*Catatan Pengantar
dalam buku Pramoedya Ananta Toer dan Realisme Sosialis
Oleh: Eka
Kurniawan
Hakikat
seni telah lama diperbincangkan dan diperdebatkan. Pembicaraan masalah tersebut
seringkali muncul di antara para Filsuf maupun kritikus seni. Membicarakan
masalah hakikat seni pada akhirnya akan kembali kepada para seniman yang
berdiri di belakang setiap karya seni. Tidaklah mungkinmembicarakan seni
sebagai realitas independen – yang hadir begitu saja- tanpa pertarungan konsep,
ideologi, dan/atau filsafat dalam benak seniman. Maka, keberpihakan seniman
memiliki konsekuensi keberpihakan seni. Membicarakan seni, pada akhirnya
membicarakan gagasan-gagasan dari manusia-manusia yang berkarya di belakang
penciptaan karya sei itu sendiri.
Dalam
sejarah perkembangannya, keberpihakan seni dan seniman ini, tampaknya lebih
cenderung menempatkan seni dan ( juga) kebudayaan sebagai mendia untuk
mempengaruhi pola pikir, kebiasaan, serta selera masyarakat yang diarahkan
untuk berpihak pada struktur yang berkuasa, baik ekonomi, sosial, maupun
politik. Misalnya, di zaman masyarakat masih mempercayai mitologi, seni dipakai
untuk menanamkan mitos-mitos ke dalam benak masyarakat. Di sini seni tampak
menjadi agen kekuasaan para dewa, dan dengan demikian, juga oran-orang tertentu
yang diangkat sebagai wakil para dewa di dunia. Kasus serupa terjadi pula dalam
birokrasi gereja selama abad pertengahan, di mana seni harus mengabdi pada
keagungan dan kepentingan gereja dengan dogma-dogma serta ajaran-ajaran yang
harus disampaikannya ke dalam pikiran masyarakat, yang pada akhirnya menuntut
masyarakat untuk mengakui kekuasaan gereja.
Hubungan
seni dan kekuasaan semacam ini terus berlanjut selama sejarah peradaban
manusia. Contoh lain, di masa lahirnya revolusi industri- yang ditandai dengan
berkuasanya modal atas kerja manusia- seni kembali harus mereposisi perannya.
Kapitalisme yang didukung kekuatan modal memaksa seni untuk berpihak pada dirinya hingga akhirnya muncul istilah
aplicated art serta pop art, yang semuanya mengacu pada seni yang dijual. Di
sini telah ditempatkan sebagai komoditas, dan keindahan seni mulai diukur
dengan uang serta hubungannya dengan keuntungan kapital.
Fenomena
ini antara lain ditangkap oleh Antonio Gramsci sebagai suatu cara kelas dominn
atau yang berkuasa untuk menghegemoni masyarakatnya. Di sini seni dipergunakan
sebagai alat penghegemoni dengan cara melakukan dominasi terhadap budaya dan
ideologi masyarakat. Hal ini biasanya dilakukan karena paksaan atau tekanan
secara fisik- represif dianggap tak dapat diharapkan lagi untuk melakukan
kontrol sosial. Hegemoni sebagai inti
pemikiran kebudayaan Gramsci dapat dikatakan sebagai pemaksaan
terselubung, di mana cara pandang, cara berpikir, ideologi, atau kebudayaan
kelas yang mendominasi secara sengaja digunakan untuk mempengaruhi golongan
yang didominasi. Alat penghegemoni ini biasanya meliputi birokrasi, pendidikan,
informasi serta beragam alat termasuk keseniaan.
` dalam
lingkup kesenian, hegemoni senantiasa muncul berupa produk-produk kesenian
massal yang serba seragam, yang bahkan masuk kepada wilayah-wilayah
ekspresi-ekspresi artistik publik, dan secara nyata membunuh kreativitas.
Contoh hegemoni seperti ini dapat ditemukan di wilayah-wilayah pedesaan atau
kampung –kampung, di mana masyarakat dibuat tidak berdaya pada kehendak kelas
yang dominan, dalam hal ini aparatur negara. Melalui pintu-pintu gapura yang
seragam, warna pagar yang sama, atau pementasan sandiwara yang lebih bersifat
mempropagandakan program-program pemerintah, negara dengan sengaja melakukan
hegemoni terhadap selera artistik masyarakat. Kebijakan sensor dalam seni juga
erat kaitannya dengan hegemoni kesenian yang dimaksud.
Seni
sebagai agen kemapanan, di satu sisi pada akhirnya menimbulkan konflik
tersendiri di dalam dirinya. “ karena seni sesungguhnya pemberontakan,” kata
Albert Camus, seorang filsuf dan seniman
prancis. Tendensi-tendensi pemberontakan seni, merupakan prasarat bagi lahirnya
kreativitas. Jika selamanya seni melulu mengabdi pada kekuasaan-yang nota bene
berarti kemapanan-maka seni akan kehilangan sumber dayanya yang paling utama,
yaitu kreativitas. Dan dengan sendirinya seni mati sebagai seni. Pandangan
semacam ini sangat dekat dengan gagasan atau prinsip-prinsip dialektika, di
mana perubahan bergulir secara terus menerus sebagai jawaban atas struktur yang
cenderung mempertahankan kemapanan.
Pemberontakan
seni, mau tak mau, pada akhirnya memunculkan suatu arus baru dalam berkesenian
aliran-aliran baru yang muncul, merupakan representasi adanya gerak dialektis
dalam berkeseniaan sebagai antitesis terhadap aliran-aliran sebelumnya.
Pada tahap
awal perkembangan pemberontakan seni, kondisi –kondisi seperti ini kemudian
menciptakan apa yang belakangan disebut seni kritis. Namun dalam kritisisme
tradisional, seni lebih cenderung memuja gagasan ketidakterikatan (
detachment), satu hal yang berbeda dengan apa yang terjadi dewasa ini.
Kritisisme historis- sebuah aliran kritisisme baru- lebih cenderung menempatkan
seni dalam pola-pola sosial, melalui gagasan bahwa tugas etis manusia adalah “
mengubah dunia melalui tindakan historis, di mana tugas historis itu sendiri
hanya dapat dilakukan- seperti diasumsikan Hegel dan Marx- jika manusianya
sendiri sepenuhnya historis.
Pemberontakan
seni hadir untuk melawan dominasi, yang dari beberapa pemikiran Karl Marx dapa
disimpulkan bahwa seni harus mengabdi pada revolusi dan kepentingan rakyat.
Seni secara rasional mentransformasikan sejarah menjadi keindahan mutlak, dan
pemberontakan seniman terhadap kenyataan dunia- menurut Camus- mengandung
penegasan yang sama seperti pada pemberontakan spontan kaum tertindas. Dengan
ungkapan lain, Leon Trostsky menyatakan bahwa pemberontakan seni lahir sebagai
ungkapan perjuangan manusia untuk memperoleh hak-haknya yang dirampas oleh
struktur yang berkuasa. Ini semakin membuktikan bahwa pemberontakan seni
merupakan awal dari tendensi-tendensi baru dalam berkeseniaan.
Ditinjau
dari sudut pandang ini, pemberontakan seni sama artinya dengan menjadikan seni
menjadi media bagi terciptaknya kebebasan. Dalam struktur masyarakat yang
menindas, seni diciptakan sebagai media penyadaran bagi rakyat tertindas, dan
seni semacam ini jelas sekali keberpihakannya terhadap rakyat. Konsep
penyadaran-dalam hal ini diadopsi dari pemikiran Paulo Freire- berarti mencoba
memahami kontradiksi-kontradiksi suatu struktur sosial, politik maupun ekonomi)
agar dapat mengambil tindakan untuk melawan atau memberontak terhadap struktur
yang menindas tersebut. di sini, seni menjadi ajang dialog bagi terciptanyaa kesadaran
( sosial, politik, maupun ekonomi) masyarakat.
Pandangan
ini sesungguhnya bertolak belakang dengan gagasan plato mengenai dunia ide, di
mana Plato melihat seni tak lebih dari sekadar tiruan dari benda atau keadaan
alam sebagaimana alam itu sendiri tak lebih dari tiruan terhadap hal-hal dalam
dunia ide. Namun, dalam konsep penyadaraan, tujuan seni justru tidak terdapat
pada peniruaanya, melainkan pada pemberian gaya. Kembali menurut Camus, seni
merupakan wahana di mana alam ditangkap dan diletakkan dalam sebuah ekspresi
yang sarat makna. Karena itu juga, bagi Camus tidak mungkin ada seni yang tanpa
makna ( nonsens).
Permasalahanya
kemudian, makna apa yang diambil oleh seorang seniman dewasa ini dalam berkarya
seni. Menyimak analisis Trotsky, merosotnya keberadaan masyarakat borjuis telah
semakin memperparah kontradiksi-kontradiksi sosial sehingga semakin memperlebar
pula jurang kelas. Pada akhirnya hal tersebut ditransformasikan menjadi
kontradiksi-kontradiksi personal, yang semakin menyuarakan kebutuhan akan seni
yang membebaskan. Seni kemudian ditempatkan sebagai suatu media aksi kultural,
seni menjadi semacam gerakan resistensi sosial yang juga berfungsi sebagai
counter terhadap- kembali meminjam istilah Gramsci- hegemoni dominan. Di sini
seniman menempatkan dirinya sebagai agen komunikasi bagi penderitaan
rakyat-masyarakat tertindas yang tak berdaya melawan hegemoni dominan-melalui
karya seni.
Dalam sebuah
perbincangan, Camus pernah mengungkapkan bahwa seniman kadangkala memang
dinilai tak memiliki urusan apapun dengan realitas dunia. Namun baginya,
seniman tetaplah manusia, sehingga mengerti realitas dunia merupakan suatu hal
yang tetap perlu bagi mereka. Para pekerja tambang yang diperas dan ditembaki,
budak-budak kamp kerja paksa, para penduduk daerah jajahan, kumpulan semua
orang tertuduh di seluruh dunia- mereka membutuhkan bantuan dari orang-orang
yang mampu. Seniman dan karyanya, semestinya ada untuk itu.
Realisasi
komitmen tersebut adalah dengan cara memasukkan relevansi sosial ke dalam karya
seni, bahkan termasuk muatan-muatan yang berdimensi protes pun masih masih
relevan untuk dimasukkan ke dalam seni. Hal tersebut sesungguhnya tidak hanya
menjadi wahana bagi komitmen terhadap keberpihakan kerakyatan, namun juga akan
membentuk gagasan-gagasan estetis yang lebih kreatif, dan berguna dalam rangka
membentuk pola pemikiran estetika yang baru.
Kritisme
seni muncul jika keseluruhan budaya, dari basis ekonomi hingga ideologi
mengalami krisis, di mana seni- kembali lagi- tidak dapat menjauhkan diri dari
semua itu. kemunculan aliran-aliran baru dalam dunia artistik – kubisme,
futurisme, dadaisme, surealisme-semakin memperkokoh pemberontakan seni terhadap
krisis yang melanda masyarakat, dan ini tampaknya tidak akan pernah menemukan
titik akhir. Seni dan masyarakat selalu berdialektika untuk menemukan
konsepsi-konsepsi baru yang membebaskan.
Namun
demikian, usaha memperbaiki seluruh krisis yang melanda melalui medium seni
adalah benar-benar mustahil dilakukan kecuali secara revolusioner. Hal inilah
yang kemudian ditangkap oleh banyak kalangan seniman “ kiri”, terutama di masa
awal revolusi rusia . revolusi Bolshevik di rusia, dalam sejarahnya- baik
langsung maupun tidak langsung- telah memberi banyak dorongan terhadap
tumbuhnya aliran seni macam ini. Pada titik inilah kemudian lahir apa yang
disebut “ realisme sosialis” dalam wacana seni dan kebudayaan sebagai alat perjuangan
kelas.
Klaim
realisme sosialis ini secara sederhana bisa dikatakan mendasarkan diri pada
teori dialektika Marx, di mana realitas diletakkan sebagai esensi dari hal-hal
yang tampak ( materi). Dalam tradisi rusia, realisme sosialis sebagai aliran estetis
dilembagakan keberadaannya menjadi semacam ideologi atau paham yang dianut oleh
sastrawan atau seniman. Namun dalam pandangan george Lukacs, seorang filsuf dan
kritikus sastra Hungaria yang sempat tinggal di Moskow, secara kritis realisme
sosialis Rusia sesungguhnya tidak sepenuhnya didasarkan pada dialektika
materealisme yang menjadi prinsip pengetahuan sejarah Marx. Realisme sosialis
Rusia, menurutnya, lebih cenderung menjadi gerakan seni di mana penempatan
metode artistik ditinjau melulu dalam kaitannya dengan kepentingan partai (
dalam hal ini partai komunis yang berkuasa)
Hal ini
berkaitan erat dengan reaksi birokratik Rusia di masa Stalin yang dengan
kekuasaan totaliternya telah menindas kreasi artistik. Seni telah dibelenggu
menjadi sekadar jalan untuk mengangungkan dan menciptakan mitologi bagi
keberlangsungan partai, dengan cara berlindung di balik topeng gerakan realisme
sosialis, yang- kembali menurut Lukacs- memiliki makna berbeda sama sekali.
Lucaks
sendiri berpendapat bahwa realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni
yang berdasarkan kontemplasi dialektis antara seniman dengan lingkungan
sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempat berada.
Hakikat dari realisme sosialis ini sunguh-sungguh menempatkan seni sebagai
wahana keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing ( teralienasi, dalam
istilah Marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki
kebebasan.