Angin Rumput Sabana


* cerpen saya di harian Suara Merdeka, 6 April 2014


DI pesisir Pantai Kambera, berdiri sebuah gubuk reyot, beratap alang, berdinding anyaman bambu dan beralas pasir putih. Dari situ jalan setapak itu bermula. Panjang seperti ular membelah padang sabana, melewati jalan beraspal menuju Mondu, terus memanjang ke balik bukit kering dan berbatu cadas di sisi utara.


Setiap pagi berhalimun, kala aku melintasi jalan beraspal menuju Mondu, pada jalan setapak itu melangkah seorang perempuan tua dengan langkah cepat dan tetap. Berkerudung kain hitam, berbaju putih dibalut kain sarung cokelat kemerah-merahan melingkar di pinggulnya. Di pundaknya tergantung sebuah cukulele dan bakul dari anyaman daun tuak. Tangan kanannya menggenggam sebuah periuk hitam.

Pada lain waktu pada penghujung minggu, usai rapat sekolah yang menguras tenaga sampai sore, aku menolak ajakan Umbu Remu menikmati satu dua gelas tuak dengan penolak ikan bakar.

‘’Satu dua gelas saja, Pak Guru,’’ pinta Umbu Remu.

Aku harus pulang, sebelum malam menjejak, memanjang, merajai padang sabana yang luas. Seiring dengan pasang naik, dari pesisir pantai nelayan-nelayan mulai melaut. Setelah jalan membelok menanjak meninggalkan pesisir Pantai Kambera kuhentikan motor di sisi kiri jalan Mondu yang sepi. Keinginan membuang air kecil tak dapat ditahan. Sayup-sayup di sela embusan angin rumput sabana terdengar tembang pilu diiringi petikan cukulele mendayu-dayu timbul tenggelam.

‘’Umbu Palindi, Umbu Palindi! Lelaki pengembara! Sayangku, kekasih hati! Angin rumput sabana beraroma tubuhmu! Cepat kau kembali!’’ katanya. Dilantunkan oleh suara panjang melengking berujung sedu sedan dan isak tangis. Sekejap bulu kuduk merinding dan ketakutan merayap ke seluruh tubuh. Tanpa berlama-lama, kuhidupkan motor dan kupacu sekencang-kencangnya jauh meninggalkan tembang mirip lolong itu.

Dan selalu saja setiap pagi berhalimun masih tetap muncul perempuan yang melangkah cepat dan tetap membelah padang sabana entah menuju ke mana. Selalu dengan kerudung yang sama, baju putih yang sama, cukulele, bakul dan periuk hitam. Pada sore hari ketika aku terlambat pulang karena tugas memberi les privat, dan setelah menolak ajakan Umbu Remu menikmati satu dua gelas tuak, selalu kudengar tembang pilu melengking diiringi petikan cukulele mendayu- dayu murung membunuh suara deru motor menyelinap di sela-sela helm. Seperti biasa, bulu kuduk merinding dan ketakutan merayap ke seluruh tubuh lantas kupacu motor sekencang-kencangnya.
***
KIRA-KIRA baru sebulan lamanya aku bekerja sebagai guru matematika di salah satu sekolah negeri di Kecamatan Mondu. Banyak hal yang belum kuketahui tentang tempat ini. Hanya teman-teman guru dan seorang nelayan bernama Umbu Remu yang baru kukenal dekat. Memang pihak sekolah menyediakan mes guru untukku tetapi untuk beberapa bulan ke depan aku meminta izin agar berangkat dari rumahku di Waingapu. Istriku sedang mengandung enam bulan. Jarak Waingapu-Mondu kira-kira belasan kilometer. Jadilah aku harus berangkat pagi-pagi sekali sebelum mentari menyembul di ufuk timur dan bel sekolah berdentang.

Mula-mula aku menyangka petikan cukulele itu datang dari anak-anak gembala yang mengiring kuda-kuda sandel menuju kandangnya sekembali memandikan mereka di pantai. Tetapi biasanya anak-anak gembala itu suka berdendang riang dengan petikan cukulele bernada riang pula. Tangisan mirip lolong berujung sedu-sedan dan isak tangis serta petikan cukulele yang muram, jelas bukan dari anak-anak gembala. Kadang terpikir olehku suara itu suara kuntilanak atau roh-roh penunggu padang sabana atau penghuni tebing-tebing cadas di utara padang sabana.

Lama-lama bayangan perempuan berkerudung hitam dan tembang mirip lolong itu rasa-rasanya mengikuti ke mana pun aku pergi dan selalu membikin bulu kuduk merinding dan ketakutan yang menyerang tiba-tiba, apalagi kala mengendarai motor di jalan yang sepi.

Sekali waktu kuterima ajakan Umbu Remu menikmati satu dua gelas tuak dengan penolak ikan bakar. Tanpa basa-basi di antara bau asin ikan dari tempat penjemuran kutanyakan perihal perempuan berkerudung hitam dan tembang mirip lolong itu.


‘’Jadi Pak Guru belum dengar cerita tentang janda Rambu Kahi?’’ tanya umbu Remu sambil menuangkan tuak ke dalam gelas kaca kecil kemudian menyodorkan padaku.

‘’Belum.’’


‘’Juga peristiwa lima tahun lalu?’’
‘’Belum. Peristiwa apa?’’

Kuteguk seperempat gelas tuak pemberian Umbu Remu. Tenggorokan terasa panas lantas kusambar ikan bakar. ‘’Aku orang baru di sini.’’

‘’Kasihan, Pak Guru, sungguh kasihan. Terlalu cepat kebahagiaan pergi. Peristiwa lima tahun lalu telah membikin Rambu Kahi jadi begitu,’’ ujar Umbu Remu muram.

‘’Apa yang terjadi?’’

‘’Mereka baru setahun menikah,’’ Umbu Remu memulai. ‘’Perempuan mana yang tak ingin bersuamikan Umbu Palindi? Lelaki pemberani, pengembara lautan. Ia pujaan bunga-bunga Mondu. Cinta Umbu Palindi hanya untuk Rambu Kahi seorang. Rambu Kahi, dara cantik berhati malaikat. Mereka menjalin kasih dan menikah. Bakal jadi keluarga bahagia. Setiap Umbu Palindi berangkat melaut, Rambu Kahi memerlukan mengantar ke tepi laut dan menunggu sampai sampan jadi titik hitam di kejauhan laut. Rambu Kahi kan selalu menunggu ia kembali. Di gubuk itu biasa ia akan menunggu suaminya mendarat.’’

‘’Biasanya, Pak Guru,’’ lanjut Umbu Remu. ‘’Untuk membunuh kebosanan ia berdendang riang diiringi Cukulele sambil mata terus menggerayangi lautan lepas. Bakul dari anyaman daun tuak itu selalu berisi petatas rebus, ubi goreng, dan sambal. Sesaat setelah suaminya dan nelayan lainnya mendarat, Rambu Kahi menggelar bawaannya untuk dinikmati semua nelayan sambil bercerita tentang cuaca di tengah laut, ombak, angin, jaring dan hasil tangkapan ikan yang tak menguntungkan. Jauh dari harapan. Bagi seluruh nelayan di pesisir Mondu, Rambu Kahi adalah perempuan luar biasa. Sungguh beruntung Umbu Palindi. Sayang sekali kebahagian itu berumur pendek…,’’ Umbu Remu berhenti sebentar meneguk segelas tuak.


‘’Waktu itu musim penghujan, angin bertiup kencang, laut ganas. Hampir semua nelayan di pesisir Mondu tak melaut. Umbu Palindi tetap menyiapkan sampan dan pukatnya berangkat melaut diiringi isak tangis Rambu Kahi. Memang dia lelaki pemberani. Berkali-kali di tengah laut ganas ia berangkat melaut dan selalu kembali dengan sampan penuh ikan. Dia sahabat baik, pengembara lautan. Dia pernah mengungkapkan niatnya memiliki sebuah perahu bermesin. Niat itu hampir terwujud. Mendadak anak Umbu Marambi sakit keras dan tak punya uang untuk berobat. Umbu Palindi dengan tulus memberikan simpanannya untuk biaya berobat anak Umbu Marambi. Ia sangat peduli terhadap kehidupan sesama nelayan.’’

‘’Tetapi kali ini…,’’ Umbu Remu melanjutkan setelah menyodorkan gelas berisi tuak padaku. ‘’Pengembara lautan kami itu, sahabat terbaik kami itu, tak pernah kembali hingga kini.’’

‘’Nelayan-nelayan yang melaut tak pernah menemukan jejak Umbu Palindi. Awalnya kami tak percaya dia hilang, namun kami menerima juga kenyataan bahwa Umbu Palindi takkan pernah kembali,’’ Umbu Remu menarik nafas panjang. Matanya berkaca-kaca.

Rambu Andung, istri Umbu Remu datang menghidangkan ikan bakar dalam sebuah talam. ‘’Sejak saat itu Rambu Kahi jadi begitu,’’ tambah Rambu Andung. ‘’Ia meninggalkan rumahnya dan tinggal di gubuk di pesisir Pantai Kambera, gubuk tempat nelayan biasa beristirahat, ia mengamuk saat kami hendak melaksanakan upacara menguburkan sampan tua milik Umbu Palindi sebagai tanda penghormatan kami.’’

‘’Umbu Palindi akan kembali, suamiku akan kembali, sayangku, kekasih hatiku. Angin rumput sabana beraroma tubuhnya, angin rumput sabana beraroma tubuhnya!’’ begitu ia berteriak, meraung-raung, mengancam setiap dari kami.

‘’Setiap pagi, Pak Guru,’’ sambung Umbu Remu lagi. ‘’Ia selalu pergi ke bukit di utara sana itu, dari situ ia bisa melihat hamparan lautan lepas, sampan-sampan, perahu-perahu nelayan terlihat dengan jelas. Dari situ ia menunggu Umbu Palindi. Setiap ada sampan atau perahu menepi ia akan berlari menuruni bukit, menyusuri jalan setapak membelah padang sabana sambil berteriak, ‘Umbu sayangku, Umbu sayangku, kau telah kembali!’ kemudian ia akan terisak-isak menangis ketika mendapati di sampan itu bukan Umbu Palindi.’’

‘’Kami yang ibu-ibu sering mengajaknya pulang, ia jawab dengan ancaman hendak membunuh siapa saja yang menyuruhnya pulang,’’ ujar Rambu Andung.

‘’Begitu terus selama tiga tahun ini, pak guru, tak ada yang berani mengajaknya pulang. Dan pada tahun-tahun terakhir ini, menjelang malam selalu kami dengar tembang pilu diiringi petikan cukulele mendayu-dayu timbul tenggelam datang dari padang sabana di bawah oleh angin rumput sabana, menyentuh pedalaman perasaan hati kami, membangkitkan bayang-bayang Umbu Palindi,’’ ujar Umbu Remu murung.

‘’Ibu-ibu yang mendengar tembang itu akan menangis tersedu-sedu mengenang nasib Rambu Kahi dan segala yang terjadi bertahun-tahun dahulu itu.’’

‘’Dan kalian tidak merasa terganggu?’’ tanyaku.

‘’Sudah biasa, Pak Guru, rasa-rasanya kalau mendengar tembang itu Umbu Palindi masih ada di antara kami, bau tubuhnya dapat kami rasakan dalam desir angin rumput sabana,’’ jawab Umbu Remu tegar.

Rasa haru menjalar ke seluruh tubuh mendengar cerita itu. Perempuan berkerudung itu dan tembang pilu diiringi petikan cukulele mendayu-dayu itu. dalam perjalanan pulang setelah jalan membelok menanjak meninggalkan pesisir Pantai Kambera, masih terdengar jua tembang pilu berujung sedu sedan dan isak tangis diiringi petikan cukulele mendayu-dayu.

‘’Umbu Palindi, Umbu Palindi! Lelaki pengembara! Sayangku, kekasih hati! Cepat kau kembali!’’


Keesokan hari, pagi-pagi sekali tak kutemukan perempuan berkerudung bernama Rambu Kahi itu lagi. Padang sabana kosong melompong dan jalan setapak itu tampak kesepian. Jauh di pesisir Pantai Kambera orang-orang ramai mengerubungi gubuk yang ditempati Rambu Kahi. Kabarnya beberapa anak gembala melihat dengan mata kepala mereka sendiri Rambu Kahi mengayun sampan tua membelah deru ombak. Banyak orang tak percaya. Berhari-hari mereka menunggui gubuk itu. Untuk beberapa hari tak terdengar tembang pilu itu dan petikan cukulele yang muram. Berminggu-minggu lamanya batang hidung Rambu Kahi tak juga muncul. Orang-orang mulai menyisir pantai, kalau-kalau ada tubuh perempuan terdampar. Tak juga ada. Orang-orang memutuskan membuat upacara menguburkan cukulele, bakul, periuk Rambu Kahi sebagai tanda penghormatan.

Kini, di sepanjang padang sabana yang membentang luas di pesisir pantai Kambera, sebelum malam menjejak, memanjang, merajai padang sabana yang luas itu bertiup angin rumput sabana, berdesis murung kemudian bangkit tembang pilu diiringi petikan cukulele mendayu-dayu timbul tenggelam. Dilantunkan oleh suara panjang melengking berujung sedu sedan dan isak tangis. Setiap orang yang baru melewati padang sabana itu atau mereka yang pergi bertamasya ke Pantai Kambera dan pulang dikala malam menjejak dan merasakan desis angin rumput sabana, bulu kuduknya merinding dan ketakutan merayap ke seluruh tubuh. Kendaraan kemudian dipacu sekencang-kencangnya jauh meninggalkan tembang mirip lolong itu. (62)


Baciro, Maret 2014


— Bonifasius Martinus Bulu, lahir di Weetebula, Sumba Barat Daya, NTT pada 5 juni 1990. Saat ini bermukim di Yogyakarta berkuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan pada Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.