KAKEK TUA DAN RADIONYA

Malam ini adalah malam ke tiga aku benar-benar tidak bisa tidur. Suaru radio yang berbunyi dengan volume tinggi benar-benar mengganggu tidurku. Kepalaku pusing dan tubuh terasa lemas sekali. Mungkin ini akibat aku jarang tidur malam dengan baik. Aku mencoba memutar-mutar badan mengintari seluruh tempat tidur mencari posisi yang pas untuk menutup mata dan tertidur. Tapi tetap saja tidak bisa tidur. Suara radio itu memang benar-benar mengganggu tidurku. Suara radio itu berasal dari rumah sebelah yang salah satu kamarnya berimpitan dengan kamar kosku. Suara radio itu kadang sampai pagi. Radionya tidak dimatikan. Awalnya aku biasa-biasa saja karena di rumahku kakekku punya radio dan ia biasa mendengarnya. Tapi semenjak aku kuliah dan kos di tempat ini kadang-kadang hal yang biasa itu berganti dengan rasa jengkel dan dongkol. Masa buka radio sampai pagi? Itu sangat mengganggu dan gangguan itu sangat kurasakan sekarang. Aku susah tidur selama tiga hari. Oke lah, mungkin pemilik radio itu akan tertidur dengan lelap saat mendengar suara radio itu. Tapi ia juga tidak sadar kalu aku tidak bisa tidur karena radionya. Menyesal juga aku kini memilih kamar yang berimpitan dengan kamar tempat suara radio itu berasal. Anehnya lagi, saat kuceritakan tentang suara radio itu sehingga membuat ku tak bisa tidur dan kutanyakan radio itu punya siapa pada teman-teman kosku, mereka malah binggung dan menganggapku mengarang-ngarang saja cerita. Menurut mereka selama ini tak ada suara radio yang suaranya mengganggu mereka. Kutanyakan lagi tentang rumah di sebelah kos-kosan ini. Mereka juga tak tau. Jam menunjukkan pkl 1.30 dini hari aku masih juga belum bisa tidur. Padahal besok harus kuliah jam tujuh pagi.

Paginya aku terlambat bangun. Lagi sepuluh menit jam tujuh. Aku cepat-cepat bersiap-siap dan berangkat. Saat melewati rumah yang kamarnya berimpitan dengan kamarku itu, pintunya terbuka lebar sehingga terlihat juga kamar tamunya. Tak ada orang di sana dan suara radio menjengkelkan itu masih juga terdengar olehku. Timbul rasa penasaran dalam diriku ingin rasanya aku masuk ke rumah itu dan menemuai tuan radio itu. Tapi ini bukan saatnyanya, lima menit lagi aku harus berada di kelas. Aku tak mau diusir lagi yang ke dua kalinya karena telat. Siangnya, setelah kembali dari kampus.Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi.. Kali ini aku lewat lagi depan rumah itu. Pintunya masih terbuka. Suara radio itu tidak lagi terdengar. Sampai di kamar kosku. Aku ganti pakaian kuliahku dengan pakaian rumah. Terdengar olehku suara batuk disertai leguhan panjang dari rumah sebelah. Rasa penasaran dalam diriku tak bisa lagi kutahan. Akupun keluar menuju rumah itu. Aku melongo ke dalam. Tak ada orang. kupaksakan diri untuk masuk. Di sana dalam ruang tamu itu. Ada sebuh meja dari kaca dan dua buah sofa berwarna biru tua. Di sudut ruangan ada sebuh meja kecil tingginya kira-kira satu meter. Di situ ada sebuah bingkai foto dengan foto beberapa orang yang kelihatan seperti tentara, sedang menggenggam senjata berlaras panjang dan berikat kepala merah putih dan yang seorang lagi sedang menggenggam radio dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Foto itu terlihat tua sekali. Di ujung kiri bawah tertera tanggal dan tahun foto itu di buat, 28 oktober 1945. Bingkai itu diapiti oleh sebuah vas bunga berisi bunga mawar yang terbuat dari kertas. Warnanya sudah mulai luntur dimakan usia. Aku beralih menuju foto-foto di dinding yang tertata rapi. Di situ ada sebuah foto. Dalam foto itu ada lima orang. Dua perempuan dan tiga laki-laki. Dua laki-laki yang masih muda berdiri di ujung kiri dan kanan dan satu lagi laki-laki yan sudah terlihat tua berdiri di tengah diapiti seorang wanita yang juga sudah terlihat tua dan seorang lagi masih sangat muda. Mungkin ini fota foto keluarga. Dan kulihat ada kesamaan antara foto laki-laki yang menggenggam radio di atas meja kecil itu dengan laki-laki yang sudah cukup tua dalam foto keluarga ini. Aku beralih lagi ke sebuah bingkai yang tak berisi foto tetapi berisi seperti sebuah sertifikat kertasnya sudah kelihatan tua serta warna hitam huruf –huruf sudah luntur dan beberapa kalimat hampir tak bisa kubaca. Di situ tertulis “KAPTEN AHMAD SUBAGIO VETERAN PERANG KEMERDEKAAN” . pejuang kemerdekaan? Tanyaku dalam hati. Aku masih terdiam menatap bingkai itu. Saat aku hendak berbalik aku kaget bukan main, jantungku berdetak cepat, bulu kudukku berdiri. Laki-laki tua yang tak ku kenal berdiri di hadapanku. Ia menatapku dengan sayu, rambutnya sudah memutih dan tidak tertata rapi, terlihat sekali gurat wajah-wajah tuanya. Bajunya sudah terlihat tua dan warnanya juga sudah pudar. Ia tak memakai alas kaki. Tangannya menggenggam sebuah radio. Yang membuatku begutu takut adalah kulitnya yang begitu pucat seperti nadinya tak beraliran dara lagi. 

“Selamat siang kek” sapaku untuk mencairkan suasana. Ia melihatku dalam-dalam. Kemudian ia menghidupkan radio itu. Kali ini agak perlahan. Ia menyimpan radio yang sudah terlihat tua itu di atas meja tempat foto tadi berada. Kemudian ia menuju sofa dan duduk. Aku masih saja berdiri melihat gerak-geriknya.
“ Nak, duduk” katanya singkat. Akupun menuju sofa tempat ia duduk. Rasa takutku masih menghantauiku.
“ Kakek, sudah melihatmu dari tadi di sini, kakek hanya membiyarkanmu melihat-lihat dulu, kamu anak baru di sini?” tanya belia dengan suara serak-serak.
“ Ia kek, dua bulan yang lalu saya tiba. Saya kuliah di Universitas Negeri Jaya. Kos di samping rumah ini” jawabku. Ia Cuma menggangguk-angguk saat ku jawab.
“ Kakek sakit ya? Tanyaku.
“ Tidak, Cuma batuk saja.” jawabnya singkat. Kemudian ia mengangkat kepalanya.
“ Itu foto kakek semasa perang kemerdekaan dulu. Pangkat kakek letnan. Yang pegang radio itu kakek. waktu di foto kakek belum berpangkat letnan.”
“Oo.. jadi kakek dulu seorang pejuang kemerdekaan ya?” tanyaku. Perlahan-lahan rasa takutku hilang.

“ Ya begitulah, zaman penjajahan Belanda dulu. Sebagai anak bangsa yang merasa memiliki tanah air, mencintai dan berusaha menjaganya itulah yang kami lakukan turun bergerilya keluar masuk hutan melawan penjajah Belanda. Tak kami pedulikan lagi bahwa kematian itu mengintai kami dari belakang. Tapi kami yakin segala usaha untuk sebuah kebaikan akan diberkati oleh yang maha kuasa. tak ada rasa takut, dan gentar sedikitpun dalam diri kami. Sekali maju tetap maju demi negara tercinta ini. Dan kini setelah kemerdekaan itu diperoleh dan masa depan bangsa ini telah terbuka lebar, nak.....Masa kami telah usai. Masa depan bangsa ada di pundak kalian generasi penerus. Tak ada lagi perang nak, kalian tak perlu memikul senjata. Sekarang bagaimana kalian mengisi kemerdekaan ini. Dan selalu aku berharap negeri ini akan semakin maju dan berkembang......” 

ia berhenti berbicara. Nafasnya tersendat-sendat. Perlahan-lahan air matanya jatuh membasahi pipinya.

“ Namun, yang kami harapkan jauh dari harapan. Negeri ini sudah semakin hancur oleh kesombongan bangsanya sendiri. Korupsi di mana-mana, penebangan hutan secara liar, penambangan hasil bumi yang merusak alam Indonesia. Lebih lagi generasinya, tidak mencitai negeri ini lagi. Kepentingan pribadi lebih di utamakan dari pada kebersamaan, mereka lebih suka bersenang-senang saja, hanya sebagian orang yang betul-betul menyadari ini. Inilah sebabnya aku selalu ingin cepat-cepat pergi dari negeri ini. Mungkin Tuhan ingin menunjukkan bahwa apa yang diperjuangkan dengan susah payah oleh pendahulunya jarang dihargai oleh generasinya. Sungguh menyedihkan kisah negeri ini....” 

Aku Cuma diam mendengarnya. Rasa bersalah sebagai generasi bangsa ini tumbuh dalam diriku. Sedangkankan kakek itu nafasnya tersendat-sendat. Matanya memerah. Suasana hening. Udara dari luar berhembus masuk kedalam. Saat itu aku berpikir untuk menanyakan tentang radio itu.
“ kek, suka dengar radio ya.” Tanyaku

“ oh, radio itu..radio kesayanganku, semua kisah-kisah di zaman perang bersama teman-temanku akan kuingat jika radio ini ada di sampingku. Radio ini menyimpan kisah indah bersama teman-temanku. Singkatnya aku tak bisa hidup tanpa radio ini nak..radio ini hadiah dari Jenderal Sudirman untuk batalion kami waktu itu dan saya yang memegang sampai sekarang. Saya begitu menghormati beliau, ia orang yang sungguh karismatik. Kami masuk keluar hutan membawa radio ini. Dan lewat radio ini kami dapat mendengar kobaran semangat dari Presiden Soekarno dan Jenderal Sudirman. Lewat radio ini kami mendengar berita tentang perkembangan negeri ini dan di masa kemerdekaan lewat radio ini kami bisa menghibur diri dengan acara-acara kebudayaan, nyanyian, berita-berita gembira tentang perkembangan negeri ini. Sekarang yang sering kudengar adalah berita-berita pemerintah korupsi yang sungguh memuakkan hati........”

Kali ini aku hanya diam lagi. Aku sungguh merasa bersalah sebagai generasi penerus bangsa. Dan dalam hati kuakui juga bahwa generasi ini tak lagi mencitai bangsa ini. Dan akupun kini tak tau lagi apa yang mesti aku buat. Kakek tua itu batuk-batuk panjang di iringi leguahan panjang. Ia masuk ke dalam membawa radio itu tanpa menyampaikan sepata katapun kepadaku. Akupun keluar saja. Rasa bersalahku terlampau memenuhi tubuhku. Sampai di kamar kosku kuhempaskan tubuhku di atas tempat tidur. Wajah kakek tua itu terlintas di kepalaku. Pertemuan yang sungguh singkat tapi sungguh bermakna bagiku. Sungguh menyakitkan jika menjadi orang seperti kakek itu menyaksikan kisah negeri ini. Kini akupun sadar. Ini generasiku, generasi penerus bangsa ini. Jika kita tinggal diam dan berbuat semena-semena terhadap negeri ini, maka satu yang dapat dipastikan kita akan segera hancur. Maukah kita hancur karena perbuatan kita? Memajukan bangsa dengan melakukan hal-hal yang positif, belajar keras dan mulailah mencintai negeri ini. 

Aku larut dalam kesendirianku hingga aku tertidur dengan lelapnya .
Sorenya sekitar pukul 18.00 aku bangun. Sunyi sekali suasana sore itu. Aku langsung mandi dan setelah mandi. Aku merasa lapar sekali. Aku menuju warung di sudut gang kosku. Sambil makan iseng-iseng kutanyakan tentang rumah di samping kosku.
“ bu, rumah di samping kos-kosan itu rumah pak Ahmad ya?” tanyaku
“ ia, emang kenapa?” tanya ibu itu lagi.
“ wah, pak Ahmad masih kelihatan sehat, kuat dan bersemangat padahal umurnya kira-kira sudah mencapai 90-an tahun.”
“ apa katamu?” ibu itu melototi matanya ke arahku. Ia mendekat ke arah telingaku dan berbisik.
“ Kakek Ahmad sudah meninggal tiga bulan yang lalu!”
Aku terdiam mendengarnya. Jantungku berdetak dengan cepat, mataku memerah, keringat membasahi tubuhku. Rasa laparku hilang. Nasi yang kupesan tadi tak kuhabiskan. Kuserahkan uang sepuluh ribu kepada ibu itu. Aku berlari ke arah kosku. Saat kulewati rumah itu pintunya tertutup dengan rapat. Aku masuk ke kamar. Kuhempaskan tubuhku ke atas tempat tidur.
Sudah meninggal tiga bulan yang lalu? Lalu siapa kakek yang berbicara denganku siang tadi?
Rasa takutku menjadi-jadi. Jantungku berdetak cepat. Bulu kudukku berdiri. Suara radio itu kembali terdegar sayup-sayup diiringi suara batuk serta leguhan panjang dari kamar sebelah. Udara semakin dingin dan malam semakin larat.


Jogja, 30 Oktober 2009