“Bunuh dia! Jangan biarkan dia hidup!" Teriak mereka.
Orang-orang kampung ramai-ramai berlarian menuju pohon beringin di ujung kampung. Ada yang bawa golok, kayu besar, batu, diiringi makian-makian kasar.
“Pencuri itu tertangkap,” kata mereka.
“Pencuri yang mana?” Tanya yang lain.
“Itu yang sering mencuri ayam, babi, kambing kita.”
“Bunuh dia, jangan biarkan dia hidup,” teriak mereka lagi- ramai-ramai.
Di bawah pohon beringin itu tempatnya. Orang kampung ramai-ramai tua- muda, perempuan- laki-laki dengan golok, kayu, dengan tangan, kaki, menendang, memukul, diiring kata-kata kotor dan makian-makian pada laki-laki itu dengan kejam. Mereka tak peduli. Mereka telah termakan amarah. Mereka terus memukul, memotong, menendang laki-laki itu. Hingga amarah mereka telah redah, mereka meninggalkan dia begitu saja sambil melontarkan sumpah serapah.
“Mati kau pencuri sialan, mampus kau!”
Orang-orang kampung ramai-ramai berlarian menuju pohon beringin di ujung kampung. Ada yang bawa golok, kayu besar, batu, diiringi makian-makian kasar.
“Pencuri itu tertangkap,” kata mereka.
“Pencuri yang mana?” Tanya yang lain.
“Itu yang sering mencuri ayam, babi, kambing kita.”
“Bunuh dia, jangan biarkan dia hidup,” teriak mereka lagi- ramai-ramai.
Di bawah pohon beringin itu tempatnya. Orang kampung ramai-ramai tua- muda, perempuan- laki-laki dengan golok, kayu, dengan tangan, kaki, menendang, memukul, diiring kata-kata kotor dan makian-makian pada laki-laki itu dengan kejam. Mereka tak peduli. Mereka telah termakan amarah. Mereka terus memukul, memotong, menendang laki-laki itu. Hingga amarah mereka telah redah, mereka meninggalkan dia begitu saja sambil melontarkan sumpah serapah.
“Mati kau pencuri sialan, mampus kau!”
Laki-laki
itu tak bisa buat apa-apa. Ia babak belur. Darah keluar dari mana-mana.
Mengucur deras. Darah keluar dari telinganya, darah keluar dari matanya,
hidungnya, mulutnya, dari luka-luka yang menganga lebar di sepajang tubuhnya.
Kakinya patah, jari-jari tangannya terlepas. Darah mengalir deras. Melumat
debu-debu di bawah pohon beringin itu. Bau amis meruap dari sana. Untung
mereka tak membunuh jiwanya, mereka tak mencabut nafasnya. Ia merintih
kesakitan.
Matanya
yang berlumuran darah itu menatap ke atas. Dengan tenaga tersisa ia meminta, “Air, air, air, beri aku air.....!!" Guntur menggelegar, kilat melepaskan
cahayanya, awan hitam menyelimuti perkampungan itu. Semakin lama semakin hitam.
Laki-laki itu terus merintih “Air, air! beri aku air.....!!"
Saat itu dari balik awan hitam hujan turun dengan deras. Laki-laki itu berhenti merintih. Ia membuka mulutnya lebar-lebar. Air hujan meluncur masuk dengan derasnya ke dalam mulutnya, mengalir melalui tenggorokan, masuk ke paru-paru, jantung, ke pembulu- pembulu darah, ke dalam kepalanya mengalirkan kekuatan. Hujan semakin deras membasahi tubuhnya, luka-lukanya, air itu menarik darah-darah di luar masuk kembali ke dalam tubuhnya. Luka-lukanya tertutup rapat, tangannya tersambung kembali, kakinya kuat kembali. Di tengah derasnya hujan, gemuruh guntur dan pancaran kilat. Dari bawah pohon beringin itu. Laki-laki itu berdiri kembali dengan kuatnya, melihat kesana-kemari, tubuhnya basah kuyup. Tak ada lagi darah, tak ada lagi luka. Ia meraih karung putih berisi beras dan ubi hasil curianya dan menghilang di tengah derasnya hujan melewati semak-semak, hutan-hutan, kampung-kampung di tengah hujan lebat.
Saat itu dari balik awan hitam hujan turun dengan deras. Laki-laki itu berhenti merintih. Ia membuka mulutnya lebar-lebar. Air hujan meluncur masuk dengan derasnya ke dalam mulutnya, mengalir melalui tenggorokan, masuk ke paru-paru, jantung, ke pembulu- pembulu darah, ke dalam kepalanya mengalirkan kekuatan. Hujan semakin deras membasahi tubuhnya, luka-lukanya, air itu menarik darah-darah di luar masuk kembali ke dalam tubuhnya. Luka-lukanya tertutup rapat, tangannya tersambung kembali, kakinya kuat kembali. Di tengah derasnya hujan, gemuruh guntur dan pancaran kilat. Dari bawah pohon beringin itu. Laki-laki itu berdiri kembali dengan kuatnya, melihat kesana-kemari, tubuhnya basah kuyup. Tak ada lagi darah, tak ada lagi luka. Ia meraih karung putih berisi beras dan ubi hasil curianya dan menghilang di tengah derasnya hujan melewati semak-semak, hutan-hutan, kampung-kampung di tengah hujan lebat.
**
Melewati tiga perkampungan di tepi hutan pada rumah
rewot beratap alang. Wanita itu terus merayu anaknya yang terus merintih,
“Bu, lapar saya mau makan,” rintihnya.
“Ia nanti Papa pulang ya, baru makan, Papa bawa makanan enak , ada daging ayam, ikan, daging kambing, ada pisang, apel, nangka, ade mau yang mana?”
“Daging ayam saja, enak Ma,”
"Makanya ade jangan menagis, biar Papa kasih daging ayam,” katanya merayu agar anaknya tak menangis terus.
“Bu, lapar saya mau makan,” rintihnya.
“Ia nanti Papa pulang ya, baru makan, Papa bawa makanan enak , ada daging ayam, ikan, daging kambing, ada pisang, apel, nangka, ade mau yang mana?”
“Daging ayam saja, enak Ma,”
"Makanya ade jangan menagis, biar Papa kasih daging ayam,” katanya merayu agar anaknya tak menangis terus.
Dalam hatinya ia tak tega menipu anaknya yang masih
kecil itu, mau bagaimana lagi begitulah caranya dari pada ia terus menangis?
Padahal pada kenyataanya hidup tak lagi enak dijalani. Beras tak ada, uang tak
ada. Ia mau bekerja tak ada tempat kerja. Lagi pula ia hanya tamat SD, mana ada
yang mau menerimanya bekerja. Tanah di pinggir hutan ini tak lagi subur. Musim
kemarau yang berkepanjangan, hujan tak turun membuat tanahnya menjadi kerdil.
Jagung yang ia tanam minggu lalu kini telah terbakar oleh panas matahari. Sedangkan
sisah panen tahun lalu telah habis. Makanan menta dari hasil hutan tak lagi
sebaik dulu. Truk-truk besar sering masuk keluar hutan membawa berkubik-kubik
kayu. Setiap malam terdengar raungan mesin pemotong kayu. Hutan-hutan telah
ditebang orang-orang desa untuk dijual. Berharap dari kerja suaminya yang ia
sendiri tak tau apa pekerjaannya. Pulang pagi hari atau bahkan berhari-hari
dengan membawa beras dan uang secukupnya. Kalau tidak tak akan ada apa-apa.
Hah, kini masa depan semakin susah untuk ditatap dengan kepala tegak. Semuanya
begitu sulit.
“ Ma, lapar!"
“Tenang sebentar lagi bapak pulang.”
“Tenang sebentar lagi bapak pulang.”
Di
tengah hujan lebat terdengar bunyi pintu di ketuk. Ia cepat bangun dan membuka
pintu. Suaminya masuk dengan tubuh basah kuyup, nafas terengah-engah, matanya memerah. Ia cepat-cepat menutup
pintunya kembali.
“Ada apa Pa?"
“Tak ada apa-apa, saya cuma kedinginan.”
Ia
menyerahkan karung berisi beras pada istrinya.
“Cepat
masak, saya sudah lapar.”
“Pa, Papa dari mana? Mana ikannya Pa, ada daging ayam?” Tanya anaknya.
Ia
tidak menjawab. Ia mengganti bajunya dengan baju yang kering. Membaringkan
tubuhnya di atas tempat tidur dari bambu. Ia menutup mata. Masih terbayang
olehnya orang-orang desa itu. Memotongnya.....ah....
Tiga bulan sudah berlalu. Orang desa
yang merasa sudah membunuh pencuri itu kini merasa resah lagi. Dua minggu lalu,
rumah kepala desa dimasuki pencuri. Semua perhiasan dan barang-barang lain
dibawa kabur. Setelah peristiwa itu berturut-turut beberapa rumah di desa itu
dimasuki pencuri. orang-orang desa mulai berembuk. Jaga malam diperketat.
Orang-orang kampung kini mulai tidur tidak terlalu nyenyak dari biasanya.
Lemari-lemari dikunci rapat-rapat. Ada pencuri misterius.
Satu
minggu kemudian.
“Bunuh
dia! Jangan biarkan dia hidup!" Teriak mereka.
Orang-orang kampung ramai-ramai berlarian menuju pohon beringin di ujung kampung. Ada yang bawa golok, kayu besar, batu. Diiringi makian-makian kasar.
“Pencuri itu tertangkap,” kata mereka.
“Pencuri yang mana?” tanya yang lain.
“Itu yang sering mencuri ayam, babi, kambing kita,”
“Bunuh dia, jangan biarkan dia hidup,” teriak mereka lagi- ramai-ramai.
Di bawah pohon beringin itu tempatnya. Orang kampung ramai-ramai tua- muda, perempuan- laki-laki dengan golok, kayu, dengan tangan, kaki, menendang, memukul, memotong diiring dengan kata-kata kotor dan makian-makian pada laki-laki itu dengan kejam. Mereka tak peduli. Mereka telah termakan amarah. Mereka terus memukul, memotong, menendang laki-laki itu. Hingga amarah mereka telah redah, mereka meninggalkan dia begitu saja sambil melontarkan sumpah serapah.
“Mati kau pencuri sialan, mampus kau!”
Orang-orang kampung ramai-ramai berlarian menuju pohon beringin di ujung kampung. Ada yang bawa golok, kayu besar, batu. Diiringi makian-makian kasar.
“Pencuri itu tertangkap,” kata mereka.
“Pencuri yang mana?” tanya yang lain.
“Itu yang sering mencuri ayam, babi, kambing kita,”
“Bunuh dia, jangan biarkan dia hidup,” teriak mereka lagi- ramai-ramai.
Di bawah pohon beringin itu tempatnya. Orang kampung ramai-ramai tua- muda, perempuan- laki-laki dengan golok, kayu, dengan tangan, kaki, menendang, memukul, memotong diiring dengan kata-kata kotor dan makian-makian pada laki-laki itu dengan kejam. Mereka tak peduli. Mereka telah termakan amarah. Mereka terus memukul, memotong, menendang laki-laki itu. Hingga amarah mereka telah redah, mereka meninggalkan dia begitu saja sambil melontarkan sumpah serapah.
“Mati kau pencuri sialan, mampus kau!”
Laki-laki
itu tak bisa buat apa-apa. Ia babak belur. Darah keluar dari mana-mana.
Mengucur deras. Darah keluar dari telinganya, darah keluar dari matanya, hidungnya,
mulutnya, dari luka-luka yang menganga lebar di sepajang tubuhnya. Kakinya
patah, jari-jari tangannya terlepas. Darah mengalir deras. Melumat debu-debu di
bawah pohon beringin itu. Bau amis terpancar dari sana. Untung mereka tak
membunuh jiwanya, mereka tak mencabut nafasnya. Ia merintih kesakitan.
Matanya yang berlumuran darah itu menatap ke atas. Dengan tenaga tersisa ia
meminta, “Air, air, air, beri aku air.....!!"
Semua orang menunggu dia. Menunggu kapan nafasnya berhenti. Seseorang berteriak dari kerumunan itu.
“Beri dia air!"
Seorang wanita datang dengan seember air dan menyiram laki-laki itu keseluruh tubuhnya dan menuangkan barang segelas ke dalam mulutnya. Semua orang menunggu reaksinya.
Air meluncur masuk dengan derasnya ke dalam
mulutnya mengalir melalui kerongkongan, masuk ke paru-paru, jantung, ke
pembulu- pembulu darah, usus, ke dalam kepalanya mengalirkan kekuatan. Air itu
menarik darah-darah di luar masuk kembali ke dalam tubuhnya. Luka-lukanya
tertutup rapat, tangannya tersambung kembali. Kedua kakinya kuat kembali.
Serasa ada tenaga baru dalam tubuhnya. Ia cepat-cepat bangun.
Sebelum
sempat melangkahkan kaki. Orang-orang kampung dengan sigap menangkap dia.
Dengan kayu, parang, tangan, kaki. Memukul dia, memotong kakinya, tanganya dan memisahkan
dari tubuhnya.
“Dia kobala....dia kobala!" Teriak orang kampung ramai-ramai.
“Jangan beri dia air, jangan beri dia air!" Teriak mereka lagi.
“Dia kobala....dia kobala!" Teriak orang kampung ramai-ramai.
“Jangan beri dia air, jangan beri dia air!" Teriak mereka lagi.
*****
Melewati tiga perkampungan di tepi hutan pada rumah
rewot beratap alang. Wanita itu terus merayu anaknya yang terus merintih,
“Bu, lapar saya mau makan,” rintihnya.
“Ia nanti Papa pulang ya, baru makan, Papa bawa makanan enak, ada daging ayam, ikan, kambing, ada pisang, apel, nangka ade mau yang mana?”
“Daging ayam saja, enak Ma.”
malam semakin larut. Suaminya belum juga pulang. Rintihan anaknya kian memilukan hati.
“Bu, lapar saya mau makan,” rintihnya.
“Ia nanti Papa pulang ya, baru makan, Papa bawa makanan enak, ada daging ayam, ikan, kambing, ada pisang, apel, nangka ade mau yang mana?”
“Daging ayam saja, enak Ma.”
Sumba,
23 mei 2009
Ket: Kobala: Bahasa Wejewa; Sumba: Kebal