BUTUH “ DARAH SEGAR” LURUSKAN REFORMASI


*Refleksi 15 Tahun Reformasi
*Liputan ini Dimuat di SwaraKampus kedaulatan Rakyat Edisi 126 selasa 21 mei    2013
Peliput: ( Galuh/ halek/ ari/ bony)

15 tahun sudah massa reformasi di Indonesia berjalan (mei 1998-2013). Namun tuntutan reformasi yang diperjuangkan saat itu, hingga kini belum terwujud.

. “Berakhirnya kekuasaan Soeharto yang otoriter diganti dengan sistem demokrasi liberal, nyatanya tidak membawa perubahan nyata di berbagai bidang, demokrasi yang diinginkan tidak berjalan, bahkan mengalami kegagalan,” tegas Endy Haryono, Dosen Pasca Sarjana Fisipol UGM, dalam diskusi “Refleksi 15 Tahun Reformasi” di ruang diskusi Suara Kampus pekan lalu.
Menurutnya, lima tuntutan utama reformasi yakni mengakhiri kekuasaan Soeharto yang otoriter dan diganti dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal, pemberantasan KKN, pembatasan jabatan Presiden, pencabutan dwi fungsi ABRI, dan perubahan ekonomi, tidak semuanya terwujud.
Mantan Jurnalis ini menambahkan, solusi dari persoalan reformasi yang gagal ini adalah, pertama memperkuat demokrasi, melakukan reformasi birokrasi yang intinya mensejahterakan rakyat, dan melakukan kontrol  terhadap pemerintahan lewat LSM dan Media Massa. Menurutnya, dibutuhkan generasi baru yang masih segar untuk meluruskan amanah reformasi.
Sedangkan mantan aktivis, Drs. Untoro hariadi Msi, menilai reformasi yang dicanangkan mengalami kegagalan. Kegagalan itu terjadi di segala bidang. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun rezim orde baru telah runtuh, mentalitas orde baru masih ada dan berkembang dalam diri bangsa Indonesia.
Menurutnya, mahasiswa sebagai garda depan reformasi mestinya membangun formasi gerakan yang jelas dan mendasar, berfondasikan image society; gerakan perpaduan antara rakyat dengan mahasiswa. Karena menurutnya, setelah lengsernya Soeharto, tidak ada perubahan yang jelas, mahasiswa tidak menyiapkan strategi bagaimana membangun demokrasi yang diinginkan.
“Peristiwa 1998 sangat sulit diulang. Mahasiswa zaman sekarang semakin lemah, sudah dininabobokan oleh sistem, melihat situasi Indonesia saat ini, seharusnya mahasiswa membangun gerakan yang jelas dan mendasar,”  ungkap Gilang Hermansyah ketua HMI cabang Yogyakarta, yang hadir dalam diskusi itu.
Menurut Satur Mahasiswa Fakultas Hukum UIN, reformasi tahun 1998 terjadi karena adanya tekanan nyata. Zaman sekarang tekanan itu juga ada, namun mahasiswa keenakan oleh zaman. Hal senada juga diungkapakan oleh Ikati, mahasiswa UNY, pada saat ini kondisi Indonesia tak jauh beda dengan massa Orde Baru, bahkan semakin parah. Mahasiswa yang memiliki idealisme, yang benar memikirkan nasib bangsa tidak terlihat lagi. Salyana menambahkan, bahwa ia kecewa dengan sistem pemerintahan saat ini yang tidak membawa perubahan signifikan di berbagai bidang kehidupan rakyat.
            Meski ada anggapan mahasiswa sekarang lembek, tidak seperti kondisi pra reformasi, tetapi menurut Ichen Diprapta, aktivis Front Mahasiswa Nasional ( FMN), kemajuan sebuah bangsa tetap tidak lepas dari peran mahasiswa. Kontribusi mahasiswa sangat dibutuhkan dalam setiap perubahan dalam masyarakat di sebuah negara. Pemerintah akan selalu dikontrol dan diawasi dalam setiap kebijakannya.
            Gerakan mahasiswa yang mengedepankan intelektual, konseptual dan moral, jelas mahasiswa jurusan ilmu Pemerintahan APMD  ini, diharapkan memberikan dampak positif bagi perubahan dan perbaikan bangsa. Namun ia mengakui, beberapa tahun terakhir ini mahasiswa sudah kehilangan “ jiwa” sebagai penggerak peradaban.
            Banyak mahasiswa yang sudah meninggalkan kebesaran indetitas kemahasiswaan mereka. Mahasiswa lebih cenderung berpikir pragmatis dan individualitas. Selain itu, pihak kampus juga seakan mengekang mahasiswa untuk bergerak. Mahasiswa lebih mengutamakan aktivitas yang berkaitan dengan akademis dibandingkan terjun langsung sebagai aktivis.
           
picture by google
Bagi pengamat sosial, Drs G Sukadi, reformasi masih belum berhasil karena ganjalan kekuatan anti reformasi yang luar biasa. Reformasi sendiri memiliki dua tujuan utama, yaitu menciptakan pemerintahan yang bersih dan kesejahteraan rakyat. “Kita harus paham dulu apa makna kata reformasi. Reformasi dapat dilihat dari dua sisi, yaitu rohnya dan pejuangnya. Jika dilihat berdasarkan pejuangnya, komponen utama reformasi adalah mahasiswa. Tetapi, dilihat berdasarkan rohnya, reformasi memiliki makna semangat pembaharuan.”
            Menurutnya, jika dilihat dari segi pejuangnya, pejuang reformasi saat ini seakan-akan hilang. Mahasiswa yang dulu begitu vokal menyuarakan reformasi sekarang hilang. Jadi sulit untuk sekarang ini menemukan pejuang reformasi. Kalau reformasinya dilihat dari segi rohnya, roh reformasi itu tetap ada dan melekat pada diri rakyat Indonesia sampai sekarang. Hasrat reformasi untuk kehidupan berbangsa itu tetap ada. Hanya saja pejuangnya bukan mahasiswa, melainkan KPK.
            Ia mengibaratkan bangsa Indonesia ini seperti sebuah danau yang airnya sudah sangat keruh. Penuh dengan kotoran, sampah, batu-batu asal dilemparkan, dan terus-terus mendapat masukan dari sungai yang keruh pula. Waktu reformasi ada, muncul mata air yang jernih dari mahasiswa, tetapi air jernih itu tetap kalah dengan air telaga yang kotor.
            Sekarang mata air yang jernih itu kembali muncul, yaitu dengan adanya KPK dan media massa “Mahasiswa itu dipengaruhi oleh lembaga, maka dosen dan perguruan tinggi harus peduli secara nyata akan kehidupan rakyat dan bangsa. Dengan kepedulian yang nyata, tentu akan melahirkan konsep pembinaan yang tidak mengesampingkan kehidupan rakyat dan kehidupan politis,” ungkap Sukadi.
            Sukadi menambahkan, sekarang ini peranan mahasiswa untuk menyerukan reformasi sangat kurang. Mereka cenderung diam dan disibukkan dengan tugas-tugas kuliah. Kurangnya anspirasi mahasiswa dalam menyerukan perubahan bagi bangsa tentu diakibatkan oleh banyak faktor. Salah satu faktornya dapat dilihat dari peranan perguruan tinggi.
            “Perguruan tinggi saat ini mandul. Mengapa mandul? Karena di satu sisi perguruan tinggi itu bagus. Perguruan tinggi sibuk mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan karakternya. Perguruan tinggi banyak mengadakan penelitian  dan didanai oleh pemerintah yang disebut hibah. Dosen dan mahasiswa dibebani oleh birokratis akademis. Itu bagus, tetapi perguruan tinggi dibuai dan dimanja dengan aneka dana,” jelasnya.
           
picture by google
Hal tersebut mengakibatkan perguruan tinggi lupa dan tidak sempat memikirkan reformasi karena mereka terlalu sibuk memikirkan penelitian dan di sisi lain kebutuhan mereka terpenuhi dengan aneka dana dari pemerintah. Selain itu, perguruan tinggi kurang mengarahkan roh reformasi kepada para mahasiswa.
            Permasalahan di Indonesia ini, katanya sudah sangat banyak, dan untuk mengubahnya tentu sangat dibutuhkan usaha yang cukup keras. “Akan tetapi, kita harus terus tetap berjuang di tengah kesulitan-kesulitan yang kita hadapi sekarang.”
            “Mahasiswa itu dipengaruhi oleh lembaga, maka dosen dan perguruan tinggi harus peduli secara nyata akan kehidupan rakyat dan bangsa. Dengan kepedulian yang nyata, tentu akan melahirkan konsep pembinaan yang tidak mengesampingkan kehidupan rakyat dan kehidupan politis,” ungkapnya.