jingkrak, menghilang lewat pintu gerbang kecil di
sisi lain bangunan yang langsung berhadapan dengan jalan utama. Ia lintasi jalan yang ramai itu, masuk ke gang
Brajamusti. Udara panas dan sinar mentari menerobos rambut ombak yang
awut-awutan. Ia mendengar seseorang memanggil namanya dan yakin seratus persen
suara itu bukan milik Bu Rini sebab ia teramat mengenal suaranya. Ia lantas
menghentikan langkahnya dan menoleh mencari asal suara itu. Tiba-tiba saja Novi,
teman kelas matakuliah Berbicara 2, muncul di depan gang.
“Kamu tidak boleh menolak,” katanya. “Kami sudah
mendapatkan datanya dan mewawancarai beberapa mahasiswa. Kamu tahu maksud saya?”
“Ya, tugas Berbicara 2 toh?”
“Kamu harus mempresentasikan hasilnya nanti.
Jangan bercanda. Ini serius.”
“Kenapa harus saya?”
“Kamu bisa protes kalau kamu hadir di pertemuan
kelompok tadi.”
Novi acuh tak acuh menyodorkan beberapa lembar
kertas kemudian berbalik meninggalkannya tanpa menunggu reaksinya. Ia membaca
sepintas isi kertas itu; hasil wawancara perihal pendapat mahasiswa terhadap
pelayanan sekretariat Prodi, berikut kesimpulan dari hasil wawancara. Gampang,
katanya dalam hati, cuma maju dan baca saja.
Ia kemudian berbelok ke kiri. 100 meter dari situ
ada kos-kosan laki-laki yang bunyi musiknya menggetarkan daerah sekitar.
Beberapa motor diparkir sembarangan, sandal-sendal dan sepatu berhamburan di
pintu masuk. Kamar nomor 5 terbuka dan ia mendapati Pat duduk seperti pengemis
yang berseliweran di lampu merah jalan Solo, menghadap sepiring nasi tanpa
lauk. Wajah tirusnya itu amat menyedihkan. Dengan isyarat gerakan mata ia
mengajak Martin makan. Dorongan bawah sadar membuat Martin duduk dan segera
mengisi piringnya. Pat duduk bersila menghadap Risecooker mini warna putih dan
setumpuk garam dalam piring plastik. Ia mengisi sendoknya dan memasukkan ke
dalam mulut dengan gerakan cepat seperti tentara hendak menghadapi perang,
memamahnya sepersekian detik dan bulir-bulir nasi yang tak sempurna dimamah itu
menerobos saluran makanan yang kering. Pat selesai duluan, minum air, dan duduk
bersandar di tembok. Matanya menerawang kosong.
Martin makan seperti anggota keluarga kerajaan.
Gerakannya teratur. Ia jadi teringat Leo, gagasannya yang tiba-tiba itu sungguh
aneh. ‘maksimalkan imajinasi’ katanya. Leo selalu makan nasi tanpa lauk dengan
muka ceria dan kadang-kadang sambil bernyanyi kecil. Usai makan ia akan bilang,
tidak ada yang dapat menandingi kenikmatan sate kuda laut. Kadang Martin
berpikir Leo sudah gila. Ia pernah mencobanya sekali dan sama sekali tak ada
efeknya. Rasanya tetap saja hambar. Tetapi dalam keadaan begini nasi dan garam
adalah makanan paling mewah. Sekali-sekali pakai Mie instan dan itu sungguh mewah.
Martin telah selesai makan gaya kerajaannya dan
minum air. Beberapa saat mereka tak saling bicara dan tak ada rencana untuk
mulai. Masing-masih entah; menghayati kekenyangannya saat itu atau menghayalkan
kekenyangan yang lain. Tetapi tampaknya Pat tidak kedua-duanya dan Martin
menghayalkan kekenyangan yang lain, yang benar-benar mewakili kepuasan atau
kelegahan yang sempurna. Kepala Pat sibuk mencari jalan keluar untuk SPP
semester genap ini. Sesungguhnya, jatah SPP sudah di kirim tetapi dengan
keyakinan yang tak masuk akal bahwa uang itu dapat digandakan, ia mentransfer
seluruhnya ke rekening nyonya ‘Veronika’ dan dalam satu malam habis dalam
permainan-permainan keberuntungan;Judi bola, permainan angka, poker. Kalau
sudah begitu, setan pun takan peduli. Martin berada di jalur yang sama tetapi,
ia berpikir seandainya mereka tak menaikan taruhan, perjamuan yang sempurna itu
akan dimulai di warung makan padang.
Martin terlalu yakin dengan Pat. Begitupun Leo dan
Jony. Bukan saja soal judi tetapi juga dalam berbagai hal. Sialnya, ia
menyadarinya setelah semuanya terjadi. Apa yang dilakukan Pat seringkali
beresiko. Ia tak terlalu memikirkan jika semuanya baik-baik saja. Jika gagal, ia
akan memikirkan terus menerus dan selalu membuatnya jengkel dan marah. Ia tak
bisa menumpahkan amarahnya pada Pat. Kalau Leo dan Jony, ia bisa memaki mereka
tujuh keturunan tetapi Pat adalah pengecualian.
Ia menatap Pat yang saat itu mulai berbaring dan
menatap langit-langit kamar. Pat lebih tua dua tahun dari Martin. Tubuhnya
kurus, kulitnya putih, dan rambutnya berombak. Garis wajahnya selalu tampak
serius dan seolah-seolah ia seorang pemikir ulung. Orang seringkali terkecoh
oleh penampilannya. Beberapa orang menunjukkan sikap sopan dan segan padanya,
panggilan ‘abang’ di depan namanya sering terdengar. Beberapa yang lain
menyangsikan status senior pada dirinya meskipun tetap memanggilnya abang. Penampilannya
sungguh mengkhianati kenyataannya. Semua orang tahu ia tukang menyalakan kompor
yang baik dan setelah itu membiarkan anak-anak lain menggoreng. Meski lebih tua
dari Martin dan Leo, Pat selalu menunjukkan sikap seperti seumuran dengan
Martin dan Leo meskipun kadang-kadang juga ia menggunakan senioritasnya untuk
kepentingan-kepentingan tertentu. Pat kuliah jurusan Kesehatan Masyarakat dan
tak ada tanda-tanda akan menyelesaikan kuliah. Ia bilang, teorinya sudah
selesai tinggal skripsi. Tiap kali ada yang bertanya, bab berapa sekarang
‘abang’ ? ia akan menjawab dengan ketakpedulian yang sempurna ‘bablas kawan’. Lama-lama
mereka yang suka bertanya dengan satu tujuan agar ia termotivasi menjadi bosan
dan berpikir apa ia tak punya jawaban lain?
“Saya mau jual itu motor, kalau ada temanmu yang
mau beli motor, bilang saja,” kata Pat tiba-tiba dengan suara berat.
“Oke. Kau lepas berapa?”
“5 atau 6 jutaan.”
“Satria Fu second sekarang 8 atau 10 juta, terlalu
murah itu. ”
Mereka diam lagi. Pat tak menanggapi seolah-olah
meminta Martin memahami keadaannya.
“Saya sudah terlambat,” kata Martin tiba-tiba.
Nada suaranya sama sekali tak menunjukkan rasa panik karena keterlambatan.
Datar dan biasa saja. Ia lantas menghilang dari pintu. Terdengar suara keras
berlari mengikuti kakinya.
“Kalau ada yang minat, nanti saya beritahu kau!”
Berlari cepat dalam hitungan detik. Suasana kebali
seperti semula. Beku.
Pat masih tidur-tiduran bolak-balik badan ke sana
kemari. Spon juga ikut bergeser ke sana kemari. Tubuhnya mulai mengeluarkan
keringat dan ia merasakan kepalanya berdenyut seperti seseorang sedang menancap
jarum dalam kepalanya.
Kini, Martin tergesa-gesa mengenakan celana panjang
Calvin Klein imitasi dan kaos polo warna hijau lumut, berlari menuju keran,
membasuh mukanya dan membasahi rambutnya kemudian membasahi celana imitasi itu
agar terlihat lebih cerah. Ia masuk lagi ke kamar, melap wajah dan rambutnya
dengan anduk biru dengan warna coklat abu-abu bertebaran seperti pulau. Ia raih
tasnya dan lari seperti dikejar sepasukan tentara abat pertengahan. Keringat
mulai membasahi kaos polonya. Ia melintasi parkiran, menghindari
mahasiswa-mahaswa lain, dan naik tangga menuju ruang 22.
Bersambung ke Akhir Bulan #2 di sini
LABIRIN DEPRESI
Pertama kali dimuat di harian "Pikiran Rakyat" 1 Maret 2015
Sepanjang waktu-waktu menyedihkan ini, yang dapat saya lakukan hanya menulis kembali
kisah ini berulang-ulang. Kau tahu, ini seperti memasuki suatu tempat bernama
masa lalu yang penuh dengan jalan dan lorong yang berliku-liku dan simpang siur.
Di setiap sisi jalan berdiri skrin yang memutar kisah-kisah yang hanya dapat
membuatmu tersenyum bahagia dan menangis menyedihkan. Kau tahu, pekerjaan ini
amat menyiksa jiwa. Bagaimanapun, saya harus menuliskannya agar mereka dapat
percaya.
Baiklah,
akan saya ceritakan. Udara siang itu amat panas. Angin yang berhembus amat
sedikit. Saya membuka kaca jendela dan membiarkan pintu kamar terbuka. Udara
yang amat sedikit itu tak bisa masuk, sebab tepat di halaman depan kamar kos, tumbuh
pohon rambutan berdahan rendah, berdaun lebat menutupi arah embusan angin. Hawa
panas menguasai segala. Yang saya rasakan saat itu adalah rasa lapar yang
mengerikan, ulu hati pedis, tenggorokan kering, dan kepala pening. Keadaan itu
membuat tubuh saya gemetaran sepanjang siang itu. Saya membaringkan tubuh di
atas kasur tipis dalam upaya menikmati keadaan mengerikan itu. Mata saya
tiba-tiba kabur, tertutup dengan sendiri. Saya berusaha membuka dengan paksa.
Setiap kali upaya itu saya lakukan, saraf di sekitar mata tertarik dan perih di
seluruh kepala. Serangan lain datang, saya tak dapat menggerakan tubuh saya
seperti mereka tak dapat menjalankan pesan otak.
Tiba-tiba
saja saya sudah berada di sebuah taman yang abadi di ingatan. Di bangku taman
warna hitam mengkilap oleh cat minyak, saya menemukan Monika. Ia tampak masih
seperti dulu. Rambut panjangnya masih dibiarkan terurai diterpa angin, masih
membaca novel serius, dan masih minum kopi. Ia selalu tampak cantik di mata
saya. Ia perempuan terbaik yang pernah saya kenal. Anehnya, saat itu, air
mukanya muram. Ada air mata yang tertahan di sudut matanya, dan ia memesan dua
gelas kopi.
Monika
tiba-tiba bangun, mendekap erat buku tebal itu seperti mendekap seseorang
dengan perasaan sayang yang sempurna, meninggalkan taman itu dengan langkah
rapuh. Jalan di depan taman itu amat sibuk. Ia hendak menyeberang ke sisi lain
jalan. Pandangannya lurus dan kosong. Ia tak memperhatikan kendaraan yang
datang dari kiri dan kanannya dan begitu saja menyeberang. Dari arah kiri,
meluncur mobil hitam dengan kecepatan tinggi. Saya tahu apa yang akan terjadi.
Saya meneriakinya berkali-kali tetapi ia tidak menoleh. Saya ingin berlari ke
arahnya tetapi sebuah dinding tak kasatmata menghantam kening saya. Dalam
ketakutan dan kepanikan yang mengerikan, saya melihat mobil itu menghantam
tubuh Monika hingga terhempas jauh. Kepalanya membentur aspal dan darah segar mengalir
membasahi aspal. Saya berteriak, meraung-raung, dan berusaha mendekat, tetapi
sia-sia. Mobil itu menepi dan keluar dua orang lelaki muda yang amat saya
kenal: Bob dan Andre.
Saat
saya membalik badan, mata saya terbuka. Sebuah gagasan tiba-tiba terbit di
kepala saya; mereka telah membunuh Monika. Saya berdiri dengan amarah yang tak
tertangguhkan lagi dan perasaan kehilangan yang menyerang, meraih pisau di atas
meja belajar. Di teras kos, terdengar suara tawa Bob dan Andre. Mereka terkejut
ketika saya muncul dengan wajah yang aneh dan sebuah pisau di tangan.
“Bangsat
pembunuh! Kalian telah membunuh Monika!”
Saya
mengamuk, mengayunkan pisau ke arah Bob dan Andre. Mereka dengan sigap
menghindar. Saya terus mengejar mereka, hingga pada satu kesempatan saya
mendapat Andre dan menancapkan pisau ke rusuk kirinya. Saya meninggalkannya
meringgis kesakitan dan mengejar Bob sambil berteriak “Pembunuh! Pembunuh!
Bangsat!”. Saya tak mendapat Bob sebab segerombolan polisi datang, memberikan
setrum listrik di leher, dan saya tak sadarkan diri.
Hari
itu, saya dibawa ke sebuah ruangan oleh dua petugas berbadan kekar dalam keadaan
setengah sadar. Mereka membaringkan saya di tempat tidur. Seorang berpakaian
putih-putih menyuntikan cairan di lengan saya. Sayup-sayup terdengar ketukan
sol sepatu yang teratur di lantai. Kemudian terdengar gagang pintu diputar, dorongan
pada pintu yang amat pelan, dan bunyi pintu ditutup dengan kasar. Seorang
lelaki tua, beruban seluruhnya, berkaca mata, mengenakan kemeja putih panjang
sampai lutut, melangkah menenteng tas
dan duduk pada kursi di samping meja. Dengan gerakan teratur, ia membuka tas,
mengambil sebuah map, membukanya, memperbaiki posisi kacamata dan mulai
membaca.
Saya
tak mengerti mengapa saya dibawa ke sini, dalam ruangan tanpa jendela, tak
berdaya di atas tempat tidur. Saya ingat, saya telah melakukan hal yang benar. Bob
dan Andre pantas mendapatkannya.
“Mengapa
saya dibawa ke sini?” Tanya saya lemah tak ada daya.
Lelaki
tua itu berdeham sebentar, memperbaiki posisi duduknya, kemudian berbicara tanpa
memperdulikan pertanyaan saya. Ia mengatakan bahwa mereka telah menyuntik
cairan vitamin ke dalam tubuh saya. Dengan senyum, ia mengatakan bahwa saat ini
saya terlihat lebih segar dan tampak lebih baik. Saya amat meragukan ucapannya sebab
ketika bergerak, sendi-sendi saya terasa perih, kepala saya terasa pening, dan
rasa lapar tak tertangguhkan. Saya merasa tidak begitu baik saat itu. Ia
menanyakan apa yang saya rasakan saat itu? Saya tak menjawab pertanyaannya.
Diam menatap kosong tembok ruangan.
Saya
tak tahu jam berapa saat itu. Entah malam, entah siang, saya tak tahu. Tak ada sesuatu
hal yang bisa dijadikan pedoman. Tak ada jam dinding dalam ruangan itu. lelaki
tua itu menggeser nampan aluminium sebagai isyarat agar saya segera makan. Nasi,
sayur, dan sepotong ayam yang sudah dingin. Tanpa peduli padanya, saya melahap
makanan itu, minum air, kemudian duduk di tempat tidur. Beberapa saat, kami
diam.
“Boleh
saya tahu siapa Monika?” mulai lelaki tua itu.
Sesungguhnya
saya tak ingin berbicara dengannya sebelum ia menjawab pertanyaan saya. Namun,
pertanyaan soal Monika menggugah hati saya.
Dahulu,
saya telah berjanji untuk tidak memikirkan Monika lagi, tidak mengingat
kenangan bahagia bersamanya. Memikirkannya seperti upaya bunuh diri secara
perlahan. Amat menyakitkan. Saya mengenal Monika 10 tahun lalu. Kami satu
jurusan. Ia masih anak desa yang tak pandai berdandan. Saya menyukai rambutnya
yang dibiarkan terurai diterpa angin, kulit putih bercahaya, dan matanya
bersinar seperti bintang kejora. Ia suka melepas senyum indahnya kepada siapa
saja. Giginya rapi dan putih. Jika tertawa, ia selalu menutup mulutnya dan
terdengarlah tawa kikik yang menggemaskan. Monika adalah kecantikan alami terbaik yang pernah saya
temui.
Monika
berkembang dengan sangat cepat, dari perempuan desa jadi perempuan modern
dengan wawasan luas. Namun, ia tetap saja perempuan sederhana dan rendah hati. Rasanya
aneh sekali saat dia lebih memilih saya dari pada lelaki lain yang lebih tampan
dan mapan. Saat itu, hidup saya benar-benar sedang dalam perjalanan menuju
kehancuran. Saya masih juga sebagai anak muda yang belum menemukan jati diri,
terjebak dalam arus minuman keras, dan kemalasan yang akut. Saya tak punya
rencana untuk hari-hari depan. Monika datang sebagai malaikat dalam hidup saya
dan malaikat rasanya tak pantas berada di sisi lelaki pemabuk. Kesadaran itulah
yang membuat saya banyak berubah.
Hari-hari
bersamanya amat berkesan. Tiap hari kami selalu mampir
ke Taman Kota, duduk di bangku hitam berkilau yang berhadapan dengan Jalan
Sudirman. Kami membeli segelas kopi panas untuk kami berdua. Kami bercerita
banyak hal, membaca banyak buku, mendengar banyak lagu di sana, sekali-sekali
mengerjakan tugas di sana atau kadang jika kami bosan, kami akan menghitung mobil yang lalu lalang di jalan. Singkatnya, kami
pacaran selama tiga tahun. Setelah itu, ia pergi meninggalkan saya untuk
selamanya dalam sebuah kecelakaan di Jalan Sudirman.
Saya menangis sesenggukan di atas tempat
tidur. Lelaki tua itu batuk pelan. “Turut berduka cita,” ucapnya.
“Saat itu, hubungan kami sedang
renggang, saya pergi naik gunung, dan ketika kembali, kabar pemakamannya sampai
ke telinga saya. Saya tak melihat wajahnya untuk terakhir kalinya.”
Lelaki tua itu membiarkan saya menangis,
mencabik-cabik bantal, dan memukul-mukul tembok ruangan. Ia membiarkan saya
sampai benar-benar tenang.
“Bisakah
anda ceritakan yang sebenarnya? mengapa saya diperlakukan seperti ini?” Tanya
saya.
“Baiklah,” ucapnya sambil memperbaiki posisi
duduknya. “Berat mengatakannya, jujur saja, anda menyerang dua teman kos anda
dengan pisau dengan tuduhan yang tak beralasan; membunuh Monika,” ucapnya
tiba-tiba, mengangetkan.
Amarah
saya bangkit ketika ia menyebut soal Monika. Saya merasa ia tak punya rasa
empati sedikit pun. Saya berdiri dan menghardiknya.
“Bob
dan Andre lah yang menabrak Monika, saya melihat dengan mata kepala saya
sendiri!”
“Mereka
sama sekali tak mengenal Monika. Mereka tak tahu peristiwa yang terjadi pada
Monika.”
Amarah
memuncak, saya menendang meja. “Lalu, siapakah anda ini tak punya rasa empati
dan mencoba membela pembunuh?” teriak saya sambil memukul meja. “Berapa yang
anda dapat dari mereka?”
Dua
petugas bertubuh kekar dan seorang perempuan perawat masuk. Mereka menangkap
saya. Perempuan perawat itu menyuntikkan sesuatu ke lengan saya. Tubuh saya
mendadak lemas dan rasa kantuk menyerang. Saya tak sadarkan diri.
Pada
akhirnya, saya tahu, suatu kali, barangkali ia lupa membawanya, barangkali juga
disengaja. Sebuah map hijau di atas meja berisi deskripsi yang mengagetkan dan
tak bisa saya terima tentang saya. Saya didiagnosis mengidap depresi berat
karena tak kuat menghadapi kenyataan hidup dan sering diserang halusinasi
terhadap kekasih saya yang sudah meninggal. Saya memiliki hubungan yang buruk
dengan orang tua, ibu kos, dan teman-teman di sekitar saya, hingga pada
peristiwa penyerangan terhadap Bob dan Andre dengan tuduhan membunuh Monika.
Penjelasan terhadap setiap poin masih panjang. Saya tak kuasa membacanya. Saya
tak dapat menerima semua itu. Amarah saya bangkit. Saya meraung, berteriak
keras, membanting kursi, dan merobek-robek map merah itu. Empat petugas
berbadan kekar datang menangkap saya dan perempuan perawat itu menusuk jarum ke
lengan saya. Badan saya jadi lemas dan rasa kantuk menyerang.
Kau
tahu, selama bertahun-tahun, saya telah berusaha agar dapat bertahan. Pada satu
waktu berhasil, tetapi di lain waktu usaha itu sia-sia. Seringkali saya
terjebak oleh peristiwa bahagia dari masa lalu yang tak disadari telah
mendorong saya semakin jauh pada labirin-labirin berliku di masa lalu. Satu
lorong saya masuki dan skrin yang tertempel di dinding lorong menayangkan kisah
menyedihkan dan bahagia bersama Monika, saat saya berusaha keluar, saya sadari
telah berada di lorong yang lain dengan wajah ayah dan ibu yang muram. Begitu
seterusnya. Masa depan tampak kabur di mata saya dan amat sulit dibayangkan.
Saya seringkali menangis sepanjang hari, berteriak-teriak kacau, memukul-mukul
meja sampai petugas itu datang menusuk jarum ke lengan saya. Badan saya jadi
lemas dan rasa kantuk menyerang.
Baciro 2015
Langganan:
Postingan (Atom)
-
Sinopsis cerpen “Catatan Seorang Pelacur“ bercerita tentang refleksi panjang seorang wanita penghibur bernama Neng Sum tentang kehidu...
-
Cerpen "Jalur-jalur Membenam", setelah saya baca, sangat menyentuh. Jalan ceritanya mengalir dengan dialog-dialog yang begitu men...
-
Rumah kami letaknya tiga rumah dari jalan besar. Kebanyakan rumah di kompleks itu berlantai dua dan memiliki cat tembok yang berbeda-beda. ...