Sempurnah, Hutang, Warnah, Hisap

Beberapa minggu yang lalu, di Grup Facebook Sumba Barat Daya, saya menemukan sebuah postingan yang menarik untuk diteliti. Postingan tersebut ditulis oleh saudara Phasa Joshua. Isi postingan: Ia mempertanyakan gejala kebahasaan dalam dialog keseharian orang Sumba yang sering menamba bunyi [h] di awal atau di akhir sebuah kata. Misalnya, sempurnah, hutang, warnah, himbau, hisap dan sebagainya.
Fenomena kebahasaan seperti yang disebut Phasa Joshua di atas disebut interferensi bahasa. Interferensi bahasa merupakan salah satu bentuk penyimpangan kaidah kebahasaan. Interferensi bahasa terjadi salah satunya karena seseorang menguasai lebih dari satu bahasa, akibatnya ketika berbicara bahasa Indonesia seseorang sering terpengaruh oleh bahasa daerah, misalnya.  
Menurut pendapat Chaer (1998: 159) interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Peristiwa interferensi merupakan penyimpangan dalam penggunaan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain, juga penggunaan klausa dari bahasa lain dalam suatu kalimat.

Hal yang sama juga sering dijumpai dalam masyarakat Jawa, kata-kata  “nyeberang, nyimpen, ngatur, nunggu” sering saya dengar. Kata dasar seberang, simpan, atur, dan tunggu mendapat awalan N- bahasa Jawa. Bahasa Jawa memiliki 4 alomorf n-, m-, ng-, dan ny-. Jadi ketika berbicara, orang Jawa sering terpengaruh oleh bahasa daerahnya atau melakukan interferensi, dalam kasus bahasa Jawa tadi disebut interferensi morfologis, karena ada penambahan afiks N- bahasa Jawa pada kata dasar bahasa Indonesia.
Merujuk pada contoh di atas, kata-kata: Sempurnah, hutang, warnah, himbau, hisap menurut saya, juga merupakan bentuk interferensi bahasa khususnya interferensi fonologi. Kata dasar sempurna, utang, dan warna mendapat penambahan fonem [h]. Hanya saja apakah interferensi tersebut terjadi karena pengaruh bahasa daerah (misalnya bahasa Wejewa, Loura, Kodi dsb)? Lantaran sebagaian masyarakat Sumba rata-rata menguasai beberapa bahasa daerah karena kawin mawin. Perlu dicatat bahwa interferensi itu terjadi pada penutur yang bilingual atau menguasai lebih dari satu bahasa.
Menurut saya, perlu ada penelitian yg mendalam soal morfologi dan fonologi (dan unsur kebahasaan lainya) bahasa-bahasa daerah di Sumba. Selama ini belum ada. Ini penting sebagai bentuk pelestarian budaya khususnya bahasa daerah agar tidak sampai hilang!