Jauh
di sana, di persimpangan jalan, tugu Jogja berkilauan dalam layar digital iklan
parawisata. Cahayanya berhamburan, berkelebat di jalanan, tubuh-tubuh
kendaraan, wajah manusia, dan tembok-tembok rumah, seiring bergantinya iklan.
Saat tugu Jogja muncul di layar, perasaan Martin campur aduk. Ia seperti
melihat sebuah riwayat panjang nan menyedihkan dirinya, Leo, Pat dan Jony di
kota istimewa itu, menempel di seluruh tubuh tugu Jogja.
Bus berderu dan ban mulai berputar
malas melindas aspal. Martin mengusap kaca di depannya dan mendekatkan matanya.
Ia melambaikan tangannya pada Luis dan bus pun membawanya pergi.
“Saya akan kembali, Luis! Untuk
menuntaskan semua yang tertinggal,” ucapnya pada Luis sebelum pergi.
***
Ini akhir bulan Agustus yang menyedihkan. Martin
terbangun siang itu oleh dengung jalanan yang dibawa angin sepoi-sepoi musim
kemarau dan hawa panas yang berdiam dalam kamar, meresap ke seluruh tubuhnya. Segera
bulir-bulir seperti biji kacang hijau menyembul di permukaan kulit legamnya dan
membuat seluruh tubuhnya kuyup. Ia merasa ada yang menyalakan api di dalam
rongga-rongga dadanya. Lorong kos yang memanjang ke timur tampak lengang. Aroma
busuk bangkit dari rak-rak sepatu, ember-ember pakaian kotor, piring dan gelas
kotor depan kamar, dan bau arsol dari
botol-botol aqua bekas di tempat sampah.
Ia duduk di kursi rotan depan kamar yang mulai
rombeng di beberapa bagian, memandangi halaman yang berkilau oleh sinar
matahari, pagar tembok bercat hijau, daun-daun pohon pisang yang
melambai-lambai ditiup angin, dan kubah Masjid di kejauhan sana yang
memantulkan berkas-berkas sinar. Rasa kesal yang merasukinya sejak malam tadi
dan masih berdiam dalam dadanya kini menunjukkan muka lagi. Ia tak dapat
mengelak apalagi setelah menyadari keadaannya yang begitu menyedihkan. 9bet,
Parlay, handicap, Permainan Angka, Poker, semuanya memenuhi kepalanya. Lima
juta, gumamnya dengan rasa pasrah yang menyedihkan. Seharusnya saya hentikan
saja permainan itu atau menurunkan jumlah taruhan, pikirnya. Bukan tak mungkin
siang ini saya duduk malas di sini dengan perut terisih penuh, dengan gaya
seorang raja menuntaskan batang demi batang Malboro. Membeli untuk bajingan
pemabuk itu berbotol-botol arsol dan
tentu saja tunggakan uang kos akan selesai dan utang di warung dapat dimulai
lagi bulan depan.
Khayalan-khayalan
itu membuatnya kian jengkel. Luis yang tiba-tiba muncul dari gerbang, melintas
begitu saja setelah melihat rupa wajah seperti sedang berpikir keras tetapi
menyiratkan sesuatu yang amat menakutkan. Luis dan anak-anak lain paham benar
wajah itu apalagi kala geraham-gerahamnya bergemeretak seperti orang
kedinginan. Menegurnya adalah pekerjaan sia-sia sebab ia akan membisu dan tentu
saja membuatnya kian kesal. Sering Luis ini kena maki gara-gara tindakan sopan
yang terlalu berlebihan tanpa membaca situasi pada senior-senior macam Martin
ini.
Rasa kesal dan jengkelnya itu kemudian mereda
dengan sendirinya saat mulai merasakan perih yang amat sangat di perutnya.
Untuk menanggapi permintaan yang tak dapat ditolak, ia mulai berpikir bagaimana
caranya agar ia bisa makan siang itu; kegiatan yang selalu ia lakukan seminggu
terakhir ini. Ia sadar uang bulanannya sudah habis. Butuh tindakan layaknya depkolektor untuk meminta uang pada orang tua di tengah
bulan begini dan itu takan mungkin baginya sebab caci maki dari seberang sana
akan membuat nyalinya ciut. Ayahnya sejenis binatang buas yang mengerikan.
Luis pasti akan masak, pikirnya. Tetapi keinginan
untuk ke kamar Luis ia urungkan. Ia sadar masih punya utang seratus ribu pada
Luis. Anak itu terlalu baik untuk diancam, pikirnya. Ia selalu merasa iba
melihat Luis selalu kena palak dari Pat dan Jony. Lalu, ia mulai
mengingat-ingat tak ada benar barang-barang berharga di dalam kamar yang bisa ia
‘sekolahkan’. Handphone Nokia, Komputer, televisi sudah masuk ‘sekolah’ dan ia
selalu benci mengingat bahwa uang sekolah mereka tersendat-sendat.
Ia berdiri dan melangkah gontai menuju kran air dekat
WC. Air keran yang dingin itu menyegarkan kulit wajahnya dan merambat ke dalam
kepala. Sayup-sayup terdengar suara Bu Rini, ibu kos, yang wataknya telah
ditempa sedemikian rupa oleh anak-anak kos, membuat watak jawanya itu mengerus
perlahan-lahan. Menyadari ancaman yang lebih mengerikan dari rasa lapar, ia
bergegas dengan berjingkrak-jingkrak, menghilang lewat pintu gerbang kecil di
sisi lain bangunan yang langsung berhadapan dengan jalan utama. Ia lintasi jalan yang ramai itu, masuk ke gang
Brajamusti. Udara panas dan sinar mentari menerobos rambut ombak yang
awut-awutan. Ia mendengar seseorang memanggil namanya dan yakin seratus persen
suara itu bukan milik Bu Rini sebab ia teramat mengenal suaranya. Ia lantas
menghentikan langkahnya dan menoleh mencari asal suara itu. Tiba-tiba saja Novi,
teman kelas matakuliah Berbicara 2, muncul di depan gang.
“Kamu tidak boleh menolak,” katanya. “Kami sudah
mendapatkan datanya dan mewawancarai beberapa mahasiswa. Kamu tahu maksud saya?”
“Ya, tugas Berbicara 2 toh?”
“Kamu harus mempresentasikan hasilnya nanti.
Jangan bercanda. Ini serius.”
“Kenapa harus saya?”
“Kamu bisa protes kalau kamu hadir di pertemuan
kelompok tadi.”
Novi acuh tak acuh menyodorkan beberapa lembar
kertas kemudian berbalik meninggalkannya tanpa menunggu reaksinya. Ia membaca
sepintas isi kertas itu; hasil wawancara perihal pendapat mahasiswa terhadap
pelayanan sekretariat Prodi, berikut kesimpulan dari hasil wawancara. Gampang,
katanya dalam hati, cuma maju dan baca saja.
Ia kemudian berbelok ke kiri. 100 meter dari situ
ada kos-kosan laki-laki yang bunyi musiknya menggetarkan daerah sekitar.
Beberapa motor diparkir sembarangan, sandal-sendal dan sepatu berhamburan di
pintu masuk. Kamar nomor 5 terbuka dan ia mendapati Pat duduk seperti pengemis
yang berseliweran di lampu merah jalan Solo, menghadap sepiring nasi tanpa
lauk. Wajah tirusnya itu amat menyedihkan. Dengan isyarat gerakan mata ia
mengajak Martin makan. Dorongan bawah sadar membuat Martin duduk dan segera
mengisi piringnya. Pat duduk bersila menghadap Risecooker mini warna putih dan
setumpuk garam dalam piring plastik. Ia mengisi sendoknya dan memasukkan ke
dalam mulut dengan gerakan cepat seperti tentara hendak menghadapi perang,
memamahnya sepersekian detik dan bulir-bulir nasi yang tak sempurna dimamah itu
menerobos saluran makanan yang kering. Pat selesai duluan, minum air, dan duduk
bersandar di tembok. Matanya menerawang kosong.
Martin makan seperti anggota keluarga kerajaan.
Gerakannya teratur. Ia jadi teringat Leo, gagasannya yang tiba-tiba itu sungguh
aneh. ‘maksimalkan imajinasi’ katanya. Leo selalu makan nasi tanpa lauk dengan
muka ceria dan kadang-kadang sambil bernyanyi kecil. Usai makan ia akan bilang,
tidak ada yang dapat menandingi kenikmatan sate kuda laut. Kadang Martin
berpikir Leo sudah gila. Ia pernah mencobanya sekali dan sama sekali tak ada
efeknya. Rasanya tetap saja hambar. Tetapi dalam keadaan begini nasi dan garam
adalah makanan paling mewah. Sekali-sekali pakai Mie instan dan itu sungguh mewah.
Martin telah selesai makan gaya kerajaannya dan
minum air. Beberapa saat mereka tak saling bicara dan tak ada rencana untuk
mulai. Masing-masih entah; menghayati kekenyangannya saat itu atau menghayalkan
kekenyangan yang lain. Tetapi tampaknya Pat tidak kedua-duanya dan Martin
menghayalkan kekenyangan yang lain, yang benar-benar mewakili kepuasan atau
kelegahan yang sempurna. Kepala Pat sibuk mencari jalan keluar untuk SPP
semester genap ini. Sesungguhnya, jatah SPP sudah di kirim tetapi dengan
keyakinan yang tak masuk akal bahwa uang itu dapat digandakan, ia mentransfer
seluruhnya ke rekening nyonya ‘Veronika’ dan dalam satu malam habis dalam
permainan-permainan keberuntungan;Judi bola, permainan angka, poker. Kalau
sudah begitu, setan pun takan peduli. Martin berada di jalur yang sama tetapi,
ia berpikir seandainya mereka tak menaikan taruhan, perjamuan yang sempurna itu
akan dimulai di warung makan padang.
Martin terlalu yakin dengan Pat. Begitupun Leo dan
Jony. Bukan saja soal judi tetapi juga dalam berbagai hal. Sialnya, ia
menyadarinya setelah semuanya terjadi. Apa yang dilakukan Pat seringkali
beresiko. Ia tak terlalu memikirkan jika semuanya baik-baik saja. Jika gagal, ia
akan memikirkan terus menerus dan selalu membuatnya jengkel dan marah. Ia tak
bisa menumpahkan amarahnya pada Pat. Kalau Leo dan Jony, ia bisa memaki mereka
tujuh keturunan tetapi Pat adalah pengecualian.
Ia menatap Pat yang saat itu mulai berbaring dan
menatap langit-langit kamar. Pat lebih tua dua tahun dari Martin. Tubuhnya
kurus, kulitnya putih, dan rambutnya berombak. Garis wajahnya selalu tampak
serius dan seolah-seolah ia seorang pemikir ulung. Orang seringkali terkecoh
oleh penampilannya. Beberapa orang menunjukkan sikap sopan dan segan padanya,
panggilan ‘abang’ di depan namanya sering terdengar. Beberapa yang lain
menyangsikan status senior pada dirinya meskipun tetap memanggilnya abang. Penampilannya
sungguh mengkhianati kenyataannya. Semua orang tahu ia tukang menyalakan kompor
yang baik dan setelah itu membiarkan anak-anak lain menggoreng. Meski lebih tua
dari Martin dan Leo, Pat selalu menunjukkan sikap seperti seumuran dengan
Martin dan Leo meskipun kadang-kadang juga ia menggunakan senioritasnya untuk
kepentingan-kepentingan tertentu. Pat kuliah jurusan Kesehatan Masyarakat dan
tak ada tanda-tanda akan menyelesaikan kuliah. Ia bilang, teorinya sudah
selesai tinggal skripsi. Tiap kali ada yang bertanya, bab berapa sekarang
‘abang’ ? ia akan menjawab dengan ketakpedulian yang sempurna ‘bablas kawan’. Lama-lama
mereka yang suka bertanya dengan satu tujuan agar ia termotivasi menjadi bosan
dan berpikir apa ia tak punya jawaban lain?
“Saya mau jual itu motor, kalau ada temanmu yang
mau beli motor, bilang saja,” kata Pat tiba-tiba dengan suara berat.
“Oke. Kau lepas berapa?”
“5 atau 6 jutaan.”
“Satria Fu second sekarang 8 atau 10 juta, terlalu
murah itu. ”
Mereka diam lagi. Pat tak menanggapi seolah-olah
meminta Martin memahami keadaannya.
“Saya sudah terlambat,” kata Martin tiba-tiba.
Nada suaranya sama sekali tak menunjukkan rasa panik karena keterlambatan.
Datar dan biasa saja. Ia lantas menghilang dari pintu. Terdengar suara keras
berlari mengikuti kakinya.
“Kalau ada yang minat, nanti saya beritahu kau!”
Berlari cepat dalam hitungan detik. Suasana kebali
seperti semula. Beku.
Pat masih tidur-tiduran bolak-balik badan ke sana
kemari. Spon juga ikut bergeser ke sana kemari. Tubuhnya mulai mengeluarkan
keringat dan ia merasakan kepalanya berdenyut seperti seseorang sedang menancap
jarum dalam kepalanya.
Kini, Martin tergesa-gesa mengenakan celana panjang
Calvin Klein imitasi dan kaos polo warna hijau lumut, berlari menuju keran,
membasuh mukanya dan membasahi rambutnya kemudian membasahi celana imitasi itu
agar terlihat lebih cerah. Ia masuk lagi ke kamar, melap wajah dan rambutnya
dengan anduk biru dengan warna coklat abu-abu bertebaran seperti pulau. Ia raih
tasnya dan lari seperti dikejar sepasukan tentara abat pertengahan. Keringat
mulai membasahi kaos polonya. Ia melintasi parkiran, menghindari
mahasiswa-mahaswa lain, dan naik tangga menuju ruang 22.
Bersambung ke Akhir Bulan #2 di sini