Melukis Jendela

Rumah kami letaknya tiga rumah dari jalan besar. Kebanyakan rumah di kompleks itu berlantai dua dan memiliki cat tembok yang berbeda-beda. Bentuknya sejajar, berhadapan dan di tengahnya sebuah jalan beraspal yang biasa kami lalui. Jalan ini buntu tepat di rumah terakhir dari perumahan ini. Sejak kepindahan kami satu tahun lalu, rumah ini adalah yang paling kusukai dibanding dua rumah sebelumnya. Kesukaanku ini bukan hanya karena tamannya yang asri, bersih dan indah atau ruangannya yang luas sehingga memungkinkan ku main sepak bola bersama adikku. Namun kesukaanku lebih pada kamarku yang letaknya di lantai dua. Luas. Strategis. Berhadapan dengan jalan dan memiliki teras yang menjorok keluar. Sehingga aku dapat duduk di sore hari minum kopi, mengerjakan tugas kuliah sembari melihat mentari kembali keperaduannya dan menunggu malam. Kadang-kadang karena begitu terhanyut oleh suasana itu aku lupa jam mandi atau lupa kalau ada pertandingan sepakbola amatir di televisi. Karena Kamar itu pula aku jarang keluar kamar. Kadang hanya pada saat makan saja aku keluar. Seharian aku habiskan waktuku di sana entah sendiri bermain gitar, main play station bersama teman-temanku, atau bersama adikku. Mengerjakan tugas kelompok pun kami kerjakan di sana. Hal inilah yang kadang membuat ayah marah. Ruang tamu, ruang keluarga jadi sepi. Sekarang ayah jadi menyesal mengapa ia menempatkan aku di kamar itu. 

Hari ini kami mendapat tetangga baru. Rumah di sebelah jalan yang berhadapan dengan rumah kami akhirnya dihuni juga setelah selama ini kosong. Dari teras rumah aku melihat beberapa orang mengangkat barang dari mobil dan memasukkan ke dalam rumah. Ayah dan ibu juga di sana, mereka sedang berbicara dengan tetangga baru kami itu. Aku turun ke ruang makan membuat susu dan kembali ke atas ke teras kamar. Aku bermaksud melihat melihat-lihat lagi aktivitas pemindahan barang itu naman mobil pengangkut barang itu sudah tidak ada. Ayah dan ibu pun sudah kembali. Dari ujung jalan aku melihat sebuah mobil hitam masuk ke kompleks perumahan dan tepat berhenti di depan rumah tetangga baru kami. Aku melihat seorang wanita. Bertubuh mungil, berambut panjang di gandeng oleh dua lelaki bertubuh kekar masuk ke rumah. Wanita itu kadang-kadang meronta-ronta mencoba melepaskan diri. Kemudian diikuti oleh seorang wanita tua, seorang lelaki tua dan terakhir seorang lelaki muda berkacamata masuk ke rumah diirigi bantingan pintu mobil. Saat itu aku di kagetkan oleh suara serak ayah memanggilku. Aku cepat-cepat turun. Ia memarahiku habis-habisan. Ia menganggapku tak mau tau dengan orang lain. Egois. Ia mempersalahkanku karena aku tak turun membantu tetangga baru itu atau sekedar berkenalan dengan mereka. Mungkin inilah puncak kemarahan ayah setelah kemarin-kemarin ia menahan marahnya dan hanya menegurku dengan halus. Segala macam kesalahanku ia lemparkan semua. Ia mengatakan aku tidak tau diri, sombong, egois. Ia mempersalahkan aku karna tidak ikut Kerja bakti di kompleks, tidak pernah keluar rumah untuk sekedar bertegur sapa dengan tetangga. Membuat keributan; membuka musik keras-keras, berteriak-teriak saat main playstation atau saat nonton pertandingan sepak bola Sampai ia mempersoalkan nilaiku yang jelek. 

Saat itu aku hanya diam, menundukkan kepala. Kadang ibu juga ikut menambah-nambahkan masalahku. Ia mengatakan aku tidak mampu mencuci bajuku sendiri. Dan akhir-akhir ini aku jarang membantu pak Kamri membersikan taman. Aku jadi begitu serba salah saat itu. Hingga mereka kehabisan kata-kata dan kehabisan tenaga untuk memarahiku. Aku kembali ke kamar dengan perasaan benci jengkel pada ayah. Benci dan jengkel pada diriku sendiri. Entah apa yang mendasari kebencianku pada ayah. mungkin karena kata-kata yang terlalu menusuk perasaanku. Aku kembali keteras menghabiskan sisa susu yang telah dingin. Jujur aku masih dongkol pada ayah pada ibu. Mereka kelebihan dalam memarahiku. 

Malam itu setelah dimarahi habis-habisan aku duduk sendirian di teras. Aku tak mau makan.adikku Rendra berkali-kali memangilku makan. Sungguh saat itu aku sama sekali tak bergairah untuk melakukan apa saja termasuk makan. Aku duduk sendirian di teras menghadap rumah yang baru dihuni itu. Kamar di lantai dua terang benderang. Cahaya lampu tembus hingga keluar itu pun tak lama setelah seorang wanita menutup jendela kaca dengan kain korden berwarna putih kekuning- kuningan. Tak ada tanda-tanda kegiatan seperti kebanyakan orang pindah rumah. Sunyi. Seperti tak berpenghuni. Saat itu aku tak punya pikiran apa-apa tentang rumah itu. Aku jadi ngantuk dan tertidur lelap di teras kamarku.

Paginya aku sadar karena hantaman sinar mentari ke wajahku. Saat itu aku melihat korden jendela dari rumah di depan rumah kami di tutupi oleh seorang gadis berambut panjang. Aku perhatikan dengan saksama. Sudah tertutup rapat. Aku sempat memikirkan wanita yang meronta-ronta kemarin. Ah….mungkin saja pembantunya. Aku jadi tidak memikirkan lebih dalam peristiwa itu. Aku mandi dan bersiap-siap untuk pergi kuliah. Rumah tetangga baru itu mulai jadi perhatianku saat itu. Selain ingin berkenalan aku juga tak mau dimarahi lagi oleh ayah.

Hari pertama rumah itu tak menunjukkan tanda-tanda sesuatu seperti penghuni baru pada umumnya. Keluar rumah mengunjungi tetangga atau sekedar duduk di taman. hari itu aku hanya melihat seorang lelaki setengah baya mengunting bunga dan menyiram tanaman serta seekor anjing yang menggonggongku saat aku kembali dari kuliah, namun setelah ia mendapat balasan dari anjing-anjing milik kami ia cepat-cepat masuk ke bawah mobil di garasi. Selain itu tak ada lagi yang bisa kulihat. Kain gorden di kamar lantai dua itu juga tertutup rapat. Mulai timbul rasa penasaran dalam diriku. Tak kutanyakan pada ayah atau ibu mengenai rasa penasaranku ini. Aku masih marah dan juga aku tak mau di sebut sok-sokan.

Keesokan harinya aku bangun lebih pagi dari biasanya. Bukan karena sudah mulai berubah, tapi karena hari ini ada ujian. Aku membuka jendela. Embun pagi membasahi kaca jendelaku. Mataku langsung tertuju pada jendela rumah di sebelah jalan itu. Kain gordennya terbuka. Di sana dari jarak 50 m aku dapat melihat seorang gadis berambut panjang, memakai gaung tidur, duduk di depan jendela. Tangannya menyentuh-nyentuh kaca jendela yang berembun dan membentuk garis-garis tak beraturan. Aku perhatikan dengan lebih saksama wajah gadis itu. Aku coba keluar agar bisa melihatnya lebih dekat. Namun aku baru di teras dan seiring munculnya mentari dan mengeringya embun di kaca itu ia menutup kordenya untuk yang kedua kalinya. Aku jadi penasaran. Aku langsung teringat wanita yang meronta-ronta di hari pertama kepindahan mereka. ah….tak mungkin gumanku. Gadis yang tak begitu tenang dan dingin. Lalu siapa? Aku makin penasaran. Kadang aku juga menentang diriku sendiri untuk apa aku mengetahuinya toh nanti juga akan tahu dengan sendirinya. Namun kadang sebagai seorang laki-laki apa lagi seperti aku yang belum punya pacar begitu penasaran ingin melihat gadis itu.

Pagi pun berlalu dengan beda bagiku. Semua orang di rumah jadi kaget padaku. Aku jadi rajin bangun pagi membuka jendela lebih cepat dari pada gadis di sebelah rumah. Kadang aku tidur semalaman di teras dengan alram arloji pkl 5. 00 pagi agar aku bisa melihat dengan jelas wajah gadis itu. Melihat dari jauh wajah cantiknya dengan gaung tidurnya. Melihat lukisan-lukisan embun di kaca jendelanya. Saat-saat seperti itu aku seperti kecanduan. Sekarang aku sering keluar kamar duduk di taman atau membantu pak Kamri memotong rumput taman. Sembari menunggu kalau-kalau gadis itu keluar rumah. Sekarang aku rajin ikut kerja bakti. Atau bermain sepak bola bersama adik di jalan. Dan sesekali menendang bola itu ke halaman rumah gadis itu dan menunggu kalau-kalau laki-laki setengah baya itu keluar menyiram bunga dan aku dapat mengenal dia. Sekarang aku mulai akrab dengan anjing yang sering menggonggongku. sekarang ia lebih banyak mengibaskan ekornya jika melihatku. Hal ini membuat aku mendapat komentar dari teman-temanku, ayah dan ibuku atau adikku. Sungguh kalau bukan karena gadis itu takkan kulakukan. 

Suatu hari setelah pulang kuliah aku melihat beberapa orang memasang terali pada jendela kamar gadis itu. Mobil hitam yang selama ini parkir di garasi keluar dan dari arah pintu itu kembali lagi dua orang bertubuh kekar menggandeng gadis berambut panjang keluar rumah masuk ke dalam mobil Ia meronta-ronta dan ingin melepaskan diri. Perlahan-lahaan mobil itu berjalan. Saat melewatiku mataku berpapasan dengan gadis berambut panjang tadi. Ia melihatku dan tersenyum kearahku. Aku terus memperhatikaan mobil itu hingga hilang di tengah ramainya jalan. Aku jadi semakin penasaran. Saat di teras kamar aku mendapati jendela kamar itu telah di beri terali. Aku memberanikan diri menanyakan pada ayah dan ibu. Mereka malah menertawakan aku. Tuumben hari ini aku menanyakan tentang tetangga kami yang baru itu. Aku jadi kesal juga. Namun setelah ayah mengatakan bahwa mereka juga tak tak tahu tentang tetangga baru itu. Lalu kutanyakan siapa orang yang berbicara dengan ayah saat kepindahan mereka yang pertama. Kata ayah itu adalah sopir mobil pengangkut barang. Ayah pun lupa menayakan tetang tetangga baru itu.jawaban yang sama ku dapatkan dari tetangga lainnya. 

Malamnya saat hendak tidur sekali lagi kulihat mobil hitam itu di garasi dan lampu di kamar gadis itu kembali menyala. Keesokan paginya seperti biasanya aku bangun pagi sekali. Aku melihat gadis itu untuk yang kesekian kalinya. Wajah cantiknya dan lukisan embunnya semakin bagus. Saat itu ia melihatku sedang memperhatikan dia. Ia cepat-cepat menutup kordenya. Di kampus aku meminjam kamera 20 megapiksel pada Deni temanku. Sepanjang siang aku duduk di teras kamarku. Menunggu malam, menunggu pagi. Paginya aku melihat gadis itu lebih dekat sedang melukis di kaca dengan embun pagi. Kali ini lebih dekat. Dan aku memotretnya beberapaa kali. Di kaca itu dengan embun ia melukis sebuah bunga. Kemudian melihatku lebih lama dan tersenyum lebih lama dari tatapanya di mobil itu. Aku cepat-cepat ke kaca jendelaku embun masih ada di sana. Aku membentuk sebuah buah hati besar. Ia tersenyum kemudian menutup kordenya lagi untuk yang kesekian kalinya.
Hari ini kurasakan berputar begitu cepat. Dan perasaanku begitu tak karuan. Sepertinya ada sesuatu yang akan terjadi. Setelah kembali dari kuliah aku langsung tidur. Sorenya aku di sadarkan oleh bunyi sirene dan keributan di bawah. Aku cepat-cepat ke teras. Kudapati mobil ambulans di depan rumah gadis itu. Orang-orang ramai di sana. Aku cepat-cepat turun. Kutanyakan pada ayah. Katanya anak perempuan pak Randy tetangga baru bunuh diri. Bunuh diri? Jantungku hampir copot saat mendengarnya. Aku lari kembali ke teras kamarku. Kamar gadis itu gelap. Aku tak bisa berkata apa-apa. Diam. Tertidur dengan lelap diterar kamar. 

Keesokan paginya tak kulihat lagi gadis itu. Yang terdengar hanya tangisan dari rumah sebelah. Aku mandi dan ikut melayat. Saat itu aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Kali ini dalam keadaan terbujur kaku. Aku begitu terharu. Sedih. Belakangan ku ketahui gadis bernama Lian itu bunuh diri karena depresi karena pernah di perkosa oleh 10 orang laki-laki dan pacar tercintanya dibunuh. Ia telah melakukan hampir tiga kali percobaan bunuh diri. Ia meninggal gantung diri di kamarnya dengan kain gorden itu.

Dan akhir-akhir ini aku kehilangan semangat hidup. Tiap pagi aku bangun menunggu di depan teras kamar dengan penuh keresahan. Aku makin kecanduan. Setiap pagi aku menghadap kaca jendela dengan embun pagi aku melukis wajahnya dan kubayangkan sedang menyentuh wajahnya dan kulukis rambutnya dan ku bayangkan sedang membelai rambutnya. Tak ada jalan lain ini caranya agar aku bisa memilikinya. Memiliki apa yang tak mungkin kumiliki.