Untuk mendapat potret terbaik,
Mereka mesti melintasi kampung sunyi dan
lengang, ladang-ladang kering merana,hutan yang cemas akan masa depannya, atap
rumah membusuk, dinding reyot, bale-bale lapuk, kandang kosong dan kanak-kanak
bertelanjang kaki, berwajah tirus, dan bermata sayu, yang menyeret sejarah
kemiskinannya di halaman tanpa taman, yang menekan hasratnya dalam perut serupa
balon. Perempuan yang mengabadikan sejarah leluhurnya pada kain-kain tenun, dan
lelaki perkasa mengais hidup dari balik tanah kering.
untuk menghormati perasaan, potret diambil dan iba datang, menguap di belakang punggung
sedetik setelah mereka berlalu.
Padang sabana hijau, air terjun, atap kampung wisata,
menggeram dalam diam, tertekan jadi obyek. Tak bersedia hanya sekedar dipuja.
Ketakutan, membayangkan tahun-tahun yang akan datang.
Potret terbaik diambil dan disebar ke mana-mana. Hari kerja
tiba. Sore hari, mereka duduk-duduk di teras dengan segelas kopi, tersenyum
untuk puja-puji potret terbaik. Sedangkan, jauh di sana kesedihan ditelan malam
lengang dan musim kejam.
-Baciro, September 2015